Selasa dinihari, 13 Agustus 1997, selepas menulis seharian di kantor Harian Bernas, Fuad Muhammad Syafruddin atau Udin bergegas pulang ke rumah kontrakannya. Ia berhasil selamat setidaknya hingga ke teras, setelahnya adalah malapetaka. Ia diserang oleh orang tak dikenal. Kepalanya dihantam dan perutnya disodok besi. Dua hal yang membuatnya tak sadarkan diri.
Udin lalu dibawa ke Rumah Sakit (RS) Jebugan Bantul, lalu dilarikan ke RS Bethesda Yogyakarta untuk mendapatkan perawatan intensif. Tiga hari berselang, Jumat, 16 Agustus 1996, Udin menghembuskan napas terakhir. Pendarahan hebat di kepalanya tak tertolong meski sudah menjalani operasi.
Kuat dugaan, ia tewas oleh tangan besi rezim Orde Baru yang tak suka dengan berita-berita terkait pemilihan Bupati Bantul periode 1996-2001 yang dibuat Udin.
Koalisi Masyarakat untuk Udin atau K@MU memberikan karangan bunga kepada Kepala Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta, Inspektur Jenderal Polisi Asep Suhendar sebagai simbol matinya keadilan untuk wartawan Fuad Muhammad Syafruddin atau Udin, Senin, 16 Agustus 2021.
Pembunuhan wartawan Harian Bernas, Fuad Muhammad Syafruddin memasuki tahun ke 25. Tapi, hingga kini kasusnya tak kunjung selesai. Pemerintah mengabaikan tanggung jawabnya untuk menghukum aktor intelektual pembunuh Udin. “Ketidakseriusan itu tergambar pada sejumlah janji pemimpin daerah hingga pusat untuk mengungkap kasus kejahatan Hak Asasi Manusia itu,” kata Koordinator K@MU, Tri Wahyu KH, Senin, 16 Agustus 2021.
Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X berjanji mengungkap kasus tersebut dan mengajak Polda DIY untuk melakukan penyelidikan mulai dari nol. “Sampai saat ini kasusnya tetap menjadi ‘dark number’ penuh misteri. Pada waktu itu ada sesuatu yang tidak konsisten dalam penyelidikan,” kata Sultan dalam sambutannya pada pembukaan Festival Media Aliansi Jurnalis Independen di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjosoemantri, Kompleks Universitas Gadjah Mada (UGM) pada Sabtu, 28 September 2013.
Sudah belasan kali jabatan Kepala Kepolisian Republik Indonesia berganti. Tapi, penuntasan kasus Udin berjalan mandek. Pada 2013, Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Jenderal Polisi Sutarman di sejumlah media massa menyebut ada kesalahan dalam pengusutan kasus Udin. “Sudah salah dari awalnya,” kata Sutarman di Mabes Polri, Jl Trunojoyo, Jakarta, Selasa, 19 November 2013.
Menurut Sutarman, salah satu kesulitan dalam mengusut kasus itu adalah alat bukti. Penyidik kasus Udin dari kepolisian resor Bantul, Sersan Mayor Edy Wuryanto menghilangkan alat bukti, yakni melarung darah Udin ke Pantai Parangtritis.
Edy yang merekayasa perkara Iwik selaku tersangka pembunuh Udin tidak diadili. Ia hanya diadili di Mahkamah Militer karena didakwa menghilangkan barang bukti penting. Selain darah Udin, juga ada buku catatan Udin yang diambil dari Marsiyem, istri Udin.
Setelah melewati proses persidangan yang lama, Edy hanya mendapat hukuman 10 bulan penjara karena kelalaiannya. Kasus Udin pernah disidangkan dengan menyeret terdakwa palsu, Dwi Sumadji alias Iwik dengan dalih perselingkuhan. Iwik membantah semua tuduhan itu dan hakim membebaskannya.
Udin meninggal pada 16 Agustus 1996 setelah dianiaya orang tak dikenal tiga hari sebelumnya. Peristiwa penganiayaan ini diduga kuat berhubungan dengan tulisan-tulisannya yang kritis, yakni korupsi megaproyek Parangtritis.
Menjelang pemilihan bupati baru di tahun itu, Udin menulis upaya Bupati Bantul Sri Roso Sudarmo memberikan upeti Rp1 miliar kepada Yayasan Dharmais pimpinan Presiden Soeharto. Tujuannya agar Sri Roso kembali menjadi bupati Bantul.
