Penyelesaian secara hukum atas kasus kejahatan di Pasar Modal khususnya dalam satu dekade Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berkiprah, belum terlihat jelas. Hal ini juga terjadi pada saat sebelum OJK melakukan pengawasan khususnya di bidang pasar modal.
Prof. Tumanggor, mengatakan dalam Webinar bertajuk Menilik Satu Dekade Otoritas Jasa Keuangan yang diselenggarakan Magister Hukum Universitas Kristen Indonesia (UKI), Jumat, 25 Juni 2021.
Pemerhati Pasar Modal ini menjelaskan, kasus hukum yang sering terjadi meliputi berbagai modus. Model kejahatan transaksi di Pasar Modal tersebut di antaranya short selling, cornering (goreng saham), market manipulation, insider trading, buy back, mark up nilai pasar wajar (harga pebutup), gagal serah dan gagal bayar sampai modus penipuan.
Tumanggor sebelumnya menyatakan, keberadaan selama sepuluh tahun OJK, banyak tantangan yang harus dijawab. Salah satunya menyediakan landasan hukum yang memadai serta protokol penanganan krisis bagi lembaga pemerintah, Bank Indonesia (BI), Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) termasuk OJK sendiri.
Seperti kita ketahui, gagalnya DPR menyepakati Peraturan Pengganti Undang-undang (Perpu) tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK), menimbulkan kekhawatiran tiadanya landasan hukum yang memadai bagi pemerintah, BI dan LPS dalam menghadapi ancaman krisis di masa mendatang.
Tumanggor yang juga mantan pejabat Kementerian Keuangan, BAPEPAM serta dosen di beberapa perguruan tinggi ini menguraikan, sejak kelahirannya OJK mengundang polemik. Pro kontra itu pada dasarnya terkait dengan pemisahan otoritas pengawas perbankan dari bank sentral. Kini fungsi pengawasan diserahkan kepada OJK selaku regulator seluruh industri keuangan termasuk lembaga keuangan non-bank serta pasar modal.
Ide pembentukan OJK pertama muncul saat BI dinilai gagal dalam mengawasi perbankan saat krisis keuangan tahun 1997-1998. Kemudian saat terjadi krisis keuangan global 2008, walaupun BI dan LPS secara umum berhasil menjaga stabilitas sistem keuangan Indonesia, namun kolapsnya Bank Century, membuat ide pemisahan pengawasan perbankan dari BI selaku otoritas moneter kembali menguat. “Salah satu pelajaran penting dari krisis keuangan global tahun 2008 adalah, bahwa tidak ada arsitektur pengawasan yang sempurna. Di Indonesia, dengan telah disahkannya UU OJK, maka perdebatan mengenai perlu tidaknya OJK sudah tidak lagi relevan,” Tumanggor menekankan.
Sementara itu Ketua Panitia Pelaksana Webinar Program Pasca Sarjana UKI, Mangatur Nainggolan kepada HMS mengatakan, keberadaan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) selama satu dekade mengawasi Industri Jasa Keuangan di Indonesia sangat penting, saat kondisi perekonomian nasional semakin terpuruk khususnya akibat Pandemi Covid-19. Untuk itu tugas pokok dan fungsi OJK kita kritisi, sejauh mana mampu berbuat dan bertindak memperbaiki keadaan buruk ini.
Sejumlah narasumber dihadirkan dalam Webinar yang berjalan lancar selama dua jam lebih. Para narasumber tersebut Masinton Pasaribu, anggota Komisi XI, DPR RI, Rizal Ramadhanibmewakili Dewan Komisaris OJK, Henri Lumban Raja praktisi hukum pasar modal.
Secara online dalam webinar yang dipandu Togi Marganda Purba, disampaikan tanggapan dan masukan dari Ketua Program Studi Magister Hukum UKI Gindo L Tobing, selain pemerhati pasar modal, Prof. Tumanggor.