Kerusuhan terjadi di ruko tua di Jalan Bakal, Taman Baloi, Batam Kota, Batam, Kepulauan Riau (Kepri), Senin, 3 Agustus 2020, yang melibatkan warga yang menempati ruko tua tersebut dengan pihak PT Artagrasia Pratama Sarana, yang mengklaim sebagai pemilik sah lahan dan bangunan itu.
Frenky Koten, perwakilan warga yang menempati ruko tua tersebut, mengatakan dalam persoalan itu pihaknya telah membentuk tim dan menempuh jalur hukum. Sebab, pihaknya pun ingin permasalahan tersebut selesai secara baik-baik. “Tapi yang ada, malah pihak perusahaan memberikan surat somasi dan membawa preman,” katanya kepada HMStimes.com saat ditemui di lokasi kerusuhan, Senin siang.
Selain itu, kata dia, pihaknya pun sudah mendatangi kantor kuasa hukum perusahaan. Namun, selang beberapa hari setalah itu, pihak perusahaan melayangkan surat somasi kedua, dan mendirikan plang berisikan imbauan untuk mengosongkan ruko. Tidak hanya itu, pihak perusahaan sempat dua kali memutus arus listrik di ruko tua yang kini telah dihuni oleh 115 kepala keluarga (KK). Setelah warga menggelar aksi demo di kantor Bright PLN Batam, listik kembali menyala.
Frenky menyebutkan, pihaknya sudah melakukan pengaduan ke Dewan Pimpinan Rakyat Daerah (DPRD) Batam mengenai persoalan ini. Namun, permintaan digelarnya rapat dengar pendapat (RDP) antara warga dan perusahaan tidak mendapat respons. “DPRD Batam, khususnya Komisi I, itu ‘masuk angin’. RDP itu kami inginkan agar permasalahan ini selesai, karena pihak perusahaan merasa benar, dan kami pun merasa benar juga,” ujar Frenky.
Ia menuturkan, gesekan antarwarga dan PT Artagrasia Pratama Sarana telah berlangsung sejak September 2019 lalu. Tidak hanya surat somasi yang diterima pihaknya, melainkan juga intimidasi secara tidak langsung. “Mereka mengancam akan membawa ekskavator ke sini. Beberapa preman juga terlihat dalam beberapa hari terakhir, mondar-mandir mengambil foto, entah untuk apa. Makanya warga melakukan penjagaan,” katanya.
Kericuhan kecil sempat terjadi saat Kapolsek Batam Kota, AKP Restia Guchi, mengamankan salah seorang warga yang menenteng sebilah parang. Namun, keadaan kembali tenang saat parang dikembalikan. “Nah, kejadian hari ini juga aneh. Kenapa Kapolsek tidak menyuruh orang-orang dari perusahaan itu pergi dari sini saja? Malah ingin menangkap warga saya yang memegang parang untuk berjaga-jaga,” kata Frenky.
Frenky menegaskan bahwa pihak perusahaan sengaja membayar orang untuk melakukan tekanan kepada warga agar segera meninggalkan ruko tua. Ia berdalih bahwa warga sudah menempati ruko tua tersebut sejak tahun 2002. Sementara hingga kini, pihaknya mengaku belum melihat bukti bahwa PT Artagrasia Pratama Sarana merupakan pemilik sah lahan tersebut. “Sepengetahuan saya, lahan ini UWT [Uang Wajib Tahunan]-nya sudah lama habis sehingga statusnya menjadi quo. Ketika ada pihak yang mengklaim ini lahan milik mereka, tunjukkanlah. Ajak kami diskusi, bukan dengan cara premanisme seperti ini,” katanya.
Dalam persoalan itu, warga sudah melayangkan surat aduan dan meminta perlindungan ke banyak instansi, bahkan ke presiden. Mereka berharap masalah itu cepat terselesaikan dalam forum satu meja dengan mempertemukan semua pihak yang terlibat. “Setelah itu, baru dibahas kompensasi kepada warga. Lagi pula warga tidak pernah mengklaim kalau ruko tua ini milik mereka. Tapi kalau ada pihak yang mengaku pemilik sah lahan dan bangunan di sini, ya datang dong, ngomong baik-baik ke kami. Bukan dengan cara seperti ini. Bagaimanapun, kami juga yang merawat ruko ini dari tahun 2002,” kata Frenky.
Perwakilan PT Artagrasia Pratama Sarana, Aliasratuloli, mengatakan gesekan dengan warga itu sebenarnya sudah berlangsung sekitar sepuluh bulan. Ia menjelaskan, pihak perusahaan sebenarnya sudah melakukan mediasi dengan warga dan menawarkan akan memberikan ganti rugi sebesar Rp1,5 juta untuk tiap KK. “Tapi warga malah minta uang kerohiman sebesar Rp50 juta plus satu kaveling. Tidak bisalah, memberatkan perusahaan pastinya,” kata dia.
Ia mengatakan ruko milik PT Artagrasia Pratama Sarana itu berdiri di atas tanah seluas dua hektare dan memang sengaja dibiarkan, tidak digunakan sejak tahun 2000-an. Meski begitu, pihak perusahaan tetap membayar UWT ke BP Batam. “Ini terkesan aneh. Warga sudah puluhan tahun tinggal di sana, tidak dimintai biaya, terus pada saat pemilik mau menggunakan lahan itu, malah kami yang diserang,” kata Aliasratuloli.
Terkait surat somasi, kata dia, pihaknya telah melayangkannya sebanyak enam kali. Ia pun menolak apa yang mereka lakukan dicap sebagai tindakan premanisme. Aliasratuloli menegaskan, pihaknya akan melakukan pembongkaran paksa jika warga tetap memilih untuk bertahan di sana. Sebab, mediasi yang telah dilakukan sebanyak tujuh kali di Kantor Lurah Taman Baloi tidak jua membuahkan hasil.
Ia menceritakan, pada tahun 2007 beberapa warga yang kini menempati ruko tua tersebut menyodorkan surat permohonan untuk menetap di sana. Dalam surat yang ditandatangani di atas materai itu, dijelaskan pula bahwa warga yang mengajukan permohonan tidak akan meminta ganti rugi jika suatu saat bangunan akan dibongkar.
Disinggung mengenai pemutusan listrik di ruko tua yang dilakukan pihak perusahaan beberapa waktu lalu, hal itu diakuinya sebagai tindakan yang wajar. Sebab PLN, menurutnya, harusnya tahu bahwa PT Artagrasia Pratama Sarana lebih berhak untuk memutuskan atau menghidupkan kembali arus listrik di wilayahnya.