Tukang pangkas yang biasa disapa sebagai Pak Iis (62) ini tetap setia membuka jasa cukur rambut di emperan parit di bawah pohon trembesi di tepi Jalan Perintis Kemerdekaan, tak jauh dari seberang RS Pirngadi, Medan, Sumatra Utara, sejak tahun 1996 sampai hari ini pada tahun 2020. Dia menjadi tukang pangkas terakhir yang masih bertahan di sana.
Pagi hari tanggal 29 Agustus 2020, HMStimes.com menghampiri dia dan menyampaikan niat untuk mewawancarainya. Dia bersedia bercerita, tetapi tidak mau difoto. “Boleh ambil foto tempat, peralatan pangkas, tapi jangan nampak wajah saya, ya,” katanya sambil tersenyum.
Sebelum menjadi tukang pangkas, Pak Iis mengaku sudah menjalani liku-liku hidup yang panjang. “Kalau ditanya perjuangan hidup, sudah saya lalui yang pahit sekali pun, dan menjadi tukang pangkas mungkin merupakan takdir saya,” katanya. Dari ceritanya, Pak Iis adalah orang yang tegar, tidak suka mengeluh, dan selalu bersyukur atas apa yang dia jalani.
Ketika masih berusia 13 tahun, dia merantau dari Padang ke Medan bersama dengan orang tuanya. Kehidupan ekonomi orang tuanya tidak begitu baik sehingga memaksanya harus berjuang lebih keras dan merantau ke Jakarta. Di sana ia berjualan kain dengan cara berkeliling. Kadang dia mangkal di Tanah Abang dan Blok M, bahkan hingga Yogyakarta dan Cirebon.
“Biasanya di mana ada keramaian, ke situ saya jualan, seperti Pesta Laut Nadrah di Karanganyar. Itu acara besar dan kadang bisa sampai 40 hari. Setelah dari situ, saya balik ke Jakarta dan pergi lagi ke kota lain,” katanya setelah menunjukkan foto dirinya semasa muda, yang disimpannya dalam ponsel tua yang nada deringnya masih berkualitas polifonik.
Kemudian ia kembali ke Medan karena orang tuanya sakit. Di kota inilah ia menikah dan mulai bekerja sebagai tukang antar barang dengan becak.
Suatu hari ia melihat teman-temannya membuka usaha pangkas dengan penghasilan yang lumayan. Dia pun belajar memangkas, dan setelah mahir, dia membuka usaha pangkas sendiri. Dia masih ingat persis hari bersejarah ketika dia memulai usaha pangkasnya itu. “Tanggal 23 Maret 1996, hari Rabu,” kata Pak Iis.
Menurut ceritanya, di sepanjang Jalan Perintis Kemerdekaan dulunya sangat banyak orang membuka jasa pangkas pinggir jalan, selain di kawasan Lapangan Merdeka dan Jalan Merak Jingga. Peralatan pangkasnya dibawa, termasuk kursi, dengan menggunakan sepeda.
Sekarang tinggal Pak Iis sendiri yang bertahan di tepi jalan itu. Teman-temannya yang lain sudah meninggal dan banyak juga yang berganti usaha. Akan tetapi, meski sudah tinggal sendirian tidak berarti penghasilan Pak Iis bertambah banyak karena saingan berkurang.
Dulu orang yang datang cukur rambut dari semua kalangan, bahkan kalangan mapan. Namun, kian hari tempat cukur semakin berkembang. Bahkan, tak sedikit tukang pangkas yang sudah menggunakan fasilitas AC dan alat cukur canggih. Sebaliknya, Pak Iis masih bertahan seperti dulu, menggunakan alat cukur manual. Karena itu, umumnya pelanggannya hanya dari kalangan menengah ke bawah, seperti tukang becak, pedagang pasar, dan tukang parkir.
Pada hari biasa, Pak Iis bisa memangkas 7 orang sampai 10 orang per hari. Upah sekali pangkas Rp13.000. Sedikitnya Rp100.000 per hari bisa dibawanya pulang, itu pun kalau lagi mujur.
Pendapatan yang kecil dan tidak menentu membuat kehidupan ekonomi Pak Iis terbilang sederhana meski tetap cukup untuk menghidupi keluarganya, yang masih mengontrak rumah di kawasan Jalan Gurilla, Medan.
Keberuntungan usaha pangkas Pak Iis tergantung juga pada cuaca. Kalau hujan, dia tidak bisa melayani orang. Tempat berlindungnya hanya pohon, tidak ada atap untuk berteduh. Bila hujan pada pagi hari, dia baru akan mulai bekerja agak siang menunggu hujan reda.
Belakangan, sejak adanya pandemi virus corona, penghasilannya anjlok, bahkan pernah dia tidak mendapat pelanggan seorang pun selama seharian. Dia pulang ke rumah dengan hasil nihil. “Bagaimana orang mau potong rambut, sekarang ini ekonomi lagi sulit. Orang tidak kepikiran mau pangkas. Makan saja bisa, sudah syukur. Kemarin ada tukang becak yang biasa mangkal di sini, sudah keliling-keliling setengah hari, dapatnya cuma enam ribu perak. Ngeri, kan?” katanya.
Pak Iis memaklumi situasi ini sehingga dia tidak mengeluh. “Bukan hanya saya yang susah. Yang lain juga susah, bahkan lebih susah dari saya,” katanya.
Di balik kesabarannya itu, beruntung masih ada orang yang mau berbuat baik membantunya. Dia sudah dua kali mendapat bantuan sembako. Pada awal Maret lalu, tiba-tiba dua orang polisi, yang salah satunya polwan, turun dari mobil dan singgah di tempatnya untuk memberinya bantuan.
Ketika hendak pamit, HMStimes.com kembali memintanya berpose untuk difoto, tetapi dia tetap menolak. Sebelum HMS beranjak meninggalkannya, dia berpesan bagai orang tua yang tengah menasihati anaknya.
“Tetap semangat,” katanya. “Tengoklah [tirulah] lilin yang tetap menyala untuk orang sampai ia habis. Dalam hidup, kita juga harus begitu.”