Minggu, 25 mei 2021, sekitar pukul 9 malam di salah satu kedai kopi di Mega Legenda, Batam Centre. Perbincangan hangat mewarnai salah satu meja berisikan 2 orang laki-laki berambut gondrong dan seorang perempuan. Salah satu laki-laki tersebut adalah si pemilik kedai yang terdengar sedang mencoba menghibur hati sahabatnya yang tampak tidak baik-baik saja malam itu.
“Kalau Cu Pat Kay 1.000 penderitaan, dia sekarang udah 850 penderitaan, masih kurang 150 lagi, jadi enggak tega aku sama sahabatku ini,” kata Jo, si pemilik kedai sembari memukul pundak seseorang yang ia maksud sebagai sahabatnya.
“Pat Kay yang babi itu? Memang dia kenapa?” tanya seorang perempuan yang duduk dalam satu meja yang sama, menunjukkan bahwa hanya sekadar dianggap sebagai pemeran pelengkap dalam serial “Journey To The West” atau di Indonesia dikenal dengan serial “Kera Sakti” jelas banyak yang mengenal Cu Pat Kay hanya sekadar manusia setengah babi atau siluman babi yang ditugaskan untuk membantu biksu Tong Sam Cong bersama Sun Go Kong dan Whu Ching untuk mencari kitab suci, tanpa ada embel-embel lain tentangnya yang dapat mencuri perhatian.
Sekalipun dalam serial tersebut telah disuguhkan episode yang menceritakan bagaimana latar belakang kehadiran Cu Pat Kay di bumi, sayangnya banyak yang tak mengetahui kisah tentang manusia setengah babi ini yang sebelumnya adalah seorang panglima tempur pasukan langit yang terkenal akan ketampanannya, bernama Panglima Tian Feng.
Memiliki banyak versi, namun dalam serial “Journey To The West”, Panglima Tian Feng dikisahkan jatuh cinta pada pandangan pertama kepada seorang wanita yang secara tiba-tiba masuk ke kayangan dalam usaha menyelamatkan diri dari kejaran anak panah yang akan membunuhnya. Sayangnya, bukannya Tian Feng, justru panglima lain bernama Wu Kang yang justru lebih dulu menyelamatkan serta mendapatkan hati wanita tersebut. Tian Feng pun gagal mendapat balasan atas cintanya.
Tak kenal menyerah, demi mendapatkan kesempatan untuk dapat mengambil alih hati wanita tersebut dari Wu Kang, Tian Feng rela melanggar peraturan kayangan dengan diam-diam menggunakan mesin waktu milik Dewa Matahari dengan tujuan memutar ulang waktu pada peristiwa tersebut sehingga dapat menyelamatkan wanita pujaannya sebelum Wu Kang.
Namun sayangnya sebagaimana kutipan Ummar Bin Khattab ‘Apa yang melewatkanku tidak akan pernah menjadi takdirku, dan apa yang ditakdirkan untukku tidak akan pernah melewatkanku’, berapa kali pun Tian Feng mencoba mengulang waktu, entah Tian Feng atau wanita tersebut telah melewatkan satu sama lain, sehingga tentu hal tersebut tak dapat merubah takdir, yang dimana justru menghadirkan takdir buruk padanya, sebab Dewa Matahari yang mengetahui hal tersebut kemudian menghukum Tian Feng dengan 1.000 reinkarnasi yang dilengkapi penderitaan tentang cinta dalam setiap reinkarnasinya.
Mulai dari cinta buta, cinta gila, hingga cinta tak terbalaskan melengkapi setiap reinkarnasi yang Tian Feng alami, hingga tak hanya sekali Tian Feng memilih bunuh diri, yang kemudian bereinkarnasi kembali dan patah hati sekali lagi. Pada reinkarnasi ke-502 Tian Feng yang malang akhirnya berontak dan justru terjatuh dalam jalur reinkarnasi hewan, sehingga ia bereinkarnasi menjadi manusia setengah babi.
