Dalam kehidupan sosial, masyarakat kita masih melihat anak berkebutuhan khusus (ABK) dengan stigma yang buruk. Stigma menghambat, bernilai buruk. Dianggap tidak dapat bergaul dengan anak-anak normal. Hal ini yang kemudian menghambat ABK mendapat hak asasi mereka, utamanya soal pendidikan.
Sudah pasti apabila ditanya, semua orangtua ingin anaknya terlahir normal, begitupun si anak tidak pernah meminta tumbuh dengan cara yang berbeda. “Tapi kenapa mereka hadir di tengah-tengah kita? Agar kita bisa menerima mereka, juga agar kita bisa memanusiakan manusia,” kata Hefrina, Kepala Sekolah Luar Biasa (SLB) Putrakami Batam, Kepulauan Riau, Senin, 30 Agustus 2021.
Namun, perlahan pandangan tersebut pudar. Seiring berkembangnya teknologi, pikiran dan pandangan masyarakat pun kian terbuka. Utamanya terhadap para ABK. Paling tidak, itu yang diyakini Hefrina. Menurutnya, perkembangan teknologi membuat sumber informasi terkait ABK tersedia banyak. Mulai dari penanganan, hingga kisah-kisah orangtua yang menangani anak mereka yang berkebutuhan khusus.
“Kami juga guru-guru di sini sering dan rutin melakukan parenting [keorangtuaan] ke sekolah-sekolah juga ke beberapa rumah. Hal itu ternyata membantu sekali apalagi untuk masyarakat atau orangtua yang kami ajak untuk bersama-sama ramah kepada anak-anak ABK,” katanya.
Di awal tahun 2020, virus Covid-19 dideteksi ada di Indonesia. Banyak kegiatan di luar rumah maupun ruangan kemudian terpaksa ditiadakan. Tidak terkecuali proses belajar-mengajar atau pendidikan. Tidak membutuhkan waktu lama, Kota Batam pun menerapkan hal serupa. Seluruh sekolah juga kampus dituntut memberikan bahan ajar secara daring.
Hefrina mengatakan, SLB Putrakami Batam kemudian terpaksa harus adaptif dengan keadaan. Dia berkisah, bagi anak-anak biasa belajar tatap muka tetap ada kendala, apalagi mereka yang berkebutuhan khusus. Malah saat ini proses belajar harus dilakukan secara daring. Baik guru dan ABK kemudian dihadapkan dengan beban ganda.
“Pada akhirnya kami minta izin ke Dinas Pendidikan Provinsi Kepulauan Riau untuk menyelenggarakan belajar tatap muka. Tentu dengan penjelasan serta pertimbangan bahwa siswa di sini butuh penanganan khusus, dan hal itu bakal sulit dilaksanakan jika sepenuhnya dilakukan secara daring,” katanya.
Hefrina menjelaskan, setiap ABK tidak serta-merta lahir dengan kebutuhan khusus. Menurutnya tiap anak memiliki beberapa indikasi pada usia dini sebelum akhirnya ditetapkan sebagai ABK. Sehingga parenting amat perlu dilakukan baik di sekolah formal maupun di kalangan masyarakat.
“Saya dan beberapa guru lainnya sering melakukan deteksi dini. Saat melakukan itu, kami biasanya menjelaskan apa saja tanda-tanda anak yang bakal masuk kategori ABK. Juga saat memiliki karakteristik itu, anak itu masuk kategori ABK yang bagaiman,” katanya.
Dalam deteksi dini, Hefrina biasanya menjelaskan seorang anak bakal cenderung ke sifat atau arah tertentu. Bisa ke fisik delay, hiperaktif, disabilitas intelektual, down syndrom, atau slow learner. Perlunya melihat beberapa indikator, kata dia, maka observasi awal perlu dilakukan. Menurutnya, pihaknya juga terbuka dengan konseling. Dengan catatan, saat konseling orangtua juga turut membawa anaknya untuk diobservasi. Atau jika tidak membawa anaknya, orangtua harus cerita kondisi sebenarnya tentang anaknya tersebut.
Hefrina menegaskan, tiap ABK tetap bisa bersekolah di sekolah reguler tanpa harus belajar di SLB. Namun, dengan catatan orangtua harus terbuka dengan pihak sekolah reguler yang dituju. Sehingga pihak sekolah itu dapat menghadirkan guru pendamping yang dapat menangani anak itu.
