Terdapat kurang lebih 100 kepala keluarga yang mendiami Pasir Panjang, sebuah pulau kecil di Kecamatan Galang, Batam, Kepulauan Riau, dan mayoritas penduduk di sana bekerja sebagai nelayan.
Iskandar (39), warga yang lahir dan besar di pulau tersebut, setiap hari turun ke laut untuk mencari ikan dengan perahu kecil. Bila menjaring ikan di malam hari, ia terkadang menumpang perahu pompong milik nelayan lain. “Kalau untuk makan mungkin kita tidak susah. Ikan kalau lagi banyak kadang 2 kilogram sampai 3 kilogram. Buat lauk 1 kilogram, sisanya dijual. Tapi kalau hujan berturut-turut, kadang ikan tak banyak, soalnya air laut atasnya kuning karena air hujan, dingin airnya,” katanya kepada HMStimes.com pada 7 Oktober 2020.
Kalau sedang musim sotong seperti saat ini, ia juga pergi mencari sotong dengan alat tangkap menyerupai ikan, yang terdapat banyak besi tajam di ekornya, tanpa menggunakan umpan. “Orang sini menyebutnya nyandet. Itu kalau menangkap sotong karang. Kalau cumi-cumi, kita tangkapnya di malam hari pakai alat cedok khusus dan lampu penerang,” katanya.
Sejak usia belasan tahun Iskandar sudah menjadi nelayan mengikuti jejak nenek moyangnya. Sejak kecil ia sering mengikuti ayahnya menjaring ikan sehingga ia memutuskan tidak melanjutkan bersekolah, dan memilih menjadi nelayan. “Dulu sekolah itu jauh. Lebih baik jadi nelayan, dapat uang,” katanya.
Menjadi seorang nelayan, katanya, tidak ada pendapatan yang pasti. Apabila hasil tangkapan dari laut banyak, ia akan mendapat Rp300 ribu sekali menjaring ikan. Kalau sebaliknya, ia tidak mendapat serupiah pun.
Sejak pertama kali menjadi nelayan, ia tidak pernah mendapat bantuan dari pemerintah, baik berupa uang tunai maupun alat tangkap ikan. “Pakai alat pribadi saja. Kalau berharap pemerintah, taktahu kapan,” katanya.
Berbeda dengan Iskandar yang memilih tidak bersekolah demi menjadi nelayan, Imamsyah (19), warga lain di Pulau Pasir Panjang, memilih menjadi nelayan dan tetap bersekolah. Sejak duduk di kelas 1 SMP, ia sudah bekerja sebagai nelayan hingga saat ini di bangku SMA. Ia bersekolah sembari menjadi nelayan untuk membantu memenuhi kebutuhan keluarganya. “Sudah lima tahun ini kurang lebih. Susah juga, kebutuhan ekonomi,” kata Imamsyah. Ibunya bekerja di Singapura, dan ayahnya nelayan.
Meski bekerja menjadi nelayan, hal itu tidak mengganggu aktivitas belajarnya. Waktunya di sekolah dipergunakan untuk belajar dengan baik, dan waktu pulang sekolah ia gunakan untuk bekerja. “Tak capeklah, sudah biasa, malam bisa istirahat. Tak pernah tidak masuk sekolah karena capek kerja. Saya selalu masuk sekolah,” katanya.
Imamsyah bekerja bersama dengan beberapa rekannya untuk menangkap ikan teri di laut. Jika hasil tangkapannya banyak, dalam seminggu ia bisa mendapat upah Rp4 juta. Akan tetapi, jika tangkapannya tidak ada, atau keadaan laut sedang tidak baik, ia hanya diupah Rp200 ribu per minggu. “Uang itu saya pakai untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehar-hari,” katanya.
Jika ia pulang sekolah agak terlambat, dan rekan kerjanya sudah lebih dahulu berangkat menangkap ikan teri, biasanya ia mendapat tugas untuk merebus ikan tersebut setelah rekannya kembali dari laut. “Saya tunggu mereka pulang. Ikan yang mereka tangkap saya rebus beberapa jam. Setelah itu, nanti ditiriskan di tempat yang sudah ada. Satu tempat itu kurang lebih 3 sampai 4 kilogram. Setelah itu, besoknya dijemur sampai kering, baru dijual,” kata Imamsyah.