Minimnya data pelaku usaha UMKM di Provinsi Kepulauan Riau (Kepri), menimbulkan paradigma baru di kalangan pelaku usaha dan pemerhati ekonomi lainnya. Tentang rencana pemerintah melalui Kementerian Koperasi dan Usaha Menengah dan Kecil Menengah, yang akan memberikan dana insentif sebanyak Rp2,4 juta per UMKM, dikhawatirkan tidak akan memberikan manfaat bagi 12 juta pelaku usaha yang terimbas Covid-19 di seluruh Indonesia.
Data pelaku usaha yang diterima Kementerian dari pemerintah daerah yang notabene sebagai acuan penerima dana insentif, dinilai tidak berdasarkan fakta riil di lapangan. Turutannya, jumlah penerima UMKM di Kota Batam dengan jumlah data yang dimiliki Provinsi Kepri terpaut jauh. Sebelumnya, Suleman Nababan, Kepala Dinas UMKM Kota Batam, mengatakan pelaku usaha yang terdata saat ini berkisar 300-an. Kepada hmstimes.com, 6 Agustus 2020 lalu, Suleman Nababan mengatakan, tempo ini hanya memiliki data pelaku usaha mikro berizin sesuai data yang diterbitkan kecamatan. “Basic data kita 300 lebih,” kata Suleman Nababan.
Tiga hari sesudah itu, 9 Agustus 2020, Sekretaris KUMK Provinsi Kepri, Eky, dalam meeting online zoom mengatakan, jumlah pelaku UMKM dari Kota Batam yang telah dikirim ke Kementerian adalah sebanyak 8.226 dari 81.575 pelaku usaha. Saat ini jumlah total pelaku usaha dari keseluruhan kabupaten dan kota di Provinsi Kepri sebanyak 112.155. Batam memiliki pelaku UMKM paling banyak yakni 81.575, kemudian Tanjung Pinang sebanyak 19.866, Karimun memiliki 5.234 pelaku usaha, Lingga 3.052. Sedangkan menurut data di provinsi, pelaku usaha di Natuna menunjukkan angka 1200, lebih tinggi dari Bintan yang hanya memiliki 1107, dan Anambas sebanyak 121 pelaku usaha. Sementara itu, data UMKM yang terdampak Covid-19, menurut data yang dimiliki provinsi saat ini, Batam sebanyak 8.226; Karimun sebanyak 1.831; Natuna sebanyak 1692; Tanjung Pinang sebanyak 1.208; Lingga sebanyak 776; Bintan sebanyak 257, sedangkan kabupaten Anambas tidak memiliki data yang terdampak Covid. Total jumlah pelaku usaha yang telah dikirimkan ke kementerian untuk mendapatkan dana insentif yakni, sebanyak 13.990. Bila dicermati, pelaku UMKM di Natuna yang berjumlah 1200, pascapendemi jumlah data yang terdampak Covid-19 bertambah menjadi 1692.
Ketika hmstimes.com menanyakan acuan data yang dimiliki provinsi yang terpaut begitu jauh dengan data yang disampaikan oleh UMKM Batam, Eky mengatakan, provinsi hanya memfasilitasi saja. Selanjutnya, mekanisme pengumpulan data diserahkan kepada Dinas UMKM di Batam. “Kami menyerahkan sepenuhnya kepada kabupaten kota,” kata Eky. Sejalan dengan program pemerintah memberikan bantuan stimulus senilai dua juta empat ratus ribu rupiah kepada setiap pelaku usaha, kata dia, daerah provinsi hanya menfasilitasi saja. Mengenai usaha mikro adalah domain kota, sedangkan usaha kecil menengah merupakan domain provinsi. Eky mengaku, ada kerancuan dalam menerjemahkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah yang memuat pemberdayaan usaha kecil yang dilakukan melalui pendataan, kemitraan, kemudahan perizinan, penguatan kelembagaan, dan koordinasi dengan para pemangku kepentingan adalah domainnya provinsi. Pengembangan usaha kecil dengan orientasi peningkatan skala usaha menjadi usaha menengah menjadi ranah provinsi.
Sedangkan wewenang kabupaten dan kota adalah pengembangan usaha mikro dengan orientasi peningkatan skala usaha menjadi usaha kecil. Kondisi ini, kerap menimbulkan komunikasi yang tidak menyambat antara kota dan provinsi. “Waduh Pak, kami tidak mengurusi usaha kecil, kami hanya mengurusi usaha mikro,” kata Eky, bila meminta data pelaku usaha kecil menengah kepada kabupaten. Sebelumnya, kepada hmstimes.com, Suleman juga mengatakan bahwa UMKM Kota Batam hanya mengurusi usaha mikro sedangkan kecil menengah adalah domainnya provinsi.
