Pada hari tuanya, Mariamsyah Siahaan (74) mengalami persoalan yang selama ini dianggap tidak mungkin terjadi menurut budaya Batak. Ibu yang lahir tahun 1946 di Desa Paindoan, Kecamatan Balige, Kabupaten Toba, Provinsi Sumatra Utara, itu digugat ke pengadilan oleh tiga anak kandungnya sendiri terkait dengan harta warisan peninggalan suaminya.
Kuasa hukum Mariamsyah, Ranto Sibarani, menceritakan kronologi perkara perdata ini kepada HMStimes.com di kantornya di Medan Selayang, Kota Medan, 27 Agustus 2020. Ranto mengatakan semuanya bermula pada 30 Desember 2017.
Pada tanggal itu di hadapan notaris di Doloksanggul, Kabupaten Humbang Hasundutan, lima anak Mariamsyah, yaitu Bontor Panjaitan (48), Hotner Panjaitan (47), Mervin Wilfrid Panjaitan (45), Ridwan Panjaitan (44), dan Westi Delima Lasmawati Panjaitan (42) menandatangani surat kuasa untuk menjual satu unit rumah di Jalan Tuasan, Kelurahan Sidorejo Hilir, Kecamatan Medan Tembung, Medan. Rumah itu adalah peninggalan ayah mereka, atau suami Mariamsyah, yaitu Mangadar Panjaitan, yang meninggal pada tahun 2013.
Setelah mendapat surat kuasa dari kelima anak kandungnya itu, pada 7 Februari 2019 Mariamsyah menjual rumah di atas lahan 87,25 meter persegi itu kepada seorang pembeli di Medan seharga Rp1 miliar, yang dilakukan di hadapan notaris. Akan tetapi, tiga di antara anak Mariamsyah, yaitu Bontor, Mervin, dan Westi, tidak setuju rumah itu dijual.
Mariamsyah pun membatalkannya dan mengembalikan pembayaran pertama pembelian tanah sebesar Rp700 juta, dan pembeli juga setuju. Namun, belakangan hari penjualan tanah dan rumah tetap dilakukan, dan pembeli membayar lunas Rp1 miliar.
Setelah mendengar rumah itu sudah dijual, ketiga anak Mariamsyah menanyakan hasil penjualan rumah itu. Ketiganya berkata kepada ibunya bahwa mereka punya hak mendapatkan bagian dari penjualan. Alasannya, mereka adalah ahli waris dari ayah mereka, dan warisan itu belum dibagi di antara para ahli waris. Namun, permintaan ketiga anaknya itu tidak digubris Mariamsyah dengan alasan bahwa dia sudah mendapat surat kuasa jual dari semua anaknya.
Karena tidak mendapatkan yang mereka inginkan dari ibunya, ketiganya lantas menggugat ibu kandungnya di Pengadilan Negeri Tarutung. Mereka menggugat Mariamsyah untuk mendapatkan bagian dari penjualan rumah itu masing-masing sebesar Rp166.666.666 dengan asumsi bahwa waris rumah itu ada enam orang, yaitu lima anak dan satu ibu. Mariamsyah juga dituntut oleh ketiga anaknya untuk membayar ganti rugi sebesar Rp500 juta karena mereka tidak dilibatkan dalam jual beli rumah tersebut.
“Alasan tersebut mengada-ada, karena jelas-jelas mereka telah memberikan kuasa kepada ibunya,” kata Ranto Sibarani, kuasa hukum Mariamsyah.
Ranto mengatakan gugatan itu sempat dimediasi di Pengadilan Negeri Tarutung pada 15 Juli 2020 lalu, tetapi tidak ada solusi damai dari ketiga anak Mariamsyah sehingga pengadilan tetap melanjutkan perkaranya.
Mervin Wilfrid Panjaitan, anak ketiga Mariamsyah Siahaan, dihubungi HMStimes.com melalui telepon pada Kamis, 3 September 2020, untuk meminta penjelasan soal gugatan mereka terhadap ibunya. Mervin, yang bekerja sebagai perwira TNI di Jawa Tengah, menanggapi semua pertanyaan HMS dengan ramah dan terbuka, dan sesekali dia menggunakan bahasa Batak.
