Wacana Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang kini bergulir, harus menjadi momentum untuk melakukan koreksi atas arah perjalanan bangsa. Tidak hanya sistem tata negara, tetapi juga sistem atau kebijakan perekonomian nasional. Untuk itu jika kita lakukan amandemen kelima itu, harus mengoreksi apa yang tertuang di dalam Pasal 33 UUD hasil amandemen sebelumnya.
Ketua DPD RI, AA La Nyalla Mahmud Mattalitti, menyampaikan hal tersebut dalam Rapat Kerja Nasional ke-7 Federasi Serikat Pekerja Sinergi (FSPS) BUMN di Palembang, Rabu, 27 Oktober 2021, secara virtual.
“Seperti kita ketahui bersama, UUD negara kita telah mengalami Amandemen empat tahap, di tahun 1999 hingga 2002. Termasuk Pasal 33 juga bertambah menjadi lima ayat yang sebelumnya tiga ayat. Dengan penambahan dua ayat hasil amandemen yang lalu itu, sadar atau tidak cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak, telah diserahkan kepada pasar. Padahal cita-cita para pendiri bangsa sama sekali bukan itu,” kata LaNyalla.
Para pendiri bangsa melahirkan sistem ekonomi yang dikelola dengan Azas Kekeluargaan atau Sistem Ekonomi Pancasila. Ini dibangun karena melihat pengalaman ratusan tahun di bawah era kolonialisme penjajah.
Menurutnya, sistem ekonomi itu dituangkan dalam Pasal 33 UUD 1945 Naskah Asli, yang terdiri dari tiga ayat. Intinya kekayaan Sumber Daya Alam negeri ini harus dikelola dengan prinsip kekeluargaan dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
“Oleh karena itu, negara harus hadir untuk memastikan terwujudnya kemakmuran itu. Caranya menurut saya dengan memisahkan secara jelas antara koperasi atau usaha rakyat, BUMN dan swasta. Namun, tetap berada di dalam struktur bangunan ekonomi Indonesia,” kata Mantan Ketua Umum PSSI itu.
Tiga Palka Kapal
LaNyalla menganalogikan ekonomi Indonesia itu seperti kapal yang dirancang dengan tiga palka, yaitu; Koperasi, BUMN dan Swasta. Dengan tiga palka itu, seandainya kapal bocor, tidak sampai tenggelam. Misalnya, palka BUMN bocor, masih ada Swasta dan Koperasi. Andaikan palka BUMN dan Swasta bocor, masih ada Koperasi, yang tetap solid menjaga kapal tetap stabil.
Oleh karena itu bagi rakyat yang tidak punya akses modal dan teknologi, negara wajib hadir memberikan ruang Koperasi sebagai alat perjuangan ekonomi rakyat. Mereka diberi hak mengorganisir dirinya sendiri untuk mendapatkan keadilan ekonomi.
“Negara juga harus menjamin agar BUMN dan Swasta yang punya modal dan teknologi tidak masuk ke ruang yang dikelola koperasi,” katanya.
Inilah yang disebut dengan ekonomi gotong royong atau Ekonomi pancasila seperti cita-cita Bapak Koperasi, Mohammad Hatta. Dimana Koperasi seharusnya dimaknai sebagai cara atau sarana berhimpun rakyat, dengan tujuan untuk memiliki secara bersama-sama alat industri atau sarana produksi.
“Sehingga para anggota Koperasi, sama persis dengan para pemegang saham di lantai bursa. Bedanya, jika pemegang saham di lantai bursa bisa siapa pun, termasuk orang Asing. Maka Koperasi hanya dimiliki oleh warga negara Indonesia,” kata dia.
Tentang BUMN
Mengenai BUMN, La Nyalla menegaskan untuk wajib masuk ke sektor usaha yang berhubungan dengan hajat hidup orang banyak. Seperti listrik, transportasi, telekomunikasi, air Bersih dan lainnya. BUMN harus bertugas di sektor yang membutuhkan Hi-Teknologi, sekaligus yang beresiko tinggi.
“Boleh bermitra dengan swasta atau asing namun kendali utama tetap berada di BUMN. Sebab sektor-sektor itu tidak boleh diserahkan kepada mekanisme pasar melalui swasta apalagi asing,” katanya.
Ditambahkan oleh Senator asal Jawa Timur itu, negara juga harus memastikan bahwa industri-industri hulu, atau industri-industri berat di sektor strategis, yang dibangun di era Orde Lama dan Orde Baru tidak boleh dibiarkan mati hanya karena sudah tidak efisien lagi dibanding impor.
Justru sebaliknya harus direstorasi. Karena sebagai negara yang besar dan tangguh, memiliki heavy industries di sektor-sektor strategis adalah mutlak untuk mewujudkan kemandirian dan kedaulatan ekonomi.