“Jadi ABK juga punya hak dan kesempatan yang sama dengan anak-anak lain pada umumnya. Kita sebagai masyarakat di kehidupan sosial pun tidak boleh memandang mereka sebagai hal yang aneh dan berbeda,” kata dia.
Selama pandemi ini, SLB Putrakami Batam terpaksa harus mengurangi jumlah murid di tiap kelas. Lantaran sudah mendapat izin dari Dinas Pendidikan Provinsi Kepulauan Riau, maka proses belajar-mengajar pun musti disertai dengan protokol kesehatan. Hefrina mengatakan, normalnya setiap ruang kelas di SLB Putrakami Batam diisi 10 siswa atau kurang. Saat ini, tiap kelas dibatasi hanya diisi oleh tiga siswa saja.
“Jadi tiap hari siswanya juga bergantian ke sekolah. Anak-anak berkebutuhan khusus ini tidak sama dengan anak-anak reguler atau biasa lainnya. Mereka butuh pendampingan yang optimal. Kalau anak-anak reguler, disuruh menulis ya mereka akan menulis, sementara ABK ini butuh bantuan seperti dipegang tangannya kalau disuruh menulis,” katanya.
Dia menuturkan, di awal rencana belajar secara daring yang dianjurkan pemerintah, beberapa orangtua bahkan ingin berhenti menyekolahkan anaknya di sana. Hal itu, kata dia, beberapa orangtua memang belum memiliki pengetahuan khusus tentang menangani ABK, serta disibukkan dengan kegiatan lain. Hefrina bersama guru lainnya lalu berpikir bagaimana cara agar anak-anak itu mendapatkan haknya untuk sekolah. Akhirnya, diputuskanlah mempersingkat jam belajar.
“Mulanya, dalam aturan dari Dinas Pendidikan, proses belajar tatap muka hanya tiga kali dalam seminggu. Tapi karena permintaan dari orangtua banyak, apalagi dari kelas VI yang bakal ujian kelulusan, maka dibuatlah jadwalnya menjadi Senin-Rabu-Jumat dan Selasa-Kamis-Sabtu,”
Menurut Hefrina, pertimbangan lain dibukanya belajar tatap muka adalah karena murid yang duduk di kelas bawah banyak yang memiliki kendala seperti tidak dapat bicara dan gerak motorik yang terbatas. Dengan keterbatasan itu, pihaknya khawatir murid-murid di SLB Putrakami Batam tidak mendapatkan dan mengerti materi belajar mereka secara maksimal.
Proses Belajar saat Pandemi dan Mengajarkan ABK Taat Prokes
SLB Putrakami Batam kini memiliki 58 siswa beragam tingkat. Mulai dari PAUD Khusus, hingga jenjang sekolah menengah atas (SMA) anak-anak berkebutuhan khusus. Di tengah pandemi, kegiatan belajar-mengajar pun terpaksa harus dilakukan secara daring. Sedikitnya, setangah dari jumlah seluruh siswa harus menerima materi belajar melalui video di aplikasi percakapan yang diberikan guru mereka. Dengan keterbatasannya, bagaimana ABK paham soal pandemi Covid-19 dan taat protokol kesehatan (prokes)?
Kepala Sekolah Luar Biasa (SLB) Putrakami Batam, Hefrina, menjelaskan, dalam proses belajar sehari-hari, tiap guru akan menjelaskan apa itu pandemi, dan apa itu virus Covid-19. Tiap guru juga menerangkan apa itu masker beserta cara penggunaannya. Menurutnya, hal itu memang perlu dilakukan sebagai bentuk kesiapan mereka dalam membuka proses belajar tatap muka di tengah pandemi.
“Kami juga pelan-pelan mengajarkan kenapa sih kita perlu menggunakan masker, kenapa harus rajin mencuci tangan, kenapa harus menjaga jarak, gitu. Orangtua juga kami minta bantuannya untuk mengedukasi kalau ke manapun pergi harus menggunakan masker,” katanya.
