Ketua Asosiasi Ilmuan Praktisi Hukum Indonesia (Alpha), Azmi Syahputra, menilai karakteristik komplotan koruptor lebih hina daripada copet. Dia mencontohkan kasus Bupati Kuantan Singingi (Bupati Kuansing) Andi Putra, yang menjadi tersangka suap perpanjangan Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan.
Dalam kasus itu, Andi yang berkuasa karena perizinan harus melalui persetujuannya, menerima janji suap sebesar Rp2 miliar dari General Manager PT Adimulia Agrolestari Sudarso. Tetapi akal bulusnya itu terbaca oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Alhasil, delapan orang ditangkap. Selain Bupati, ada ajudan dan beberapa pihak swasta.
Azmi berpendapat, “Koruptor harus punya jabatan, mereka merasa memiliki kasta yang harus dihormati, tetapi ternyata berbuat curang. Mencuri uang orang banyak atau merugikan keuangan negara,” katanya dalam siaran pers yang diterima HMS, 21 Oktober 2021.
Karakteristik tercela ini kata Azmi, makin terlihat bila berkaca pada peristiwa lalu. Bupati Kuansing sempat melaporkan Kejaksaan Tinggi Riau, dalam laporan itu dia mengaku diperas oleh oknum pegawai kejaksaan sebanyak Rp1 miliar. “Namun, faktanya yang ada kini malah dia sendirilah sebagai pemeran utama dalam OTT, sebagai orang yang punya keinginan untuk dapat uang suap HGU dengan penyalahgunaan jabatannya.”
Azmi menjelaskan, dalam kasus OTT karena uang suap telah beralih pada kekuasaan penerima (indikator fisik), dalam kasus ini kepada pegawai bupati, di sinilah secara hukum bahwa unsur menerima telah terbukti. Kesalahan ini dikenakan pertanggungjawaban hukum bagi para pelakunya, dan siapapun yang ikut dalam penyertaan kejahatan suap.
“OTT Bupati ini sangat tidak terpuji, tidak memberikan contoh keteladanan, memalukan, mereka bukan mental pejuang, bukan pelopor, tetapi pengkhianat, karena melakukan kejahatan korupsi dengan aktif. Diperparah lagi ternyata Bupati ini baru dilantik 4 bulan. Raja kecil ini merasa harus kejar setoran dengan cara korupsi dan minta fee dari pihak swasta,” katanya.
Kasus ini menurut dia juga sudah jelas adalah kekeliruan pelaku, karena rekam jejak si Bupati diketahui telah berpengalaman dengan jabatan publik. Semestinya menurut Azmi, dia fokus mendorong kemajuan daerah, bukan memperkaya diri.
Hal ini katanya makin menunjukkan tidak efektifnya sistem politik Dinasti, yang berpotensi jadi pemicu korupsi. Ia menyerukan agar pejabat politik dinasti berhenti untuk bermain-main di wilayah terlarang itu. Kemudian dari kasus ini ia berharap, masyarakat ke depan bisa lebih teliti dalam memilih pemimpin daerah yang berdasarkan dinasti politik.
“Kami juga mendorong lembaga penegak hukum segera melakukan pemberantasan korupsi di lingkungan pemerintah daerah dalam arti seluas-luasnya. Sikat habis korupsi, baik jumlah kecil maupun jumlah besar, apapun bentuk korupsi harus ditindak tegas,” katanya.