Pada Senin sore, 23 Juni 2020, Boydo Panjaitan (40), warga Kota Medan, Sumatra Utara, pulang lebih cepat ke rumahnya karena merasa kurang enak badan. Dia tiba-tiba demam dan sesekali batuk. Lidahnya agak terasa pahit sehingga tak berselera makan. Malamnya dia mulai menggigil dan tidak bisa tidur nyenyak. Keesokan harinya dia minum obat demam dan obat batuk, yang biasa dia minum bila merasakan gejala yang sama. Tak hanya itu, dia juga diberi obat antibiotik dari saudaranya, seorang dokter yang biasa dia minta saran bila dirinya sedang sakit.
Obat demam, batuk, dan antibiotik itu ternyata bekerja dengan efektif. Boydo merasa lega dan kembali menjalani aktivitas. Namun, pada 27 Juni 2020, dia kembali merasakan gejala yang sama. Dia kembali batuk, demam, dan lidahnya terasa pahit. Dia curiga, jangan-jangan dia terkena tifus atau demam berdarah. Tidak terpikir bahwa dia kena virus corona sehingga tidak ada keinginannya untuk menjalani rapid test.
“Waktu itu belum dan tidak mau memikirkan kena Covid-19, mungkin karena takut. Apalagi istri, enggak terbayangkan kalau benar-benar Covid-19,” cerita Boydo Panjaitan, yang dihubungi HMStimes.com pada 2 Agustus 2020 malam.
Dia bercerita bahwa pada 28 Juni, dia memeriksakan kondisi kesehatan tubuhnya, medical check up, melalui layanan klinik Pramita dan mengetahui trombositnya turun atau di bawah normal. Dia juga meminum obat yang sama seperti diminum sebelumnya untuk mengatasi demam dan batuk, tetapi tak kunjung sembuh. Minggu pagi, kondisi kesehatan Boydo makin turun. Ditemani istri, dia memeriksa apakah ada indikasi kena Covid-19. Dia dan istri pun menjalani rapid test dan hasilnya nonreaktif.
Hari Senin, kondisi kesehatan mereka berdua makin turun. Akhirnya istrinya memanggil bagian home service Pramita untuk melakukan rapid test, dan Boydo sendiri melakukan cek darah lengkap untuk memantau trombosit, berharap bahwa yang dialaminya “hanya” sakit demam berdarah ataupun tifus. Dari hasil rapid test diketahui bahwa istrinya nonreaktif, dan hasil cek darah Boydo tidak menunjukkan demam berdarah maupun tifus. Hingga dua hari berikutnya kondisi kesehatannya tetap sama, masih mengalami demam, batuk, dan lidah yang terasa pahit.
Lalu pada 30 Juni 2020, atas saran dari pihak keluarga, Boydo Panjaitan melakukan pemeriksaan paru-paru melalui foto rontgen atau CT thorax ke Rumah Sakit St. Elisabeth Medan. Dokter yang menanganinya, dr. Budianto Sigalingging, menjelaskan bahwa ada bercak pada kedua paru-parunya. “Saat itu dr. Budianto mengatakan kemungkinan besar ada mengarah ke pneumonia,” kata Boydo, mantan anggota DPRD Kota Medan yang juga Bendahara DPC PDI Perjuangan Medan itu. Untuk memastikannya, pada hari itu juga Boydo dan istrinya, Elsa Malona (39), menjalani swab test di Rumah Sakit Murni Teguh, Medan, dan hasilnya positif Covid-19.
Boydo tidak tahu kenapa dia bisa terkena virus corona. Selama ini dia sudah mengikuti protokol kesehatan, menggunakan masker, dan rajin menggunakan sanitizer. Untuk menjaga jarak sosial, dia juga sering bekerja dari rumah dan hanya sesekali keluar rumah.
Dia mengatakan bahwa sejak adanya kelonggaran protokol kesehatan pada saat mulai didengungkannya new normal, orang mulai lengah. Padahal, Kota Medan sendiri, karena masih berstatus zona merah, belum layak menjalankan new normal. “Mungkin sejak adanya new normal, dan mungkin perasaan bahwa tidak mungkin akan kena Covid-19,” ujarnya.
Merasa longgar, ibu Boydo, Herin boru Manurung (78), juga demikian. Ibunya, yang mengelola usaha bahan bangunan (panglong), mulai sering bertemu dengan orang-orang yang ingin membeli bahan bangunan. Bahkan, dia mulai memberanikan diri menghadiri acara pesta, salah satu kewajibannya sebagai orang Batak.
Boydo juga mengaku tidak pernah keluar kota selain hanya beraktivitas di sekitar Kota Medan. Namun, dia tidak menampik bahwa dalam aktivitasnya sehari-hari dia bertemu dengan kerabat, teman, dan terkadang pergi satu mobil tanpa masker dengan keyakinan bahwa Covid-19 itu tidak ada. “Ya, mungkin di situnya, tapi enggak tahu pastinya dari mana. Saya juga bingung kok bisa kena,” ujarnya.
Boydo Panjaitan tak lagi ingin memikirkan dari mana virus itu datang hingga menyerang tubuhnya, istri, dan belakangan juga ibunya. Yang terpenting ialah bagaimana bisa selamat dari serangan virus yang sudah memakan ribuan korban jiwa itu.
