Pada tahun 2025 mendatang, bright PLN Batam menargetkan mampu mengekspor energi listrik sebesar 1 GigaWatt peak (GWp) ke Singapura. Untuk mencapai target itu, bakal dibangun pula instalasi Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Batam, Kepuluan Kepri, dan sekitarnya.
Dirut bright PLN Batam, Nyoman S. Astawa, dalam pertemuan virtual pada Kamis, 2 November 2021 lalu, mengatakan, proyek yang akan dibangun itu merupakan bagian dari peningkatan kompetensi PLN Batam dalam mengelola PLTS skala besar. Nyoman menjelaskan, hingga tahun 2035 Singapura membutuhkan sekitar 4 giga energi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri mereka. Menurutnya, jika kebutuhan itu dipenuhi dari PLTS maka 4 giga energi setara dengan 24 GWp.
“Kalau berbicara tentang potensi yang ada di Indonesia, khususnya di bagian selatan dan Sumatera, kita memiliki potensi yang cukup besar untuk dimanfaatkan menjadi PLTS dan disuplai ke Singapura. Secara keseluruhan, sebenarnya potensi energi surya di Indonesia itu lebih dari 200 GWp, dan itu bisa dimanfaatkan bukan hanya untuk dalam negeri tetapi juga dapat memenuhi kebutuhan negara tetangga,” katanya.
Lebih jauh, dia mengungkapkan kalau ekspor energi yang dihasilkan PLTS itu nantinya akan menggunakan sistem kabel bawah laut.
“Kalau ditarik garis lurusnya dari Batam ke Singapura ujung ke ujung, panjangnya kurang dari 20 km. Tapi tergantung dari lokasi PLTS kami dibangun di mana, apakah lokasinya di Karimun, Bintan, atau di seputaran Batam. Jadi perkiraannya bentangan kabel bawah lautnya bisa mencapai 20 km dari titik PLTS sampai ke titik utama di Singapura,” katanya.
Nyoman juga mengatakan, berdasarkan perkiraan perhitungannya, untuk membangun sistem kabel bawah laut itu dibutuhkan anggaran sekitar Rp1 triliun. Perkiraan itu, kata dia, karena nilainya bergantung pada panjang kabel dan berapa kapasitas energi yang akan disalurkan ke Singapura. Meski begitu, Nyoman memperkirakan dari total investasi dalam pembangunan PLTS itu, sekitar 10-20 persennya akan digunakan untuk membangun kabel laut ke Singapura.
“Perhitungan kami, selama impor energi berlangsung akan ada pendapatan yang masuk ke kas negara lebih dari Rp40 triliun. Selain itu, karena nanti lokasi proyeknya ada di sini, dalam masa konstruksi itu akan menyerap hampir 1.000 tenaga kerja, dan setelah beroperasi akan menyerap hampir 150 pekerja. Kami juga berharap, dengan adanya proyek-proyek skala besar di Indonesia seperti PLTS ini, juga akan mendorong industri-industri pendukung ikut tumbuh,” katanya.
Disinggung mengenai apakah bright PLN Batam bisa menjadi pionir menuju net zero emission lebih dini, Nyoman menuturkan bahwa realita saat ini menunjukkan ketergantungan pembangkit listrik terhadap energi fosil masih cukup tinggi. Saat ini, kata dia, bauran energi PLN Batam 20 persen dari batu bara, dan hampir 80 persen masih menggunakan gas. Meski energi gas relatif bersih tetapi tetap membutuhkan energi fosil.
Untuk itu, PLN Batam akan melihat dan mengkaji terlebih dahulu bagaimana transisi energi dapat dilakukan. Transisi energi menurut Nyoman pun tetap harus memperhatikan trilemma energy. Sesuai namanya, trilemma energy terbagi menjadi tiga. Yang pertama adalah soal energy security yang harus memperhatikan sisi pengamanan energi premier. Menurut Nyoman, saat ini pihaknya memiliki gas, juga batu bara sebagai energi penggerak instalasi listrik yang ada.
“Nah kalau mau berkembang ke PLTS kami harus melihat bagaimana instalasi ini bisa memenuhi sistem yang ada di Batam. Berapa kapasitas yang akan dibangun, berapa kebutuhan ke depan. Jadi ketika memang mau membangun PLTS untuk suplai ke Batam, kami sudah tahu kebutuhannya 10 megawatt peak misalnya. Nanti ke depannya lebih mudah memprediksi kebutuhan sebenarnya dan disesuaikan dengan pembangunan PLTS-nya. Kami juga bakal berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait dalam proses transisi energi terbarukan ini,” kata dia.