Ayah lima anak itu pun bercerita. Sebelum melakukan gugatan hukum terhadap ibunya, dia dikenal selalu berusaha menjadi penengah bila ada persoalan dalam keluarganya. Baginya, persoalan yang terjadi dalam keluarga harus dapat diselesaikan dengan cara kekeluargaan.
Ketika dia ditugaskan di Papua dan kemudian di Jawa Tengah sejak sekitar lima tahun lalu, hampir setiap tahun baru dia selalu pulang kampung dengan maksud untuk mengumpulkan keluarga, karena dia mendengar hubungan ibunya dengan abangnya kurang baik. Namun, usahanya untuk mengumpulkan keluarga tidak pernah terjadi. Baik ibunya maupun adiknya Ridwan tidak pernah mau diajak berbicara secara kekeluargaan.
Mervin mengatakan gugatan mereka terhadap ibunya, yang menjual rumah warisan ayahnya, merupakan rentetan dari masalah lain. Sebelum menjual rumah itu, ibunya juga sudah menjual aset-aset peninggalan ayah mereka, termasuk rumah dan tanah di Kota Pematangsiantar, Sumatra Utara, dan kebun kopi seluas dua hektare di Doloksanggul, tanpa sepengetahuan mereka selaku anak.
Mervin mengaku heran mengapa ibunya menjual semua harta warisan ayahnya, padahal ibunya berkecukupan sebagai pensiunan PNS, dan tidak dalam kondisi sakit-sakitan. Semasa ayahnya masih hidup, ibunya juga sudah pernah bepergian wisata rohani ke Jerusalem. “Maksudnya dijual semuanya secara diam-diam untuk apa?” kata Mervin. Dia menduga ibunya telah dipengaruhi pihak lain untuk menjual semua aset peninggalan ayahnya.
Belakangan, kata Mervin, ibunya pun ingin menjual sekolah Yayasan Trisula di Doloksanggul. Namun, mereka meminta agar ibunya membatalkan niatnya itu, apalagi karena di kawasan yayasan itu terdapat makam ayah mereka. Ibunya bersikeras meminta agar bangunan sekolah dirobohkan. Kalau tidak, mereka diminta membayar Rp10 miliar. “Uang sebesar itu mau dapat dari mana?” kata Mervin. Karena itulah, Mervin serta abang sulung dan adik perempuannya tidak sanggup memenuhinya.
Mervin mengatakan bahwa sebenarnya dia tidak menginginkan masalah harta warisan ini masuk ke ranah hukum. Sebagai anak, Mervin merasa malu, dan dia tidak ingin menyakiti perasaan ibunya. Di sisi lain, dia dan saudaranya ingin diperlakukan selayaknya anak kandung, diperlakukan secara sama, jangan seolah-olah dianaktirikan. Dia juga meminta ibu dan dua saudaranya yang lain supaya menghormati peninggalan almarhum ayah mereka.
“Yang kami tuntut, harusnya jangan dijual peninggalan Bapak itu semuanya. Kalaupun mau dijual, ngomong dulu sama anak-anaknya, dikasih tahu,” kata Mervin.
Mengenai surat kuasa jual yang sudah ditandatangani oleh mereka yang bersaudara, Mervin mengatakan itu tidak benar adanya. Menurutnya, ketika ayahnya masih hidup, semua surat kepemilikan aset diberikan kepada putra sulung. Ketika ayahnya meninggal, ibunya meminta surat itu kepada anak sulungnya, Bontor Panjaitan, melalui Mervin. Waktu itu ibunya meminta surat-surat tersebut untuk mengurus pajak Yayasan Trisula. “Sejak saat itu saya sudah tanda tanya,” kata Mervin. Setelah sempat tiga kali gagal, akhirnya surat-surat itu diserahkan juga kepada ibunya.
Setahu Mervin, tidak ada surat kuasa jual, melainkan hanya surat untuk pengalihan nama setelah ayah mereka meninggal. Itulah mengapa Mervin heran tiba-tiba ibunya menjual rumah di Medan.
