Gubernur Kepulauan Riau, Ansar Ahmad, menyurati Menteri Perhubungan RI terkait permasalahan pengenaan retribusi pelayanan kepelabuhanan oleh Pemerintah Daerah yang beredar luas di masyarakat Provinsi Kepri.
Hal ini menurut Gubernur sangat perlu untuk disikapi dan ditanggapi demi kepastian hukum dan penegakan hukum guna menghapus pemahaman kurang baik dalam pelaksanaan tugas Pemerintahan oleh Pejabat Pemerintahan sebagaimana ketentuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Menyikapi kesimpang siuran ini Pemerintah Provinsi Kepri memutuskan menghentikan sementara pungutan retribusi daerah berdasarkan surat dari Menteri Perhubungan dan akan melakukan langkah upaya hukum dengan meminta fatwa dari Mahkamah Agung (MA) RI terkait pemahaman regulasi hukum yang mengatur terkait pelayanan retribusi kepelabuhan daerah.
Tujuan surat tersebut sekaligus untuk menghilangkan praduga Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau telah mengenakan pungutan yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan berdampak biaya tinggi.
Karena sejauh ini ditegaskan Gubernur bahwa Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau, sangat taat atas asas hukum dalam pemberlakuan Retribusi Daerah dengan mengacu pada ketentuan UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah (PDRD), yang menegaskan bahwa objek retribusi pelayanan kepelabuhanan adalah pelayanan jasa kepelabuhanan, termasuk fasilitas lainnya di lingkungan pelabuhan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
Rincian atas jenis-jenis jasa pelayanan kepelabuhan termasuk fasilitas lainnya dilingkungan pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 diuraikan secara teperinci sebagai norma, standar, prosedur dan kriteria yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 72 Tahun 2017 tentang Jenis, Struktur, Golongan dan Mekanisme Penetapan Tarif Jasa Kepalabuhanan.
Kelompok tarif pelayanan kepelabuhanan menjadi dua jenis yang meliputi jenis tarif pelayanan jasa kepelabuhanan dan jenis tarif pelayanan jasa terkait kepelabuhan.
“Total jenis pungutan jasa sebanyak 50 jenis dan dalam penerapannya dilingkungan pelabuhan wajib mengacu dan mempedomani akan hak kepemilikan, hak penyediaan dan/atau hak pengelolaan,” kata Gubernur.
Adapun dalam pungutan jasa kepelabuhanan dilingkungan pelabuhan, lanjut Gubernur harus disesuaikan dengan perkembangan pengaturan pembagian wewenang akan pengelolaan wilayah laut.
Sesuai amanah Pasal 18A UUD 1945, Pasal 27 UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Pasal 75 ayat (6) UU Nomor 17 Tentang Pelayaran, terdapat kewenangan atribusi oleh Daerah Provinsi dalam pengelolaan wilayah laut yang mengakibatkan adanya hak pungutan terhadap 2 jenis jasa pelayanan kepelabuhanan dilingkungan pelabuhan.
Pelayanan pelabuhan dikenakan berkaitan dengan pemanfaatan ruang laut yaitu jasa labuh/parkir kapal dan penggunaan perairan yang berlangsung didalam ruang laut hak pengelolaan Daerah Provinsi yaitu didalam 12 mil laut dari garis pantai.
“Oleh karenanya, diusulkanlah ke 2 jenis pungutan jasa pelayanan kepelabuhanan tersebut kedalam rancangan peraturan daerah tentang Retribusi Daerah dan dibahas dengan mekanisme sesuai dengan UU 28 Tahun 2009, yang kemudian disetujui dan disahkan menjadi Perda Nomor 9 Tahun 2017 tentang Retribusi Daerah Provinsi Kepulauan Riau,” kata Ansar.
Untuk meluruskan kesimpangsiuran ini, lanjut Gubernur lagi, bahwa penerapan Perda Nomor 9 Tahun 2017 terkait jasa pelayanan kepelabuhanan pada pelayanan kepelabuhanan yang dimiliki dan dikelola oleh Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau, tidak pernah gegabah untuk menerapkannya dikarenakan saat Perda tersebut diundangkan seluruh pungutan jasa labuh dan penggunaan perairan yang sebelumnya merupakan pungutan PT. Pelindo (Persero) telah diambil alih pemungutannya oleh Kementerian Perhubungan sejak September 2015 dipungut disemua wilayah perairan tanpa membedakan wewenang akan pengelolaan wilayah laut.
“Terkait hal ini perlu diselaraskan kembali agar pungutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan tidak ada pungutan berganda yaitu dengan cara pungutan Pemerintah Pusat untuk ke 2 jenis jasa tersebut didalam 12 mil untuk dihentikan mengingat Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau, sudah siap melaksanakan wewenangnya atas pemanfaatan wilayah laut, sehingga pasal 115 ayat (2) UU 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran yang mengatur bahwa Pemerintah mengambil alih wewenang karena Pemerintah Daerah tidak melaksanakan wewenangnya gugur dengan sendirinya,” kata mantan anggota DPR RI ini.
Upaya Gubernur untuk lebih meyakinkan jenis pungutan jasa kepelabuhanan hak daerah tersebut dengan mengedepankan prinsip kehati-hatian guna menghindari biaya tinggi karena pungutan berganda, ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan memberikan kepastian kepada masyarakat/badan usaha pengguna, maka Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau melakukan beberapa upaya hukum, administratif serta pelayanan, untuk memperjelas perbedaan dan pemisahan akan wilayah berlakunya pungutan jasa labuh dan penggunaan perairan yang tertuang dalam PP Nomor 15 Tahun 2016 dengan yang tertuang didalam Perda Nomor 9 Tahun 2017.
