Kapal keruk atau trailing suction hopper dredger (TSHD) King Richard X, tenggelam di perairan Batu Ampar, Kota Batam, Kepulauan Riau, pada 13 Desember 2020 lalu. Sejak awal tenggelam, laut sekitaran lokasi karamnya dilaporkan tercemar minyak. Hanya saja, sampai sekarang evakuasi bangkai kapal berbendera Indonesia itu masih urung dilakukan.
Sumber HMS mengatakan, ada sejumlah kendala dalam proses pengangkatan kapal ini. Mulai dari biaya pengangkatan yang mahal mencapai miliaran rupiah, perusahaan pemenang tender evakuasi belum mempunyai izin salvage dari Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, hingga muncul persoalan paling riskan yaitu soal langkah antisipasi bocornya ratusan ton minyak yang terjebak dalam kapal.
“Pembeli bangkai kapal itu ada haji dari Jakarta, mereka sudah bawa tim ke sini dan sudah conform membawa surat kontrak. Kemudian diuruslah surat izin pengangkatannya ke Dithubla, rupanya izin itu tidak keluar karena terkait masalah limbah. Sampai sekarang itu masih terbengkalai proses pengangkatan. Pengurusan izinnya sejak Januari 2021,” kata pria berbadan tegap ini kepada HMS, 15 Mei 2021. Namanya minta dirahasiakan karena ada pekerjaan di kapal itu yang menyangkut dengan perusahaan tempat dia bekerja.
Dia menjelaskan, ratusan ton minyak yang terjebak di kapal adalah permasalahan utama dalam kasus ini. Itulah alasan mengapa kapal harus secepatnya dievakuasi. Memang sejak awal katanya, sudah ada langkah antisipasi pencemaran yang dilakukan berupa penambalan pipa-pipa tangki, dan pemasangan oil boom. Namun menurut dia, tindakan-tindakan yang diambil belum maksimal, dan hanya bersifat sementara.
Hal itu katanya dapat dilihat dari gumpalan minyak membeku berwarna hitam yang sesekali masih timbul ke permukaan laut ketika ombak besar datang. Bahkan informasi yang dia dapat beberapa nelayan setempat, beberapa kali sudah melaporkan kalau minyak hitam sudah sampai ke pesisir pulau mereka.
“Kenapa bocor? Jadi kapal tenggelam dalam posisi miring ke port side. Jadi, di setiap tangki kapal itu ada exhaust keluar atau pipa keluar, jumlahnya ada 26-an. Dari pipa hawa itu keluar limbah atau minyak hitam. Jadi pipa-pipa itu hanya ditutup pakai plastik saja, pakai pengeras semen yang kalau dia dicampur sudah seperti besi itu. Ditambal sampai tidak bocor. Permasalahannya kalau ada ombak besar, kapal kan terus rolling, ada lagi gumpalan yang keluar, itu pasti,” kata Dia.
Persoalan lainnya yang paling fatal yang membuat gumpalan minyak masih naik ke permukaan kata dia, juga akibat dari pemasangan oil boom yang tidak sesuai standar. Yaitu soal alat yang digunakan untuk menghalau tumpahan minyak di air hanya memakai jangkar ukuran kecil, dan dipasang dengan cara yang salah.
“Pasang oil boom itu bisa dicek bersalahan semua. Sekadar saja, pasang terus foto. Pemasangan seharusnya pakai jangkar yang besar, ini mereka pakai yang kecil saja. Sehingga ketika ada ombak besar oil boom itu ke tarik. Oil boom kan berupa balon. Untuk kekuatan tarik sekian ton jangkarnya seberapa besar ada standarnya, bukan asal. Kemudian, seharusnya ada standbye boat di sana. Jadi, ketika ada kebocoran diinfokan lagi. Sekarang sudah tidak ada,” kata Dia.
Ketika ditanya berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mengangkat kapal ini, dia menjawab, “Permasalahannya menjadi complicated karena didalamnya itu ada minyak. Kalau kapal itu dalam kondisi kosong, target dua bulan paling lama. Tapi ada kegiatan terus. Itu kalau pekerjaan menggunakan perusahaan asing biayanya sampai Rp30 miliar. Karena kalau standar luar negeri itu seperti di Singapura itu tidak boleh ada minyak yang keluar. Mereka (pemilik kapal) tidak mampu, karena kapal itu kalau di scrap palingan cuma Rp12 miliar aja. Kalau pakai perusahaan Indonesia paling Rp3-4 miliar saja,” kata Dia.