Nyoman menambahkan, yang kedua adalah soal economic growth yang perlu diperhatikan. Sebab, jangan sampai transisi energi justru memberatkan pelanggan atau masyarakat. Menurutnya biaya instalasi Energi Baru Terbarukan (EBT) terbilang tinggi dibandingkan dengan batu bara.
“Transisi energi ini pun jangan sampai merugikan industri karena akan berdampak pada banyak aspek. Tapi meski memakan biaya yang tinggi, bukan berarti kami tidak menuju ke arah sana. Lalu yang terakhir adalah bagaimana kami menjaga stabilitas lingkungan yang kita tempati agar tidak rusak akibat dari adanya transisi energi ini,” kata Nyoman.
Sejauh ini langkah awal yang akan diambil PLN Batam adalah menciptakan know-how tentang membangun PLTS skala besar dan cara mengelolanya. PLN Batam berencana, listrik yang dihasilkan dari PLTS skala besar itu, sebagiannya dimanfaatkan atau ditransfer ke sistem yang ada di Batam. Dengan demikian, kata Nyoman, pihaknya berharap PLN Batam mendapat harga yang relatif kompetitif dibandingkan dengan membangun PLTS dengan daya listrik 30 megawatt peak yang dibangun khusus untuk Batam sendiri.
“Kita tahu bahwa Batam adalah salah satu daerah tujuan investasi. Tentunya kita tidak ingin daya kompetitif itu berkurang atau kalah dari negara tetangga lain. Misalkan kita terburu-buru bertransisi ke energi terbarukan sementara kondisi Batam hampir tidak memiliki potensi itu selain energi surya yang komponennya terbilang cukup mahal. [Kalau terburu-buru] nanti Biaya Pokok Pembiayaan (BPP)-nya pasti akan naik. Kalau BPP naik, tarifnya pun akan ikut naik juga,” katanya.
Menyikapi transisi energi terbarukan dengan buru-buru menurut Nyoman, juga dikhawatirkan mengurangi kompetitif eksentrik dari Batam sebagai daerah tujuan investasi. Meski begitu, dia menyebutkan bahwa terdapat sejumlah investasi yang relatif menuntut disuplai energi bersih dengan tarif yang sedikit lebih tinggi dari tarif saat ini. Hal ini pun kemudian membuat PLN Batam menyiapkan sumber energi bersih untuk disuplai, dengan tarif yang kompetitif.
“Itu untuk menjawab pertanyaan apakah bright PLN Batam bisa bertransisi ke energi baru terbarukan atau tidak. Nah kalau ditanya kenapa PLTS yang akan dibangun tidak diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan di Batam, jawabannya adalah karena kapasitas yang kami bangun nanti mencapai 600-1.000 megawatt peak. Kalau PLTS itu dibangun untuk skala Batam, dalam waktu dekat sistem yang ada saat ini belum bisa menerima masuknya tenaga listrik yang dihasilkan dari pembangkit skala besar seperti itu,”
“Juga kalau ditanya mengapa membangun PLTS sementara pemadaman di Batam masih terjadi, sebenaranya hal itu tidak ada kaitannya dengan suplai listrik. Tetapi lebih karena adanya gangguan-gangguan sistem jaringan kami dan ini terus menjadi perhatian PLN Batam untuk melakukan perbaikan-perbaikan pada sistem itu,” katanya.
Memensiunkan dini PLTU Tanjung Kasam
PLTU Tanjung Kasam di Kecamatan Nongsa saat ini masih menggunakan batu bara sebagai bahan baku penggeraknya. Dengan tujuan menekan angka emisi, apakah PLTU ini akan dipensiunkan lebih dini?
Dirut PLN Batam, Nyoman S. Astawa, mengatakan, pihaknya akan lebih dulu memperhatikan perubahan teknologi ke depan. Menurutnya, ada beberapa pilihan untuk mengurangi emisi yang dihasilkan oleh PLTU Tanjung Kasam.
“Apakah nanti kami bisa melakukan co-firing dengan biomassa, mengganti sebagian batu bara dengan biomassa misalkan. Apakah co-firing bisa dilakukan bertahap 50 persen misalkan, tentunya pilihan itu butuh kajian dulu. Kalau dari segi teknologi, kami bisa. Tetapi kemudian pertanyaannya, bagaimana keamanan dari sisi energi premiernya. Apakah bisa didapatkan kepastian pasokan listrik dari biomassa yang menggantikan batu bara itu,” katanya.
Dia menjelaskan, PLN Batam pun saat ini bekerja sama dengan Asian Develompent Bank (ADB) untuk melihat mekanisme memensiunkan PLTU Tanjung Kasam. Sehingga tidak membebani keuangan dan BPP PLN Batam, dan tidak membebani masyarakat karena akan adanya kenaikan tarif.