Selain itu, kata dia, para orangtua juga diminta untuk tidak membawa anaknya ke sekolah jika salah satu dari keduanya sedang batuk atau pilek. Hal serupa pun berlaku untuk para guru. Hal itu menurutnya sebagai bentuk pencegahan penyebaran virus Covid-19 yang tengah melanda.
Untuk proses belajar, Hefrina menjelaskan bahwa tiap kelas memiliki grup WhatsApp masing-masing. Hal yang tidak berbeda dengan sekolah daring pada umumnya. Namun, proses belajar tatap muka tetap bisa disaksikan langsung oleh murid yang belajar dari rumah melalui sambungan panggilan video. Cara lainnya adalah dengan menyiapkan materi ajar dalam bentuk video yang akan diberikan ke grup WhatsApp dan akan ditonton oleh tiap murid.
“Memang betul dalam kondisi pendemi ini proses belajar daring menuntut kreatifitas, dan melek teknologi. Jadi itu juga menjadi sebuah tantangan untuk kami para guru,” katanya.
Mula Berdirinya Sekolah Anak-Anak Spesial
Putrakami tidak berarti anak laki-laki yang dimiliki satu subjek atau orang. Nama itu ternyata merupakan anagram dari Pusat Terapi (Asah, Asih, dan Asuh) dan Maha Indria, yang berarti anak-anak yang spesial atau anak -anak yang tidak biasa.
Mulanya, SLB Putrakami Batam hanyalah sebuah pusat terapi berupa Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Khusus di sebuah rumah kecil dengan dua ruangan sebagai penopang kerja dan beragam aktivitas. Banyak anak-anak berkebutuhan khusus mendapatkan terapi di sana. Namun, dalam perjalanannya, anak-anak itu justru mendapat kesulitan bahkan penolakan saat ingin mendaftar ke sekolah reguler. Kemudian tercetuslah keinginan mengembangkan pusat terapi itu menjadi sebuah sekolah untuk anak-anak berkebutuhan khusus.
Yul Everi, Ibu Yayasan SLB Putrakami Batam, berkisah, medio 2001-2002 saat PAUD Khusus itu baru dibuka, banyak orang yang meremehkan kehadiran mereka. Lebih lagi saat itu ABK masih jamak disebut dengan istilah anak cacat atau idiot. Persoalan lain, kata dia, beberapa orangtua dari ABK juga banyak yang tidak siap dengan pandangan negatif orang lain terhadap anaknya.
“Lalu pada tahun 2004 sampai tahun 2005 jumlah murid mencapai 25 orang, dan terpaksa harus dibagi ke beberapa kelas. Karena tidak efektif jika jumlah murid sebanyak itu digabung dalam satu-dua kelas,” katanya.
Dua tahun berselang, Yul Everi lalu kemudian membuka sekolah jenjang dasar (SD), kemudian di tahun 2009 bertambah pula jenjang menengah pertama (SMP). Meski tanpa kendala, dalam pengurusan izin operasional sekolah itu, pihaknya sedikit mendapat kesulitan. Sebab, kata dia, peralihan pemerintahan Provinsi Riau ke Provinsi Kepulauan Riau membuat proses perizinan sekolah memakan waktu lebih lama.
“Soal izin operasional sekolah sih tidak ada masalah yang berarti, hanya saja kendala saat ini adalah meningkatkan kapasitas guru-guru yang ada. Karena saat itu, ABK ini memang belum dikenal secara luas, jadi tenaga pengajar untuk menangani mereka juga terbatas,” katanya.
Dia juga mengatakan, baik Pemerintah Provinsi Riau dan Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau, saat awal yayasan itu berdiri amat minim informasi yang berkaitan dengan ABK. Sehingga menurutnya, hal itu yang kemudian memengaruhi kebijakan tentang sekolah untuk anak-anak berkebutuhan khusus atau SLB.
“Itu kan dulu waktu pemerintahannya belum pisah. Nah, sekarang kan sudah provinsi baru. Walaupun kemarin memang untuk yang jenjang SMP pengurusannya di kota, terus yang jenjang SMA ada di provinsi. Agak repot jadinya kalau mau ada urusan yang berkaitan dengan sekolah ini,” kata Yul Everi. Namun, syukurlah sekarang semua sudah serbamudah. “Karena pengurusannya sudah sepenuhnya ada di provinsi jadi tidak ada kendala, ya, selain jarak,” kata dia.