Sesuai Undang-undang (UU) Nomor 17 tahun 2018, tentang Pelayaran dalam Pasal 203 ayat (1) disebutkan, pemilik kapal wajib menyingkirkan kerangka kapal dan/atau muatannya yang mengganggu keselamatan dan keamanan pelayaran paling lama 180 hari kalender sejak kapal tenggelam.
Apabila hal itu tidak dilakukan dalam tenggat maksimum, dijelaskan pada ayat (2), pemerintah wajib mengangkat, menyingkirkan, atau menghancurkan seluruh, atau sebagian dari kerangka kapal, dan/atau muatannya atas biaya pemilik apabila dalam batas waktu yang ditetapkan Pemerintah, pemilik tidak melaksanakan tanggung jawab, dan kewajibannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Sampai berita ini ditulis, belum ada keterangan resmi dari Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP), maupun Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai (KPLP) setempat, perihal kelanjutan evakuasi kapal ini. HMS juga masih berupaya mengonfirmasi perusahaan pemilik kapal, maupun pemenang tender yang ditunjuk mengevakuasi kapal.
Pasca insiden tenggelamnya kapal King Richard X, di perairan sekitar area berlabuh jangkar Batu Ampar, Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan dan Direktorat Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai (KPLP), bergerak cepat melakukan penggelaran oil boom di sekitar lokasi tenggelamnya kapal.
Direktur KPLP, Ahmad mengatakan hal ini harus segera dilakukan untuk mengantisipasi pencemaran minyak di laut lebih luas, mengingat lokasi Batam berhadapan langsung dengan Singapura, penanganan harus komprehensif termasuk untuk salvage kapal TSHD King Richard X, sehingga tumpahan minyak dapat tertangani dengan baik.
“Setelah mendapat laporan, kami langsung bergerak cepat melakukan penggelaran oil boom oleh KN. Trisula P.111 dari Pangkalan PLP Tanjung Uban, KSOP Khusus Batam, dan dibantu oleh owner kapal THSD King Richard X. Untuk mengantisipasi pencemaran minyak lebih luas kami mengerahkan 4 armada yakni, KN. Trisula P. 111, KN. Rantos P.210, KN.Kalimasadha P.115, serta ditambah Armada Kapal Patroli dari KSOP Khusus Batam,” kata Ahmad seperti yang dikutip dari siaran pers Dithubla, 15 Desember 2020.
Ahmad menjelaskan, selain melakukan penggelaran oil boom, kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Khusus Batam juga langsung meminta VTS Batam untuk membuat NTM (Notices To Marines). Selain itu, untuk mengantisipasi kecelakaan kapal pihaknya juga telah meminta owner kapal untuk memasang penanda pada lokasi tenggelamnya kapal.
“Kami juga telah mendapat laporan pihak agen atau owner kapal sudah menyurati ke Disnav Kelas I Tanjung Pinang untuk dibuatkan rambu penanda untuk kerangka kapal tersebut, dan juga sudah memberikan surat ke KSOP Khusus Batam,” kata Ahmad.
Kapal Keruk trailing suction hopper dredger (TSHD) King Richard X berbendera Indonesia, dilaporkan tenggelam di perairan sekitar area berlabuh jangkar Batu Ampar pada posisi 01° 09′ 30” N/ 103° 56′ 48 E pada Minggu, 13 Desember 2020 pada pukul 23.00 s.d 24.00 WIB.
Saat kejadian kapal ini dalam posisi labuh jangkar sejak Maret 2018 dengan diawaki 4 (empat) orang crew kapal sebagai pengawas. Saat kejadian, kapal semula mengalami kebocoran yang menyebabkan kapal miring 5 derajat. Setelah kemiringan 12 derajat, 4 (empat) orang crew kapal langsung dievakuasi oleh KRI Beladau untuk kemudian dimintai keterangan.