Pemilihan umum yang bukan sekadar untuk memberikan tempat, waktu, dan hak yang sama kepada mereka yang ikut menyemarakkan kontes kursi kepala daerah, tetapi juga sebagai tempat pemilih mendapat pengakuan bahwa kekuasaan tertinggi ada pada rakyat, atau demokrasi.
Pemilihan umum adalah wahana masyarakat ber-KTP untuk pengakuan hak dan kewajibannya sebagai warga negara Indonesia sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28J ayat 2 menyatakan: “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”
Di belakang meja bundarnya, Ketua KPU Kota Batam, Herrigen Agustin, menguraikan tata cara pelaksanaan pemilihan kepala daerah di Kota Batam dan di Povinsi Kepulauan Riau, kepada HMStimes.com, 4 Agustus 2020. “Tidak. Sesuai peraturan KPU yang baru, adalah pemilih yang alamatnya sesuai dengan daerah pemilihan,” kata Herrigen.
Ia memaparkan, setiap pemilih yang memiliki KTP di luar Kota Batam, tidak bisa mengikuti pemilihan baik pemilihan wali kota dan pemilihan gubernur di daerah administrasi pemerintahan Kepulauan Riau. Kecuali, bagi peserta pemilih yang KTP-nya berdomisili di kawasan Provinsi Kepri, masih tetap bisa menggunakan hak pilihnya, tetapi hanya untuk pemilihan gubernur saja. Ia mengibaratkan, seorang warga ber-KTP Batam tetapi bertempat tinggal di Kabupaten Natuna, warga tersebut tidak bisa menggunakan hak suaranya untuk memilih wali kota Batam, kecuali ia kembali ke Batam dan melakukan pencoblosan di Batam. Tetapi, jika ia tinggal di Natuna, ia masih bisa melakukan hak suaranya, hanya untuk memilih gubernur saja.
Kepada HMStimes.com, Herrigen mengatakan, seorang warga hanya bisa menggunakan hak suaranya dengan ber-KTP daerah asal, walaupun tinggal di daerah lain, hanya pada saat pemilihan nasional seperti pemilihan presiden. Namun, untuk pemilihan kepala daerah seperti bupati, wali kota dan gubernur, seorang warga tidak bisa menggunakan hak pilihnya jika ia ber-KTP daerah asal, tetapi tinggal di daerah yang tidak satu provinsi dengan alamat di KTP-nya.
Kurang lebih 25 kawasan industri berdiri di kota ini, yang sebagiannya merekrut tenaga kerja dari luar Kota Batam, baik itu melalui perusahaan jasa tenaga kerja lokal ataupun luar daerah. Dengan peraturan KPU, pilkada di Kota Batam tampaknya bukan sarana anak perantau untuk mengakui kedaulatannya sebagai warga negara Indonesia dalam hal memilih. Memaknai peraturan KPU tersebut, karyawan serta masyarakat di Kota Batam, hak berdemokrasinya akan hangus, bila tanda pengenal dirinya masih beralamat daerah asal. Seumur hidupnya tidak bisa memilih bila aturan ini masih berlaku, dan apabila tidak mengganti KTP-nya dari alamat daerah asal ke alamat daerah yang baru.
Kepada HMStimes.com, Titi Anggraini, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Jakarta, 6 Agustus 2020, mengatakan ketentuan regulasi pemilihan di negara ini, memang sudah mengatur syarat domisili berdasar Kartu Tanda Penduduk Elektronik sebagai syarat memilih. Dengan demikian, kalau warga ingin memilih di suatu pilkada maka, mereka harus memenuhi persyaratan kepemilikan KTP elektronik yang terdaftar di daerah pemilihan tersebut. Hal itu, kata Titi, sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi Undang-Undang, di mana pada pasal 56 ayat 1 disebutkan warga negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara sudah berumur tujuh belas tahun atau sudah/pernah kawin, mempunyai hak memilih; pasal 2, warga negara Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat satu didaftar satu kali oleh penyelenggara; pasal 3, jika pemilih mempunyai lebih dari satu tempat tinggal, pemilih tersebut harus memilih salah satu tempat tinggalnya yang dicantumkan dalam daftar pemilih berdasarkan kartu tanda penduduk elektronik dan/atau surat keterangan domisili dari kepala desa atau sebutan lain/ lurah.
Justru, kata Titi, bila di suatu daerah pemilihan diketahui memberikan hak pilih pada warga yang sedang berada di daerah pemilihan tersebut, tanpa dilengkapi pemenuhan persyaratan kepemilikan KTP elektronik, sesuai dengan wilayah hukum pilkada maka hal itu dianggap sebagai pelanggaran undang-undang pilkada. Ia menjelaskan, bahwa hal ini bukan suatu diskriminasi tetapi sebagai konsekuensi aturan main yang telah disepakati dalam mengatur pilkada di negara ini. Ditanya, kesempatan untuk menggunakan hak pilihnya sebagai perantau, pekerja yang dikontrak dari luar daerah Batam, gugur, Titi mengatakan, “Mereka memang tidak punya hak pilih selama mereka tidak mengganti KTP elektronik mereka menjadi terdaftar di daerah yang berpilkada, Bu.” Pasalnnya, kata Titi, pendaftaran pemilih pilkada di negara ini adalah berbasis domisili hukum, berdasar KTP elektronik atau dokumen kependudukan lainnya.