Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Kepulauan Riau (Kepri) menetapkan satu warga negara Cina sebagai tersangka dalam kasus penganiayaan di kapal Lu Huang Yuan Yu 117 dan 118 yang diamankan tim gabungan pada 8 Juli 2020 lalu. Atas penetapan tersangka tersebut, Polda Kepri melaporkannya kepada Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) untuk tindak lanjut antar negara.
Warga negara Cina yang ditetapkan sebagai tersangka yakni Song Chuan Nyun (50) yang merupakan mandor di kapal penangkap cumi tersebut. Ia ditetapkan sebagai tersangka usai pemeriksaan terhadap anak buah kapal (ABK) lainnya dan autopsi yang dilakukan oleh tim Bidang Dokter dan Kesehatan (Dokkes) Polda Kepri terhaadap jasad Hasan Afriari, ABK yang meninggal di kapal Lu Huang Yuan Yu 118 pada 20 Juni lalu. Dari hasil autopsi diketahui terdapat banyak luka lebam di bagiah tubuh jenazah Hasan Afriadi.
“Tanda-tanda kekerasan kami temui di tubuh jenazah Hasan Afriadi yang disebabkan benda keras. Selain itu, dari hasil pemeriksaan yang kami lalukan terhadap ABK lain, baik WNI maupun ABK warga negara Filipina, semua keterangan menguatkan dugaan penganiayaan yang dilakukan oleh tersangka. Karena selain korban yang meninggal dunia, ABK lain juga kerap dianiaya oleh tersangka. Kasus ini juga sudah kami laporkan kepada Kemenlu [Kementrian Luar Negeri] untuk disampaikan ke pemerintah Cina bahwasanya kami sudah menangkap dan menahan warga negaranya,” kata Direktur Reskrimum Polda Kepri, Kombes. Pol. Arie Dharmanto saat ditemui di ruang kerjanya, Selasa, 14 Juli 2020 siang.
Arie menjelaskan, dari hasil olah tempat kejadian perkara dan pemeriksaan saksi juga diketahui bahwa almarhum Hasan Afriadi juga telah menderita sakit saat bekerja di kapal yang berlayar dari Singapura menuju Argentina tersebut. Saat kondisi almarhum sakit dan lemah, tersangka Song tetap memaksanya untuk bekerja siang dan malam tanpa adanya istirahat yang cukup. Bahkan, almarhum dan ABK lainnya tidak menerima asupan gizi yang cukup selama bekerja. Untuk itu, autopsi secara mendalam dilakukan guna mengetahui penyebab utama kematian korban. “Tim Biddokkes sudah mengambil beberapa sampel organ untuk pemeriksaan mendalam. Kami ingin mengetahui penyebab utama kematian korban, apakah dia memiliki penyakit bawaan atau murni meninggal karena penganiayaan,” kata Arie lagi.
Terhadap tersangka Song Chuan Nyun dikenakan pasal 351 ayat 3, 2, dan 1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Selain itu, tim Ditreskrimum juga menambahkan undang-undang khusus dalam kasus ini terkait Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) mengingat hasil penyelidikan diketahui bahwa penempatan kerja seluruh ABK melalui jalur ilegal. Tim penyidik membuat dua laporan polisi untuk menjerat para pelaku dengan undang-undang berlapis.
Tak hanya itu saja, Arie juga menambahkan, pengungkapan kasus dugaan penganiayaan dan perdagangan orang yang dilakukan oleh jaringan internasional ini bukan suatu hal yang bersifat kebetulan. Hal ini membuktikan kepada masyarakat bahwa perbudakan modern masih ada dan berawal dari aksi dua ABK kapal Lu Qing Yuanyu 213, yakni Reynalfi dan Andri Juniansyah yang lompat ke laut dan ditemukan tengah terapung di Perairan Karimun pada 7 Juni 2020 lalu. Kasus ini mendapat perhatian serius karena menyangkut hak asasi manusia (HAM) khususnya WNI yang bekerja di kapal asing.
Selain tidak diperlakukan dengan baik, ABK ini juga tidak menerima upah atas pekerjaannya. Uang sebesar $300 yang dikirimkan pihak pemilik kapal kepada keluarga ABK hanya sekedar uang lelah. “Mereka ini belum pernah digaji karena belum pernah turun ke darat. Kemarin itu hanya sekedar uang lelah saja. Selain itu, jumlah itu belum sebanding dengan apa yang mereka [ABK] keluarkan untuk bisa bekerja. Mengurus paspor, sertifikat palsu itu kan bayar,” kata Arie.
Saat ini, kondisi 9 ABK yang masih tersisa sudah semakin membaik. Secara psikologis, mereka sudah normal dan lebih fokus serta sudah mampu memberi keterangan dengan lancar.