Pria tua, ramah, dan sederhana ini memiliki tangan yang kurus dan keriput. Usianya 65 tahun. Namanya Zakat. Orangnya penuh semangat. Kelihatan dari dia yang masih enteng wira-wiri ke sana ke mari mengayuh becaknya di Kecamatan Belakang Padang, satu-satunya daerah di Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau, yang sampai kini masih menggunakan becak sebagai moda transportasi.
Siang itu, Selasa, 1 Juni 2021, meskipun dalam momen hari libur nasional memperingati hari lahirnya Pancasila, tak berarti Zakat berdiam diri di rumah. Ada keluarga yang harus dia beri makan. Tanggal merah adalah hari baik dalam dunia pekerjaannya. Sebab, wisatawan lokal yang datang pasti memakai jasanya mengelilingi wilayah yang luasnya hanya mencapai 68,4 kilometer persegi itu.
“Kalau bukan orang Batam, siapa lagi, di sini punya kendaraan pribadi semua tiap rumah,” kata Zakat sembari membetulkan topi berlambang garuda kesayangannya, bersiap membawa HMS menuju Pantai Pasir Putih. Bagi Zakat, mengandalkan penduduk lokal menumpang becaknya rasanya seperti cuaca, yang tak pasti ditebak kapan bersahabat dan kapan datang.
Mulanya HMS tertarik membahas bagaimana pria lansia ini memaknai Pancasila, berawal dari melihat topi usang kecokelatan yang ia pakai. Hanya saja, sewaktu diajak mengobrol dia lebih banyak tersenyum ketimbang bicara. Akhirnya, sepanjang perjalanan kami mengobrol singkat tentang hidupnya yang barangkali dia anggap sudah sama entengnya seperti saat dia menarik becak.
Pria asal Purbalingga, Jawa Tengah, ini mengaku sudah lebih dari 30 tahun merantau ke Batam dan mendiami Kecamatan Belakang Padang, atau sering disebut Pulau Penawar Rindu itu. Dia lupa kapan tepatnya. Seingatnya dia datang pertama kali bersama istri. Tujuannya tentu saja mengubah nasib dari sulitnya hidup di kampung halaman.
Karena tidak punya keahlian apapun selain bertani, pria yang tak lulus sekolah dasar ini awalnya mencoba peruntungan di pulau itu dengan berkebun. Barulah pada tahun 1992, melihat becak yang kala itu menjadi primadona moda transportasi pilihan warga, ia pun beralih pekerjaan dan memutuskan menarik becak.
Zakat tak menjelaskan secara detail berapa penghasilannya kala itu. “Kalau keliling Rp60 ribu, kalau ke pantai Rp30 ribu ada juga yang minta Rp25 ribu, boleh,” katanya, menjelaskan tarif menumpang becaknya sekarang. Menurutnya apa yang dia dapat dari menarik becak dari dulu sampai sekarang selalu cukup untuk menghidupi keluarga.
Kini Zakat, penarik becak yang berhasil menyekolahkan ke-5 anaknya hingga sukses itu, tinggal bersama istrinya dan satu cucunya berumur 7 tahun. “Pendidikan itu nomor satu, yang penting anak sekolah semua,” katanya.
Menurutnya hidup bukan tentang mendapatkan berapa, tapi tentang membantu orang-orang di sekitarnya. “Hidup itu Allah kasih 3, kecintaan, kebijaksanaan, bersosial lahir batin di jalan Allah, setelah itu Allah pastikan hambanya Allah itu sejahtera,” kata pria yang hanya bersekolah sampai kelas 2 SD itu sembari memakirkan becaknya di pintu masuk pantai.
Tak jauh berbeda dari Zakat yang menginjakkan kaki di Belakang Padang atas ajakan temannya, juga ada Wahir, salah satu penarik becak lainnya yang bahkan sudah menginjak usia 70 tahun lebih.
Memulai hidup di Belakang Padang dengan berjualan makanan, Wahir akhirnya beralih menjadi penarik becak mulai tahun 1984. Dalam 37 tahun berprofesi sebagai penarik becak, hari ini tersirat keluhan yang ia sampaikan sebab adanya pandemi.
“Biasanya ada orang dari Jepang dari Singapore, bisa sewa sampai 50 becak, sekarang cuma orang Batam, itu juga sepi,” katanya sembari menunggu hujan reda untuk kembali menghantarkan penumpangnya ke pelabuhan.
Sebelum menjadi penarik becak di Belakang Padang, Wahir sebelumnya juga pernah bekerja serabutan hingga ke Pulau Batam. “Itu pohon besar di tengah jalan Tiban, saya yang tanam,” kenangnya mengingat masa kerjanya di Pulau Batam.
Kakek Wahir kini hanya tinggal berdua bersama istrinya. Ke-6 anaknya yang sudah berhasil ia sekolahkan lewat menarik becak, sudah berkeluarga dan bekerja di pulau yang berbeda. “Di jawa dua orang, di Batam dua orang, dua lagi di Tanjung Pinang,” katanya.
“Istri saya dirumah bikin kue, kerupuk, peyek untuk dijual,” kata Wahir menjelaskan tentang istri tercintanya yang merupakan penduduk asli pulau ini. (Dwi Alfah, Kontributor HMS)