Hal menarik lainnya adalah sosok wanita yang diceritakan sebagai tambatan hati Panglima Tian Feng yang kemudian disebut Cu Pat Kay setelah reinkarnasinya menjadi manusia setengah babi adalah seorang Dewi Bulan bernama Chang E, yang tentunya tak asing bagi para pemain Game Moba, Mobile Legend. Divisualkan sebagai seorang anak perempuan kecil berbaju hijau yang duduk berayun diatas bulan sabit bersama seekor kelinci putih, Chang E adalah dewi yang berhasil memporak porandakan hati seorang panglima kayangan hingga rela untuk dihukum patah hati sebanyak 1.000 kali demi memperjuangkan cintanya, hingga akhirnya menjadi manusia setengah babi.
Mengenang kisah cintanya yang tak jauh berbeda dengan yang Pat Kay alami, yaitu terhalang restu orang tua sebab dinilai jauh dari kata cukup untuk dapat menghidupi si perempuan, untungnya tak sampai memiliki akhir yang sama, dipukuli hingga mati. “Enggak apa-apa, Pat Kay aja rela sampai 1.000 kali,” katanya, yang karena malu, minta untuk jangan disebutkan namanya.
“Enggak ada yang menarik, dia cuma orang yang nekat, memperjuangkan cinta tanpa mikirin resikonya,” respon lain yang berlawanan arah juga tak mau kalah menjelaskan sebab sesuatu yang sudah tahu tidak bisa ya seharusnya tak perlu dipaksa.
Salah satu kisah yang terekam jelas sebab amat menyayat adalah kisah saat reinkarnasinya menjadi orang biasa yang cerdas. Pat Kay tak harus mengalami cinta bertepuk sebelah tangan, tak harus menjalani cinta terlarang, bahkan juga tak harus menerima penolakan. Ia hidup dengan sebagaimana mestinya dan sukses sebab kecerdasannya. Selangkah dapat sedikit lebih berbahagia dari sebelumnya, Pat Kay memiliki istri, yang sayangnya hal tersebut juga tak membuat hukumannya berakhir, suatu ketika saat pulang kerumah ia mendapati mayat istrinya yang telah membusuk secara tiba-tiba. Dan dihari yang sama, Pat Kay pun memilih untuk turut mengakhiri hidupnya sendiri.
“Buat apa bereinkarnasi, buat apa hidup berkali-kali, kalau enggak bisa memperbaiki kesalahan yang sama di kehidupan selanjutnya,” kata yang lainnya saat mengulas kisah tragis Cu Pat Kay yang dalam versinya adalah Cu Pat Kay yang sudah bereinkarnasi tetap mengingat bagaimana kisah cinta tragis yang ia alami sebelumnya, namun tetap saja tak kunjung dapat menghindari akhir kisah yang akan terus-terusan sama tragisnya.
Sekalipun tidak banyak yang mengetahui kisahnya, namun kutipan “Sejak dulu, beginilah cinta. Deritanya tiada akhir,” yang berasal dari Cu Pat Kay masih akrab sesekali terdengar. Seolah menunjukkan, sampai hari ini kalangan remaja yang sedang perpatah hati masih memilih untuk mengenal baik serta memahami dengan jelas patah hati yang dialami tokoh tersebut, sebagai bekal supaya tidak mengasihani diri sendiri dengan berlarut-larut, sebab toh perjalanan cinta Cu Pat Kay jauh lebih semrawut.
Dijadikan tujuan sebagai wadah aduan berbagai kisah patah hati sehingga harus membuatnya sesekali bolak-balik dari meja barista ke meja para penikmatnya, dari satu meja ke meja yang lainnya, membuktikan bahwa seorang barista tidak hanya ahli meracik kopi. Tapi juga ahli menenangkan hati. (Dwi Alfah, Kontributor HMS)