“Semua orang bisa jadi pawang buaya,” kata Jemari (51), pawang buaya di penangkaran buaya Asam Kumbang, Medan, Sumatra Utara, “asalkan kita tahu mood-nya, kapan sedang marah, kapan sedang tenang.”
Kedengarannya gampang. Namun, Jemari sendiri pun sudah berkali-kali digigit dan dicakar buaya. Bahkan, kakinya pernah dicengkeram seekor buaya hingga dia terluka dengan 48 jahitan, dan selama 18 hari dia dirawat di rumah sakit.
“Bahkan kaki [kanan] saya sudah pernah dicengkeram,” katanya sambil menunjukkan bekas-bekas gigitan buaya di bagian tangan dan kakinya kepada HMStimes.com di lokasi penangkaran buaya itu, 9 November 2020.
Kejadian nahas itu terjadi pada masa awal Jemari bekerja di penangkaran buaya. Saat itu dia dengan teman sesama pekerja ingin menangkap beberapa buaya untuk dibersihkan. Saat kembali turun dari lokasi penangkaran melewati jalan kecil, tiba-tiba seekor buaya sepanjang satu meter lebih langsung menerkam. Buaya itu tidak kelihatan karena diam-diam mengapung di penangkaran yang berlumut. Jemari menjerit dan teman-temannya langsung berusaha menarik mulut buaya yang terus mencengkeram seperti kelaparan. Dia tidak bisa menggambarkan betapa sakitnya cengkeraman hewan beralam dua (amfibi) itu. Beruntung kakinya masih dapat terselamatkan dan tidak perlu diamputasi akibat tusukan-tusukan gigi buaya yang tajam.
“Buaya itu kalau menggigit pakai gigi depan, sebenarnya gigi [di bagian] geraham itu jarang ada giginya. Itu makanya kalau mencengkeram selalu ditahannya, dan harus dilepas dengan mengangkat mulut bagian bawah dan atasnya,” katanya. Berbeda dengan binatang buas lainnya, yang menggunakan gigi geraham untuk mencabik-cabik mangsanya, buaya mengandalkan gigi depan dan langsung memasukkan mangsanya ke mulutnya.
Itu kejadian yang paling mengerikan selama Jemari berhadapan dengan buaya. Saat itu dia masih kurang berhati-hati dengan gerak-gerik buaya. “Gerakan buaya itu pelan sekali, bisa diam lama sekali. Tapi kalau terusik, misalnya ada benda bergerak, dia bisa langsung spontan bergerak,” katanya.
Setelah itu, berkali-kali dia digigit buaya. Suatu kali dia hendak menangkap seekor buaya bersama temannya. Saat menangkap, tangan kirinya masuk ke rahang buaya dalam posisi dijepit, dan kuku jarinya pecah. “Di bagian geraham memang tidak ada gigi, cuma tulang, tapi kalau menekan saat mencengkeram, pecah juga [tulang],” katanya.
Adakah kemampuan khusus yang harus dimiliki seseorang jika ingin menjadi penangkar maupun pawang buaya? “Tidak ada. Yang penting kita tahu kapan waktu bertelur, tahu apakah buaya itu sudah makan apa belum,” kata Jemari.
Biasanya buaya yang sudah makan dan kenyang akan lebih tenang. Namun, jangan coba-coba mendekati buaya yang sedang bertelur, yang bisa berlangsung hingga tiga bulan.
Siklus-siklus buaya itu dipelajari Jemari sehingga dia hafal betul karakter buaya-buaya di penangkaran itu. Bahkan, Jemari tahu apakah buaya sedang marah atau tidak. Gigitan, cakaran, dan cengkeraman buaya merupakan bagian dari pengalamannya untuk mengenali buaya.