“Saat ini kita sedang meminta penjelasan kepada Dirjen Anggaran Kementerian Keuangan yang telah menjelaskan bahwa jasa labuh yang dipungut Kementerian Perhubungan adalah atas penggunaan alur pelayaran.
Disamping kita juga minta agar diselesaikan sengketa peraturan perundang-undangan melalui jalur non litigasi di Kementerian Hukum dan HAM sebagaimana amanah pasal 16 UU Nomor 30 Tahun 2014, yang kesimpulan hasil sidang diantaranya telah menguatkan hak daerah atas pungutan jasa labuh dalam arti parkir kapal dan penggunaan perairan dalam 12 mil menjadi hak daerah dan diatas 12 mil merupakan wewenang Pemerintah Pusat, dengan hasil sidang berupa kesepakatan yang dituangkan dalam Berita Acara Kesepakatan dan ditandatangani bersama antara Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau dengan Kementerian Perhubungan dengan disaksikan oleh Majelis Pemeriksa dan Kementerian terkait,” katanya.
Selain itu Gubernur juga meminta agar legal opinion dari Kejaksaan Tinggi Kepulauan Riau, yang telah memberikan pendapat hukumnya yaitu menguatkan hak daerah atas otonomi pengelolaan wilayah laut 0-12 mil, dengan mempertegas bahwa tindakan pungutan PNBP Kementerian Perhubungan terhadap pungutan atas pemanfaatan wilayah laut dalam 12 mil sesungguhnya telah bertentangan dengan asas legalitas.
Kemudian memohon pendapat juga kepada Kepala Perwakilan Ombudsman Kepulauan Riau, yang telah memberikan tanggapan dengan penegasan bahwa sudah sewajarnya Pemerintah Daerah melaksanakan hak atas wewenang yang telah diberikan melalui amanah peraturan perundang-undangan untuk memberikan kepastian pelayanan public.
Terakhir ia meminta adanya asistensi kepada Kepala Perwakilan BPKP Provinsi Kepulauan Riau, yang telah menegaskan bahwa pungutan daerah provinsi adalah kegiatan labuh kapal diruang perairan pelabuhan dan wilayah labuh serta penggunaan perairan di wilayah kewenangan daerah provinsi yaitu dari garis
pantai sampai dengan paling jauh 12 mil laut, dan tidak berlaku pada wilayah perairan diatas 12 mil dari garis pantai.
“Bahkan Laporan hasil audit BPK Perwakilan Provinsi Kepulauan Riau tahun anggaran 2019, menegaskan kepada Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau untuk segera melaksanakan pungutan jasa labuh yang merupakan wewenangnya dengan membuat kesepakatan teknis dengan Kementerian Perhubungan,” kata Ansar.
Adapun untuk area perairan dalam 12 mil yang berfungsi sebagai pelabuhan (area labuh jangkar), telah dilakukan langkah pengaturan dan pengawasan serta promosi yang maksimal sebagai bentuk pelayanan yang berkelanjutan berupa pengalokasian dalam tata ruang laut dan secara bertahap melakukan survey hidro
oseanografi, studi lingkungan dan pengawasan lingkungan laut serta pengawasan pelaksanaan dengan membentuk satuan tugas pengawasan dan promosi oleh Gubernur Kepulauan Riau, serta pelayanan secara online yang sedang dalam tahapan penyiapan.
“Mengacu pada landasan hukum peraturan perundang-undangan, kesepakatan sidang penyelesaian sengketa perundang-undangan, pendapat hukum, pertimbangan, asistensi dan catatan saran LHA BPK RI, maka Pemeritah Provinsi Kepulauan Riau berkali-kali meminta penyelarasan dengan Ditjen Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan tetapi sayangnya permohonan tersebut tidak pernah ditanggapi, justru pada tanggal 17 September 2021, Plt. Dirjen Perhubungan Laut menyampaikan surat kepada para Kepala KSOP dan UPP se Kepulauan Riau, termasuk Sulut dan Sumsel dengan memberikan penjelasan yang cenderung kurang tepat dan kesimpulan pandangan terhadap Perda Nomor 9 Tahun 2017 tanpa dasar dan klarifikasi dengan Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau,” katanya.
Isi surat tersebut, kata Gubernur lagi, dinilai bertentangan dengan seluruh pertimbangan hukum, pendapat, hasil sidang non litigasi dan kesepakatan yang telah dibuat bersama serta surat Menteri Dalam Negeri Nomor : 550/10589/SJ tanggal 30 November 2018, dengan mengarahkan para Kepala KSOP dan UPP untuk melakukan perbuatan melampaui wewenang berupa anjuran pelaksanaan pungutan jasa PNBP melampaui batas berlakunya wewenang, tanpa koordinasi sedikitpun dengan Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau, yang berdampak pada timbulnya sengketa kewenangan.
Atas dasar hal itu semua, Gubernur pun memohon kepada Menteri Perhubungan agar dapat menyelesaikan persoalan tersebut dengan cara menginstruksikan agar Direktorat Jenderal Perhubungan Laut melaksanakan hasil kesepakatan dengan Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau khusus terkait pungutan jasa labuh dan penggunaan perairan yang telah disepakati di Kementerian Hukum dan HAM pada tanggal 31 Oktober 2018, dan bersama-sama Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau melakukan harmonisasi teknis dalam penerapannya.
“Kita dalam bekerja sudah sesuai aturan hukum. Dan kita menyurati Menteri Perhubungan dengan tujuan untuk meluruskan tatanan hukum yang kita nilai kurang pas,” kata Ansar Ahmad.