Hingga kini, kasus Udin masih gelap. Padahal berdasarkan investigasi wartawan Bernas yang bergabung dalam Tim Kijang Putih dan Tim Pencari Fakta dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Yogyakarta menghasilkan petunjuk ada dugaan pembunuhan Udin karena sejumlah berita korupsi di Bantul yang ditulisnya.
Sejumlah upaya hukum dan advokasi dilakukan, termasuk memberikan data-data hasil investigasi itu kepada polisi. Namun, polisi tetap berpegang teguh Iwik pelakunya.
Aliansi Jurnalis Independen Yogyakarta yang bergabung dengan K@MU, bersama jaringan masyarakat sipil pro-demokrasi menolak impunitas atau penghentian penyelesaian kasus Udin. Semasa hidupnya, Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung, Artidjo Alkostar, kembali menegaskan kasus pembunuhan wartawan Harian Bernas, Fuad Muhammad Syafrudin alias Udin, tidak akan kedaluarsa. Menurut dia, dalam kasus ini, belum ada terdakwa yang sudah menerima vonis bersalah dari hakim, sehingga tidak bisa diberi tenggat waktu kedaluarsa 18 tahun.
“Nonsense kalau kasus Udin dikatakan akan kedaluwarsa,” kata Artidjo seusai berbicara dalam diskusi “Refleksi Akhir Tahun Penegakan Hukum: Antara Cita dan Fakta,” di Aula Kantor Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Yogyakarta, Kamis, 26 Desember 2013.
Artidjo mengatakan sudah pernah menyatakan pendapat ini dalam diskusi mengenai kasus Udin di Dewan Pers, beberapa waktu lalu. Menurut dia, saat itu semua pihak dalam diskusi tersebut juga sepakat kasus Udin tidak akan pernah kedaluwarsa. “Belum ada terdakwanya, tidak mungkin kedaluwarsa,” kata Artidjo.
Dia menjelaskan, suatu kasus pidana bisa dianggap memiliki masa kedaluarsa apabila ada terdakwanya, tapi kemudian melarikan diri. Status kasus pelanggaran hukum pidana yang dilakukan oleh terdakwa tersebut bisa diberi masa tenggat kedaluwarsa. “Kalau ditemukan tersangkanya, sampai kapan pun kasus ini harus diproses oleh penegak hukum,” kata dia.
Wartawan bekerja memenuhi hak publik dan sudah sepatutnya mendapat perlindungan dari negara. Celakanya, perlindungan terhadap kerja jurnalistik di Indonesia sangat rendah. Tren kekerasan terhadap jurnalis pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo menunjukkan rendahnya perlindungan hukum terhadap jurnalis.
Presiden Jokowi harus tegas memerintahkan Kapolri menuntaskan kasus Udin. “Serangan terhadap kebebasan pers dan berbagai bentuk kekerasan terhadap jurnalis harus diakhiri,” kata Ketua AJI Yogyakarta, Shinta Maharani.
Belum lama ini, kasus kekerasan menimpa jurnalis Tempo di Surabaya, Nurhadi. Kasus ini menambah jumlah kasus kekerasan terhadap wartawan.
Data Aliansi Jurnalis Independen Indonesia menunjukkan tahun 2020 terdapat 84 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Pelaku paling banyak adalah polisi. Jumlah kasus ini meningkat dibanding tahun sebelumnya sebanyak 54 kasus. Bentuk kekerasan di antaranya intimidasi, kekerasan fisik, perusakan alat liputan, perampasan alat kerja hasil liputan, dan ancaman atau teror.
Lembaga Bantuan Hukum Pers juga mencatat ada 117 kasus kekerasan yang menimpa wartawan. Pelaku paling banyak polisi. Lalu ada tentara, warga, dan pengusaha. Sebagian besar kasusnya mandek dan tidak ditangani dengan serius hingga ke pengadilan.
Data itu menjadi catatan buruk bagi kepolisian dan tentara karena mereka paling dominan sebagai pelaku kekerasan. Situasi ini tentu tidak baik bagi kehidupan demokrasi di Indonesia. Media massa punya peran penting menjaga prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum. Media massa bertanggung jawab menjalankan fungsinya sebagai anjing penjaga. Tugas jurnalis mengawasi jalannya pemerintahan.
Kerja wartawan dijamin dalam Undang-Undang No.40 tahun 1999. Pasal 6 di antaranya juga berbunyi pers melakukan pengawasan, kritik, koreksi, saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum dan memperjuangkan keadilan dan kebenaran. Siapapun yang menghambat dan menghalangi kerja jurnalistik terancam pidana paling lama 2 tahun penjara dan denda paling banyak 500 juta rupiah.