Pun begitu, tidak semua buaya selalu dapat dijinakkan. Seekor buaya yang bisa menjadi model saat berpose dengan pengunjung harus sejak dari kecil diarahkan dan dijinakkan. Buaya yang tidak dapat dijinakkan akan dikembalikan ke kolam penangkaran. Dari semua buaya yang ada di penangkaran, hanya dua yang dapat dijinakkan.
Semua buaya, kata Jemari, pada umumnya ganas, dan butuh waktu lama untuk menjinakkannya. “Ini sejak kecil dijinakkan, sekarang sudah tujuh tahun,” katanya, menunjukkan seekor buaya muara putih yang mulutnya terikat ketat.
Siang itu Jemari duduk dan bersandar pada pohon kecil menunggu orang berfoto dengan seekor buaya muara putih berusia tujuh tahun. Buaya yang kelihatan seperti tidur itu diletakkan di atas kursi panjang. Mulutnya diikat dan badannya diselimuti kain supaya tidak kepanasan. Setiap kali pengunjung ingin berfoto bersama buaya itu, dia mengangkat kain dari atas buaya muara putih itu.
“Tidak usah takut, tidak menggigit kok,” katanya kepada seorang pengunjung yang ingin berfoto bersama buaya itu. Setelah selesai berfoto, pengunjung membayar Rp5.000.
Tapi, ada juga pengunjung yang tidak percaya, mengira bahwa buaya itu sudah mati. “Buayanya hidup atau sudah mati, Pak?” tanya seorang anak muda yang datang bersama teman-temannya. “Ya, buayanya hiduplah,” kata Jemari menjawab. Anak muda itu baru percaya setelah melihat buaya itu menggerakkan kepala dan ekornya pelan saat diangkat Jemari.
“Buayanya hidup rupanya, woi!” kata si anak muda sambil beranjak ke arah teman-temannya.
Menurut Jemari, buaya yang kelihatan tenang itu memang sedang tidak bertelur dan sejak kecil sudah kelihatan tidak terlalu pemarah sehingga dipilih untuk berpose dengan pengunjung. “Sebenarnya ada dua [buaya], tapi satu lagi sedang bertelur. Kalau sedang bertelur, tidak boleh diganggu, bawaannya ganas. Yang ini sudah lewat masa bertelur,” kata Jemari.
Tahun 1990, ketika mulai bekerja di penangkaran itu, Jemari juga takut kepada buaya. Saat mulai bekerja di sana dia tidak langsung menjadi pawang. “Bapak angkat saya [berteman dengan Lo Tan Mok] yang membawa saya bekerja di sini,” katanya. Lo Tan Mok adalah pendiri penangkaran buaya Asam Kumbang pada tahun 1959. Dia meninggal pada tahun 2008, dan penangkaran ini diteruskan oleh istrinya, Lim Wi Chu.
Seiring waktu, dia semakin paham bagaimana menghadapi buaya. Dia belajar dari Lo Tan Mok bagaimana cara menjinakkan buaya yang ganas. Selama 30 tahun bekerja di sana, Jemari bertugas mengawasi semua buaya, termasuk buaya-buaya di penangkaran yang jumlahnya 1.000 ekor. Dialah pekerja paling lama di penangkaran itu. Tidak hanya mengawasi buaya, dia juga harus mengawasi pengunjung agar tidak digigit buaya.
Dia mengatakan pernah jari tangan seorang pengunjung dicabik buaya. Saat itu korban melihat buaya dari balik jaring kawat, tetapi dia tidak menyadari sebagian tangannya masuk melalui sela-sela di bawah jaring. Tiba-tiba seekor buaya bergerak dan menggigit jarinya. “Tidak putus. Giginya menancap di bagian telapak dan jarinya,” katanya.
Menurut dia, pada masa hidup Lo Tan Mok, ada buaya yang bisa dipelihara menjadi sangat jinak. “Kalau dulu, masih ada Pak Tan Mok, pengunjung biasanya berfoto dengan buaya yang mulutnya terbuka,” katanya.