Kaum buruh dan mahasiswa berdemonstrasi menolak Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja (Ciptaker) di Kota Batam, Kepulauan Riau, 8 Oktober 2020. Mereka menilai “undang-undang sapu jagat” itu merugikan buruh. “Saya turun karena kebijakan pemerintah ini sangat merugikan kita sebagai pekerja. Semua itu telah dibahas dalam serikat jauh hari sebelum aksi,” kata Nanda, peserta aksi demo, kepada HMS.
Tuntutan kaum buruh di Batam sama dengan tuntutan yang disampaikan serikat buruh secara nasional. Mereka menolak penghapusan upah minimum sektoral (UMSK) dan pemberlakuan upah minimum kabupaten/kota (UMK) dengan syarat.
Mereka menolak pengurangan nilai pesangon yang selama ini diterima oleh pekerja, yakni dari 32 bulan upah menjadi 25 bulan. Dengan UU Ciptaker, pengusaha hanya membayar pesangon senilai 19 bulan upah, sedangkan sisanya 6 bulan lagi dibayar BPJS Ketenagakerjaan.
Kaum buruh menolak sentralisasi pada perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), karena masa kerja mereka bisa terus diperpanjang dengan dalih kontrak seumur hidup, dan tidak menjadi karyawan permanen.
Mereka menolak adanya alih daya (outsourcing) pekerja seumur hidup tanpa batasan jenis pekerjaan, menolak jam kerja yang eksploitatif, menuntut dikembalikannya hak cuti dan hak upah atas cuti, termasuk cuti haid dan cuti panjang.
Tentang pelbagai tuntutan buruh itu, Mochamat Mustofa, anggota Komisi IV DPRD Kota Batam, mengatakan, “Saya memahami keluhan kawan-kawan dari pihak buruh. Pada dasarnya, seperti pesangon yang dihitung di Omnibus Law itu hanya satu. Apabila perusahaannya baik, baru akan ngasih pesangon. Kalau karyawan kena peringatan, maka dia tidak perlu dikasih pesangon. PHK! Ya, tinggal PHK saja.”
Hal lain yang ditakutkan buruh dari UU Ciptaker, kata Mustofa, yaitu bahwa ke depannya setiap pekerja bisa saja terus menjadi pegawai kontrak seumur hidup. Meski di dalam Omnibus Law pekerja permanen masih tetap ada, tetapi terdapat satu ayat yang dihilangkan. “Syarat untuk menjadi pekerja tetap itu ada dalam UU 13, di mana ada maksimal kerja tiga tahun. Dua tahun kontrak, satu tahun perpanjangan, setelah itu dipermanenkan. Hal ini dihilangkan di dalam Omnibus Law. Secara otomatis pekerja mau dikontrak berapa tahun pun, perusahaan tidak akan melanggar,” ucapnya. “Ini bukan hoaks, karena memang ada satu ayat dalam UU lama yang dicopot dan berganti Omnibus Law. Tidak mungkin karyawan akan mendapatkan permanen kalau tidak ada kebaikan hati pengusaha.”
Menurut Yudhanto, akademisi dari Universitas Maritim Raja Ali Haji, Tanjung Pinang, pada dasarnya Omnibus Law dibutuhkan oleh pengusaha dan pekerja, salah satunya untuk memangkas banyaknya perizinan yang membuat pengusaha susah. “Itu yang awalnya ingin dirampingkan kalau kita lihat dari pembahasan dalam Report World Economic Forum. Korupsi dan birokrasi yang begitu panjang dan rumit,” katanya kepada HMStimes.com. “Banyak hal krusial menyangkut Undang-Undang Ciptaker, dan itu selaras dengan tuntutan pihak buruh, seperti penentuan upah yang kini menjadi wewenang gubernur. Ini pada dasarnya membuat birokrasi di pihak buruh menjadi lebih panjang lagi ketika proses penentuan UMP, khususnya di kawasan kepulauan seperti Kepri.”
Yudhanto juga mengkritik masalah jam kerja dalam UU Ciptaker yang merugikan pekerja. Jika merujuk pada aturan Organisasi Pekerja Internasional (ILO), lamanya waktu kerja adalah tujuh jam hingga delapan jam per hari, dan Sabtu-Minggu adalah hari libur. Akan tetapi, katanya, “Regulasi dalam Omnibus Ciptaker mengarahkan jam kerja yang lebih panjang. Hal ini juga menjadi protes investor asing, dikhawatirkan akan berpengaruh terhadap kualitas pekerja.”
Selain itu, kata Yudhanto, proses pembuatan UU Ciptaker pun tidak adil, karena hanya melibatkan sepuluh perwakilan dari perguruan tinggi dan kelompok tertentu dari serikat buruh. “Kelompok serikat yang diundang memang satu selera dengan undang-undang ini, dan cenderung tidak melibatkan kelompok yang kontra. Begitu juga dari kelompok tim pembentuk undang-undang tersebut, ada Airlangga Hartarto, itu juga cenderung banyak melibatkan pihak pengusaha semua,” ucapnya. “Sedari awal informasi didesain sangat tidak terbuka. Suara dari pihak terdampak seakan-akan tidak diakomodir karena lebih berpihak kepada kelompok pengusaha. Di sinilah letak ketimpangannya.”
Akan tetapi, meskipun UU Ciptaker telah disahkan, Yudhanto mengatakan peluang parlemen jalanan tetap terbuka lebar untuk menggagalkannya. Caranya, menuntut dibuatnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) pencabutan UU Ciptaker, dan juga pengajuan judicial review di Mahkamah Konstitusi, serta melihat lagi apakah Presiden Joko Widodo akan mengambil atau tidak mengambilnya untuk dijadikan undang-undang. “Sembari menunggu tiga puluh hari ini, tentunya posisi dari gerakan politik parlemen jalanan masih memiliki daya tawar. Hal ini masih akan sangat efektif dan pernah terbukti di masa lampau,” katanya.
Yudhanto mencontohkan sistem pilkada yang sempat akan dikembalikan ke tangan DPRD, bukan lagi pemilihan langsung oleh rakyat, pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Saat itu muncul protes dari publik dengan tagar #ShameOnYouSBY. Alhasil, Presiden SBY pun membatalkan pengesahan undang-undang pilkada tersebut. (Hendra Mahyudi, calon reporter HMS)