Melompat. Hanya itu cara kabur yang terpikir oleh Fredi, bukan nama asli, saat melihat petugas hendak menyergap kapal “hantu” yang ia nahkodai. Kapal cepat dengan enam mesin tempel 250 PK itu membawa ribuan dus rokok dan minuman keras dari Pulau Mapur, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau. Nasib nahas menimpa Fredi bersama 16 kru lainnya saat rombongan kapal mereka memasuki perairan Riau.
Peristiwa itu terjadi pada Minggu dinihari, 8 Agustus 2021. Ceritanya, petugas Bea Cukai bersama Kepolisian setempat menyergap tiga kapal hantu yang memasuki perairan Riau. Satu kapal lolos dari sergapan, dua kapal lainnya berhasil diamankan petugas, termasuk kapal Fredi. Namun, para penumpang dua kapal itu tidak ada yang tertangkap. Karena keburu menceburkan diri ke laut sebelum petugas mendekat.
“Satu kapal isi 8 orang. Kami yang ber-16 dari dua kapal ini melompat ke laut. Satu kapal lain dikejar petugas, tetapi berhasil lolos,” kata Fredi kepada HMS, 11 Agustus 2021. Dia bersedia menceritakan peristiwa yang dialaminya beberapa hari lalu itu dengan catatan namanya tidak disebutkan, karena menyangkut nyawa dirinya dan keluarga.
Fredi mengatakan, mereka yang melompat ke laut itu diselamatkan oleh warga setempat. Kemudian dibawa ke darat takjauh dari Pelabuhan Samudera, Kuala Enok. Tubuh mereka kuyup kedinginan, kulit mengeriput pucat setelah hampir satu jam terombang-ambing di laut. Memang takada korban jiwa, tetapi kejadian itu tak akan bisa dilupakannya. “Kami hanya bisa memantau dari jauh. Di sana kelihatan sudah ramai warga di pelabuhan, jumlahnya puluhan lah,” katanya.
Para warga itu menurut Fredi adalah orang-orang suruhan seorang pengusaha di Tembilahan, berinisial TS, selaku si pemesan barang yang ia bawa. Sosok itu lah katanya yang secara rutin memesan barang-barang ilegal tersebut kepada bosnya Fredi, pengusaha muda di Kepri berinisial W. “Mereka [para warga] ada bawa senjata tajam mau mengambil barang-barang itulah. Sekitar 20 persen berhasil dibawa lari kabarnya. Sisanya diamankan petugas.”
Dia berkisah, semula dari pelabuhan tikus milik bosnya W di Pulau Mapur, mereka sebetulnya berlayar membawa rombongan lima kapal “hantu”. Empat kapal membawa muatan masing-masing 450 dus rokok merek Luffman. Satu kapal lainnya membawa 600 dus minuman keras berbagai merek. Akan tetapi, di tengah perjalanan dua kapal terpaksa ditinggalkan di perairan Dabo, Lingga, karena kehabisan bahan bakar. “Dua kapal balik kanan ke markas karena mogok,” katanya.
Rokok Luffman tanpa cukai itu didatangkan dari Vietnam. Polanya, rokok produksi Vietnam itu dibawa terlebih dahulu ke Singapura. Setelahnya, barang-barang tersebut diangkut oleh satu kapal barang ke kawasan Out Port Limited (OPL) atau perbatasan perairan Kepri, yang kemudian akan dijemput oleh Fredi cs menggunakan kapal fery yang sudah dimodifikasi menjadi kapal crew.
“Biasanya, setelah barang semua selesai dipindah [ship to ship] kami langsung berangkat, tetapi karena setelah penjemputan hari itu dapat informasi tidak aman untuk berangkat, kami tunda dulu dan putar balik lagi ke markas [Pulau Mapur],” katanya.
Fredi berani mengambil risiko membawa barang-barang ini karena menurutnya, ini adalah salah satu jalur cepat menjadi kaya, meskipun harus bertaruh nyawa. Ia merinci, untuk sekelas nahkoda dalam satu kali pelayaran jalur pendek rute Bintan-Tembilahan diupah Rp6 juta. Sementara para ABK dibayar Rp1 juta. Berhasil tidak berhasil, mereka tetap dibayar.
“Kalau jalur panjang, misal dari Bintan ke Palembang itu kami dibayar Rp15 juta untuk tekong [nahkoda], ABK-nya Rp3 juta. Semua pelayaran pakai jalur OPL. Risikonya cuma dua, kalau tidak mati, ya, tertangkap,” kata dia.
Pulau Mapur adalah markas Fredi cs. Di sana ada pelabuhan tikus atau pelabuhan pribadi milik W, beserta gudang penyimpanan. Menurut Fredi, gudang di Pulau Mapur ini baru beroperasi dalam satu tahun belakangan, sebelumnya gudang mereka berada di Tanjung Buntung, Kota Batam. “Karena sudah ketahuan dan banyak orang yang datang maka-nya markas dipindahkan.”
Beberapa jam setelah peristiwa itu, Fredi cs berhasil kembali ke Batam, tentu saja melalui jalur gelap mengandalkan koneksi bosnya. Sementara untuk satu kapal yang lolos tadi, kini sedang mencari cara berlayar kembali menuju ke Pulau Mapur. Mereka sedang mengatur jalur aman kedatangan kapal tersebut, “Ini kita lagi menunggu, kemungkinan malam ini,” katanya. Kapal yang lolos itu katanya mengangkut sekitar 600 dus minuman keras.
Salah satu pejabat Bea Cukai Tembilahan membenarkan kalau pihaknya baru saja mengamankan dua kapal penyelundup tersebut. Sementara Humas Kantor wilayah Direktorat Jenderal Bea Cukai Khusus Kepri, Arif Ramdhan, mengatakan, semua pertanyaan HMS perihal peristiwa ini sudah diteruskan ke unit terkait, karena pihaknya dalam kasus ini hanya menjadi supporting unit (pendukung). “Jadi tidak secara langsung menangani,” kata Arif.
Persoalan penyelundupan di Kepulauan Riau dan Riau, memang tidak pernah tuntas. Dua provinsi ini seolah merupakan penghubung barang-barang tanpa cukai tersebut beredar luas, terutama rokok. Wajar saja, keuntungan dari penjualan barang ilegal ini bisa berkali-kali lipat. Satu dus rokok berisi 50 slop merek Luffman hanya dibanderol sekitar Rp2,5 juta saja. Harganya bisa naik tiga kali lipat bila dijual ke kedai kelontong.
“Itu baru satu jenis barang yang diselundupkan, biasanya ada barang gelap lain yang menumpang. Ya, pasti adalah. Namanya juga main gelap,” kata Fredi.