Menyoroti data pelaku usaha UMKM, Andi Bola, Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) membidangi UMKM, Provinsi Kepri,10 Agustus 2020, mengatakan masalah pelaku usaha dan pengelolaan bantuan pemerintah adalah dua hal yang tak luput dari perhatiannya tempo ini. “Saya mengikuti terus bantuan UMKM,” kata Andi Bola kepada hmstimes.com. Ia memberi catatan, sejak tempo dulu, pemerintah selalu mempertontonkan kelemahannya dalam pengelolaan UMKM. Tentang data yang dimiliki pemerintah provinsi, ia berpendapat, dinas terkait hanya menerima data yang tidak valid. Data awal, memang tetap dari kabupaten atau pun kota. Menyoal data UMKM yang akurat, Andi mengatakan, ada di BPS. Menurut data BPS tahun 2019, jumlah UMKM di Kota Batam, berjumlah 84.000. “Kalau pun dibilang 300-an, ini masalah juga saya lihat ini,” katanya.
Ia melanjutkan, yang membuat pelaku UMKM terlambat menerima bantuan, karena kelemahan pemerintah sendiri. Pasalnya, data yang dimiliki pemerintah adalah data lima tahun yang lalu. Di tengah pandemi, pemerintah hendak menyalurkan bantuan, di situ dinas terkait baru sibuk melakukan pendataan. Yang menjadi pertanyaan bagi Andi, bagaimana pemerintah mengucurkan dana insentif tersebut dengan data yang tidak akurat. “Di sinilah ketidakberdayaannya dinas UMKM itu. Sebaiknya pemerintah tak usah memberikan bantuan insentif dengan data yang tak pastilah,” kata Andi. Bila insentif itu diturunkan, ia menyoal siapa yang akan menerima dana itu, dan siapa yang akan menyalurkan bantuannya. Ditanya, pemerintahan yang mana, Andi mengatakan pemerintah daerah sampai tingkat kementerian.
Menyelisik data UMKM, jangankan pemerintah kabupaten dan kota, tingkat kementerian pun tidak bisa menjawab data UMKM. Ia menceritakan, beberapa waktu yang lalu, ketika ia menyimak perbincangan sekretaris Kementerian KUMKM di salah satu stasiun televisi swasta, tidak bisa menjelaskan data UMKM di Indonesia. Menurutnya, kebijakan dana insentif pascapandemi covid-19 ini, adalah keputusan yang terburu-buru tanpa menelaah dengan saksama, jumlah pelaku usaha di provinsi Kepri. “Sedangkan sekretaris menteri pun, tidak bisa menjawab juga,” kata Andi. Upaya pemerintah untuk menghidupkan perekonomian daerah dari sektor UMKM tidak cukup hanya mengandalkan pengeluaran data dari daerah, mengingat pemerintah daerah pun tidak mampu mengumpulkan data pelaku usaha.
Selain transparansi data dan alokasi dana-dana bergulir pemerintah selama ini, kata dia, pemerintah pun terkesan tidak memedulikan peran serta lembaga-lembaga yang sudah bermitra dengan pemerintah sekarang ini. Bukan malah melibatkan mitra pemerintah, seperti KADIN, Apindo dan asosiasi lainnya, justru pemerintah yang malah meminta data dari asosiasi-asosiasi. “Enak saja pemerintah minta data. Kerjanya apa, masa kita yang disuruh mendata. Bukan tugas KADIN melakukan pendataan UMKM,” kata Andi. Persoalannya, pemerintah yang berberat hati menarik lembaga yang sudah ada untuk berkolaborator guna kemudahan iklim investasi di Batam ini. Ironisnya, kementerian justru sedang mencari partner untuk membuka lapak. Ia menyoal kementerian yang tidak memberdayakan yang sudah ada, atau setidaknya Kementerian KUMKM yang mengelola buka lapak itu, tanpa harus mencari pihak baru lagi. “Persoalannya, mau tidak. Masalahnya, KADIN tidak punya hak juga untuk menteri. Kita hanya bisa bertanya?” katanya.
Jika Dinas UMKM baru melakukan pendataan pelaku usaha sekarang, ia bertanya, “Apa saja yang dikerjakan pemerintah selama ini. Rakyat dan negara ini menggajinya?” Menurut Andi, dalam kondisi krusial akibat pandemi, tahap mengumpulkan data, mengirim data, dan menunggu verifikasi di tingkat Kementerian, ia skeptis. “Jadi artinya, mati duluan UMKM-nya. Sudah mati, baru datang bantuan itu. Lalu yang menerima bantuannya, siapa?” kata Andi. Oleh karena kinerja pemerintah daerah yang tak jelas ini, ia bersama KADIN telah menyurati KADIN pusat agar unjuk kerja pemerintah daerah ini dilaporkan. Kesimpulannya, jika pemerintah memang berpihak kepada penggerak ekonomi mikro kecil menengah daerah, Andy mengatakan, pemerintah harus membangun ekosistem yang sehat di tengah pelaku usaha, mitra, stakeholder, kemudian didukung prasarananya seperti ketersediaan data pelaku usaha yang akuntabel.