Kebebasan pers masih jadi persoalan
Pertengahan 2016, tiga jurnalis di Tanjungpinang, Kepulauan Riau, Charles Sitompul (Batamtoday.com) Nevel Sinaga (Koran Sindo Batam), dan Wahib Wafa (Tribun Batam) tengah meliput persidangan kasus pelayaran soal penyelundupan barang dari Singapura. Sejatinya, sidang itu adalah persidangan terbuka di Pengadilan Tanjungpinang.
Dalam sidang itu, Ahang, yang dikenal sebagai pengusaha ekspor impor barang, menjadi saksi terhadap perkara penyelundupan barang yang dibawa KM Kharisma Indah.
Di tengah sidang, sejumlah orang tidak dikenal menarik paksa Charles keluar dari ruang persidangan. Lantaran merasa sudah mendapat izin meliput dari pihak pengadilan, Charles pun menolak saat diseret keluar hingga jaketnya sobek karena berusaha melawan. Jaket itu kemudian turut menjadi barang bukti dalam laporan Charles dkk ke Polres Tanjung Pinang, termasuk beberapa video dan foto terkait kejadian.
“Saat itu ricuh, sampai sidang diskros. Belakangan kami ketahui, hakim pada persidangan saat itu juga mempertanyakan siapa orang tidak dikenal itu yang jumlahnya sekitar 10 orang. Saya dimaki mereka, dan mereka mengaku lagi melaksanakan tugas dari bos yang di persidangan itu jadi saksi” kata Charles via telewicara, Senin, 16 Agustus 2021.
Charles mengatakan, dalam laporan ke Polres Tanjungpinang, disebutkan pula nama M. Ichsan Adi Halik yang menjadi dalang penghalang-halangan proses sidang kali itu. Namun, sebulan berselang usai laporan itu, kasus tersebut justru diambil alih oleh Polda Kepri.
Insiden kekerasan itu sudah dilaporkan ke Polres Tanjungpinang dengan Nomor LP. STPL/192/K/VII/2016/Kepri/SPK-Rws TPI pada 26 Juli 2016. Selanjutnya atas kebijakan internal Polda Kepri, pada 4 Agustus 2016, Polda Kepri mengambil alih proses penyidikan dengan surat Pelimpahan Nomor B.1154.VIII/2016/Reskrim.
Menanggapi hal itu, Charles yang kini menjabat sebagai Ketua Divisi Advokasi AJI Tanjungpinang merasa bahwa ada ketidakberpihakan yang dilakukan aparat penegak hukum terhadap jurnalis. Selain sudah mengendap lebih dari 5 tahun, dalam laporan terkait penghalang-halangan kerja wartawan itu, pihak kepolisian juga tidak menahan Ichsan meski sudah ditetapkan sebagai tersangka.
“Penetapan tersangka itu disebut dalam Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HD) nomor B/92/VIII/2016/Ditreskrimum Polda Kepri. Tapi ya begitu, Ichsan tidak pernah ditahan bahkan sampai dia meninggal,” katanya.
Menurut Charles, persepsi masyarakat Tanjungpinang terhadap pers sejauh ini baik-baik saja. Tetapi, kata dia, beberapa pejabat publik dan orang-orang berpendidikan justru paling sering menghalangi kerja-kerja pers.
Dia mencontohkan, saat ini jurnalis di Tanjung Pinang tidak dapat mewawancarai perihal apapun ke Wali Kota Tanjungpinang, Rahma. Dalam tiap kegiatan Pemerintah Kota (Pemko) Tanjungpinang, Rahma akan memerintahkan empat ajudannya untuk menghalangi jurnalis yang hendak bertanya.
“Padahal yang mau kami tanya itu soal penanganan Covid-19, recofusing anggaran, dan yang lain lah. Tapi ajudan dia yang terdiri dari dua ASN dan dua tentara pasti menghalangi. Lah tentara itu kan digaji pakai APBD kalau memang ditugaskan sebagai ajudan pribadi, kenapa menghalangi proses liputan,” katanya.
Menurutnya proses liputan pun pada akhirnya menjadi informasi yang menjadi kebutuhan publik, dan tentara mustinya tidak menghalangi proses itu. Charles menuturkan, dengan beragam kejadian dan kasus penghalang-halangan liputan, kebebasan pers khususnya di Tanjungpinang masih membutuhkan perjuangan yang panjang.