Jumat, 19 Januari 2021 siang, HMS berkendara tepat di belakang sebuah truk bermuatan penuh tanah. Debu dari pantat truk warna kuning itu beterbangan ke udara. Kerikil-kerikil kecil juga berjatuhan. Jika tak menjaga jarak, kaca mobil bisa saja retak dihempas kerikil. Beberapa pengendara motor terlihat terpaksa melambatkan laju motornya di belakang truk karena diterpa debu. Truk itu menuju ke sebuah tempat pencucian pasir yang diduga ilegal. Lokasinya tak jauh dari RS Bhayangkara Polda Kepri, Kelurahan Batubesar, Kecamatan Nongsa.
Ada beberapa perumahan padat penduduk di sekitar area pencucian pasir di ujung RS Bhayangkara itu. Ada juga sederet perumahan yang baru dibangun. Jalan menuju perumahan belum diaspal. Tanahnya bergelombang dan berdebu di musim panas. Dan, pasti becek di musim hujan. Kondisi itu sudah berlangsung lama. Begitu juga dengan aktivitas pencucian pasir, sudah lama berlangsung. Hilang hanya saat ada penertiban kemudian muncul lagi. Lalu, terus beroperasi. Kabarnya, ada oknum-oknum tertentu di balik aktivitas itu.
Lalu lintas truk pengangkut tanah dan pasir di lokasi itu menjadi pemandangan biasa. Aktivitas alat berat juga terlihat sama sibuknya dengan truk yang hilir mudik. Begitu juga dengan orang yang mengoperasikan mesin penyedot air di bak pencucian yang terus meraung di 9 titik. Pertanda aktivitasnya masih lancar berjalan.
Salah satu pekerja, RD, mengatakan, kegiatan pencucian itu hanya untuk mengambil pasir yang terkandung di dalam tanah. Mereka mencuci dan menyaring tanah tersebut hingga menjadi pasir. Tanah urug yang dicuci berasal dari kegiatan cut and fill (pemotongan bukit) tak jauh dari aktivitas pencucian pasir.
“Cuma mencuci saja, nanti pasir yang tertinggal di bak khusus penampungan akan tertinggal dan dipindahkan penambang ke dalam truk untuk diantar kepada penadah sebagai pemesan,” katanya pada HMStimes.com, Jumat siang.
Dia mengatakan, satu harinya ada puluhan hingga ratusan truk berisi pasir yang berhasil terjual. Tergantung cuaca. Upahnya mencuci pasir sekitar Rp45-50 ribu. Dan, untuk satu truk tanah yang telah dicuci menjadi pasir sepengetahuannya dihargai sebesar Rp150-200 ribu.
“Kalau legal atau tidak legalnya saya tidak tahu, saya cuma bekerja,” kata dia.
Padahal pada 17 Februari 2021 lalu, petugas patroli gabungan baru saja menindak sebuah lokasi penambangan pasir ilegal takjauh dari lokasi. Tepatnya di Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan (KKOP) Bandara Hang Nadim. Dalam operasi itu, petugas berhasil menyita 6 unit mesin sedot pasir dan berbagai peralatan pendukung penambangan.
“Hari ini kita sudah menyita 6 unit mesin sedot tambang pasir ilegal. Akses masuk di kegiatan terlarang itu juga kita segel,” kata Kepala Dinas Operasi (Kadisops) Lanud Hang Nadim, Mayor Lek Wardoyo, kepada wartawan.
Kasi Patroli dan Pengamanan Hutan Direktorat Ditpam BP Batam, Wilem Sumanto, mengatakan, titik tambang pasir ilegal di seputaran Bandara Hang Nadim, memang banyak. Ada yang sudah ditinggalkan, ada juga yang masih beroperasi. Kegiatan ini menurutnya memang sudah “mengakar”, bahkan titik penambangan ada yang sudah menjadi kubangan dan menjadi embung yang nantinya bisa jadi kubangan elang.
“Jika ada burung elang, maka itu juga akan bisa menganggu penerbangan. Tanaman-tanaman yang mengundang burung juga bisa menganggu penerbangan dan sebelum itu terjadi maka harus ditertibkan,” kata Wilem.
Selain alasan mengganggu keselamatan penerbangan di sekitar bandara sehingga KKOP melakukan penertiban, aktivitas pencucian pasir itu juga mengganggu investasi perusahaan-perusahaan yang mendapat alokasi lahan di sekitar lokasi pencucian pasir liar itu.
“Salah satunya lahan milik PT Dwi Karya Usaha tempat saya bekerja. Ada aktivitas pencucian pasir yang berada di pinggir lahan kami. Masalahnya, orang-orang yang melakukan aktivitas pencucian pasir itu menolak pembangunan pagar yang ingin dilakukan perusahaan di garis batas lahannya,” ujar Tino, pria yang diberi tanggungjawab mengawasi lahan oleh PT Dwi Karya Usaha pada HMS.
Tino menduga, penolakkan terhadap pembangunan pagar itu, karena para pencuci pasir liar itu tidak ingin akses mereka ke air menjadi tertutup.
“Karena sesuai PL yang dimiliki perusahaan, air yang digunakan mereka untuk mencuci pasir itu berada di lokasi lahan perusahaan kami. Kalau kami bikin pagar, mereka takbisa lagi cuci pasir di situ. Jadi aktivitas mereka di tanah perusahaan kami itu terlarang,” ujar Tino.
Selain mengkhawatirkan investasi perusahaannya jadi terhambat karena ada penolakan untuk membangun pagar pembatas di lahan perusahaannya dengan Nomor PL: No PL: 220050993 itu, Tino juga mengkhawatirkan hilangnya patok-patok pembatas lahan perusahaannya, dan, tergerusnya lahan mereka karena aktivitas penyedeton pasir saat proses pencucian.