Mervin mengaku pernah meminta kepada abangnya Hotner Panjaitan agar jangan sampai masalah itu ke pengadilan. Lewat pesan WhatsApp, 6 Maret 2019, dia menulis, “Sudah kuberikan solusi kepada Abang, tapi tanggapanmu tidak ada. Sekarang sudah kupasrahkan hatiku, entah bagaimana nanti nasib kalian bertiga dan status pekerjaanmu. Yang jelas, hukuman penjara pidana di atas 10 tahun. Dan aku sudah ikhlas bila Ibu nanti meninggal di dalam penjara.”
Mervin mengatakan kepada HMStimes.com bahwa pada saat itu dia hanya mengingatkan agar jangan sampai ibunya nanti merasakan penjara seumpama gugatan mereka menang di pengadilan. “Kalau terbukti salah, seumpamanya Ibu masuk penjara, apakah mampu Ibu ini menahan beban di dalam penjara? Kalau meninggal bagaimana, siapa yang malu? Pesan saya itu terlalu dikembangkan ke hal yang jelek,” kata Mervin.
Walaupun begitu, sebenarnya dia tidak ingin sepenuhnya menyalahkan ibunya. “Tolong jangan disalahkan mama saya. Mama saya dipengaruhi,” katanya.
Setelah HMS selesai mewawancarai Mervin, dia mengirim foto makam ayahnya yang berdiri di lahan Yayasan Trisula di Doloksanggul dengan pesan, “Tolong dimuatkan pesan saya buat keluarga bahwa kedamaian itu indah, hati tenteram. Harta adalah titipan sementara dari Tuhan. Kalau Tuhan berkehendak mengambilnya, kita tidak bisa mengatakan tunggu dulu. Mari kita perbanyak berdoa agar hati tenteram dan sehat selalu di mana pun kita berada.”
Budayawan Batak Prof. Dr. Bungaran Antonius Simanjuntak diminta HMS untuk menanggapi perkara gugatan anak terhadap ibunya ini dari sudut pandang budaya Batak yang menjunjung tinggi falsafah dalihan natolu, yaitu somba marhulahula (hormat kepada keluarga pihak istri dan ibu), elek marboru (sikap membujuk dan mengayomi saudara perempuan), dan manat mardongan tubu (bersikap hati-hati kepada teman semarga).
Menurut Simanjuntak, dalam kasus ini Mariamsyah berada pada posisi salah kalau tidak memperlakukan anak-anaknya sebagai pewaris marga, terutama anak sulung. Sebab, dalam budaya Batak yang patrilineal, laki-laki adalah pewaris marga sehingga posisi anak laki-laki sangatlah penting.
“Harusnya anaknya ditanya dulu. [Warisan] itu milik suami, bukan milik istri. Jadi, milik suami berarti milik anak laki-laki, pewaris marga. Semua anak laki-laki berhak,” kata Bungaran Antonius Simanjuntak, 3 September 2020.
Hal itu berangkat dari filosofi dalihan natolu. “Itulah kenapa kalau lahir cucu dari anak pertama, cucu itu mendapat panjaean sebidang sawah, tanah, atau kebun. Itu upa ompu untuk cucu panggoaran,” katanya.
Sementara anak perempuan, dalam budaya Batak, tidak mutlak menjadi ahli waris, tetapi banyak mendapat pemberian atau silehon-lehon dari orang tuaya. Cucu laki-laki pertama dari anak perempuan juga mendapat silehon-lehon. Budaya memberi kepada anak perempuan ini sangat lazim terjadi di daerah Kabupaten Toba. “Makanya banyak orang Tarutung mencari perempuan dari Toba,” katanya.
Pada sisi lain, menurut Prof. Bungaran Antonius Simanjuntak, menggugat ibu kandung ke pengadilan gara-gara harta warisan juga salah karena melangkahi hukum adat Batak, yang berangkat dari dalihan natolu tadi. Katanya, hukum adat Batak mengedepankan pemufakatan secara kekeluargaan. Pihak anak bisa memanggil pamannya, yaitu saudara laki-laki ibunya, untuk mencari solusi terbaik, dan menghadirkan pihak perempuan sebagai penengah.
“Kalau langsung dibawa ke pengadilan juga salah. Apa artinya ada paman? Kalau memang masih mengakui adat, maka sebisa mungkin diselesaikan dengan peradilan adat. Dalihan natolu fungsinya di situ,” kata guru besar sosiologi dan antropologi budaya di Universitas Negeri Medan ini.