Setelah mendapatkan hasil positif Covid-19, pada hari Sabtu sore, 4 Juli 2020, Boydo dan istrinya, Elsa Malona, mulai dikarantina di satu ruangan yang sama di Rumah Sakit St. Elisabeth Medan. Malam harinya, ibunya, Herin Boru Manurung, menyusul diopname dengan kondisi kritis. Sebelumnya sudah diduga bahwa ibunya juga positif Covid-19 karena selain bertemu setiap hari dengan Boydo, ibunya juga memiliki gejala mirip Elsa, yaitu lidah terasa pahit dan napas mulai tersengal-sengal. Akhirnya malam itu mereka bertiga diisolasi dalam ruangan yang sama.
Malam itu terasa suram bagi Boydo. Hari yang tidak akan pernah dilupakan, dan kejadian yang tidak pernah dia bayangkan sebelumnya. Dia harus dirawat dan menginap di dalam ruangan isolasi dan berjuang untuk tetap hidup. “Rasanya seperti hidup dalam dunia lain, sungguh suram rasanya. Namun, harus dilalui, jangan sampai down karena itu memengaruhi kondisi fisik juga. Saya dan istri saling menguatkan. Saya sangat khawatir kepada Mama, karena usianya sudah 78 tahun,” ujarnya.
Pada malam pertama menginap di ruangan isolasi, Boydo tidak bisa tidur. Dia gelisah. Begitu juga istrinya, merasa seperti dihantui ketakutan. Ibunya juga demikian, gelisah dan kadangkala terbangun pada dini hari.
“Pernah satu malam aku mendengar erangan dari kamar sebelah, ada keluarga pasien yang menjerit. Apakah itu keluarga pasien yang meninggal karena Covid-19? Itu bikin takut. Aku berdoa untuk mereka,” ujar istri Boydo, Elsa Malona.
Elsa pun memikirkan anaknya yang dijaga keluarga saat itu. Dia berharap bisa melewati masa-masa kritis yang penuh tekanan, baik secara fisik maupun mental, akibat ketakutan. Beruntungnya, mereka dirawat dalam satu ruangan sehingga bisa saling menguatkan. Nyanyian rohani dilantunkan untuk saling menguatkan mental, terutama ibu mertua Elsa yang sudah tua dan rentan terhadap serangan virus.
Selama perawatan, 10 sampai 14 jenis obat harus diminum, termasuk vitamin dan antibiotik. Tim medis mencari bagian tubuh ketiganya yang bisa ditusuk dengan jarum untuk saluran infus. Melalui infus itulah disalurkan vitamin C dan antibiotik ke dalam tubuh.
“Hari kedua hari terberat. Aku mencoba menyanyi untuk menguatkan diri. Hari itu juga aku mendapat kabar kalau kedua anak kami reaktif setelah menjalani tes. Aku juga mengkhawatirkan anggota keluarga yang lain,” katanya.
Selama di rumah sakit, tim medis berpakaian alat pelindung diri (hazmat) melakukan penanganan medis secara rutin, pemeriksaan jantung (Elektrokardiogram- EKG) setiap hari, cek darah per dua hari, dan CT Thorax per tiga hari, dan memberikan asupan makanan bergizi untuk menopang kondisi tubuh pasien agar kuat.
Rasa lega mulai muncul saat mendengar kabar dari keluarga bahwa kondisi kedua anaknya sudah berangsur baik dan hasil tes menunjukkan negatif, dan semua anggota keluarga juga nonreaktif. Setelah dua kali melakukan swab test, Elsa juga akhirnya dinyatakan sembuh dan dibolehkan pulang ke rumah.
Lima hari kemudian, suaminya, Boydo Panjaitan, dan ibu mertua juga dinyatakan sembuh dan bisa pulang. “Ini mukjizat bagi keluarga. Kami bersyukur kepada Tuhan karena diberikan kekuatan untuk melalui ujian terberat ini. Apalagi ibu mertua yang umurnya sudah tua, ternyata mampu melewati masa kritis,” ujar Elsa.
Dari kejadian yang menyita banyak energi itu, pesan yang didapat ialah bahwa Covid-19 itu ada dan nyata. “Jangan pernah bilang Covid-19 itu tidak ada,” katanya.
Kini, Boydo, Elsa dan ibu Boydo, Herin Manurung, kembali menjalani kehidupan normal meski tetap harus waspada bahwa tidak ada jaminan Covid-19 tidak akan kembali lagi. Walau dinyatakan sudah sembuh dan ada mitos yang mengatakan bahwa yang sudah kena Covid-19 tingkat ketahanan tubuhnya lebih sulit diserang kembali, mereka bertiga harus tetap waspada. Setidaknya mereka harus mengikuti protokol kesehatan dan menghilangkan kebiasaan memegang mata, wajah, hidung, dan bagian mulut, karena penularan virus lebih rentan terjadi melalui bagian tubuh itu.
Melewati masa-masa kritis di bawah serangan Covid-19 adalah hal yang paling ditakutkan banyak orang saat ini. Boydo dan Elsa berpesan agar jangan takut, karena dengan deteksi lebih dini dan penanganan yang tepat, virus corona bisa dikalahkan. “Jangan lengah, virus ini memang berbahaya. Obatnya adalah hati yang gembira. Jangan tutup komunikasi dengan dunia luar. Covid bukan aib. Support dari keluarga dan teman-teman berharga sekali pada saat-saat sakit. Bernyanyi, berdoa, apa pun dilakukan supaya hati tenang dan gembira,” kata Elsa, yang tak lupa mengucapkan terima kasih kepada dokter dan perawat yang telah memberikan pelayanan medis terbaik untuk mereka bertiga.