Komite Peduli Lingkungan Hidup Indonesia (KPLHI) memperingatkan bahwa lambung kapal keruk atau trailing suction hopper dredger (TSHD) King Richard X yang tenggelam di perairan Batu Ampar, Kota Batam, Kepulauan Riau, bisa pecah apabila terlalu lama dievakuasi dari dasar laut. Ibarat bom waktu, ratusan ton bahan bakar minyak (BBM) berpotensi mencemari perairan.
Kapal tua berumur 50 tahun ini sendiri tenggelam bersama ratusan ton bahan bakar minyak (BBM) yang terkurung di dalamnya pada Desember 2020 lalu, dan proses pengangkatannya sampai sekarang masih urung dilakukan. (baca: Bangkai Kapal King Richard X Belum Diangkat, Pencemaran Minyak Mengintai).
“Kapal akan sulit bertahan menahan tekanan bawah air. Pertanyaannya, seberapa kuat kapal itu menahan tekanan air. Semua kan ada masa lelahnya, kalau dia tidak kuat menahan formasi air tentu kapal akan pecah,” kata Ketua KPLHI Batam, Azhari Hamid, 20 Mei 2021.
Apabila kapal pecah atau ada keretakan kecil saja pada bagian tangki kapal maka pencemaran di laut tidak bisa terelakkan. Menurutnya, hal itu sekarang mungkin saja sudah terjadi mengingat minyak yang lolos keluar tidak serta merta muncul ke permukaan.
“Kalau ada kebocoran minyak itu tidak akan langsung naik vertikal ke atas [permukaan air] karena di bawah laut masih ada arus, jadi minyak akan terbawa dan nanti memapar ke sekitarnya atau sekelilingnya mengikuti arus,” katanya.
Satu hal yang membuat kapal jenis trailing suction hopper dredger lebih berpotensi mencemarkan laut adalah karena spesifikasi kapal ini lebih khusus ketimbang kapal pada umumnya. Kapal membutuhkan banyak bahan bakar untuk menggerakkan komponennya seperti: pipa pengisap, tabung pengisap, mesin pengeruk, serta alat-alat lainya.
“Jadi banyak membutuhkan bahan bakar, bukan hanya bakar, ada juga gris atau oli dan pelumas untuk peralatan dredger-nya. Belum lagi kalau di dalam hopper-nya itu masih ada lumpur atau sisa-sisa lumpur. Namun saya rasa lumpurnya sudah terlepas ke ataslah waktu tenggelam,” kata Azhari Hamid.
Dia mengatakan, setelah mendapat informasi kalau kapal ini belum juga dievakuasi, pihaknya akan turun ke lapangan mempelajari sumber pencemaran yang terjadi dan akan mendeteksi ke mana minyak itu dibawa arus kalau memang terjadi kebocoran.
“Dalam kasus ini, KPLHI meminta stakeholder terkait supaya menyelesaikan pengangkatan itu segera sebelum bahan bakarnya itu lepas. Tapi saya harap jangan sampai ada kebocoran. Seharusnya ini sudah diantisipasi sejak dini, karena kalau sudah terjadi semua akan terkena dampaknya,” kata dia.
Sebelumnya, sumber HMS mengatakan, ada sejumlah kendala dalam proses pengangkatan kapal ini. Mulai dari biaya pengangkatan yang mahal mencapai miliaran rupiah, perusahaan pemenang tender evakuasi belum mempunyai izin salvage dari Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, hingga muncul persoalan paling riskan yaitu soal langkah antisipasi bocornya ratusan ton minyak yang terjebak dalam kapal.
“Pembeli bangkai kapal itu ada haji dari Jakarta, mereka sudah bawa tim ke sini dan sudah conform membawa surat kontrak. Kemudian diuruslah surat izin pengangkatannya ke Dithubla, rupanya izin itu tidak keluar karena terkait masalah limbah. Sampai sekarang itu masih terbengkalai proses pengangkatan. Pengurusan izinnya sejak Januari 2021,” kata pria berbadan tegap ini kepada HMS, 15 Mei 2021. Namanya minta dirahasiakan karena ada pekerjaan di kapal itu yang menyangkut dengan perusahaan tempat dia bekerja.
Dia menjelaskan, ratusan ton minyak yang terjebak di kapal adalah permasalahan utama dalam kasus ini. Itulah alasan mengapa kapal harus secepatnya dievakuasi. Memang sejak awal katanya, sudah ada langkah antisipasi pencemaran yang dilakukan berupa penambalan pipa-pipa tangki, dan pemasangan oil boom. Namun menurut dia, tindakan-tindakan yang diambil belum maksimal, dan hanya bersifat sementara.
Hal itu katanya dapat dilihat dari gumpalan minyak membeku berwarna hitam yang sesekali masih timbul ke permukaan laut ketika ombak besar datang. Bahkan informasi yang dia dapat beberapa nelayan setempat, beberapa kali sudah melaporkan kalau minyak hitam sudah sampai ke pesisir pulau mereka.
“Kenapa bocor? Jadi kapal tenggelam dalam posisi miring ke port side. Jadi, di setiap tangki kapal itu ada exhaust keluar atau pipa keluar, jumlahnya ada 26-an. Dari pipa hawa itu keluar limbah atau minyak hitam. Jadi pipa-pipa itu hanya ditutup pakai plastik saja, pakai pengeras semen yang kalau dia dicampur sudah seperti besi itu. Ditambal sampai tidak bocor. Permasalahannya kalau ada ombak besar, kapal kan terus rolling, ada lagi gumpalan yang keluar, itu pasti,” kata dia.
Persoalan lainnya yang paling fatal yang membuat gumpalan minyak masih naik ke permukaan kata dia, juga akibat dari pemasangan oil boom yang tidak sesuai standar. Yaitu soal alat yang digunakan untuk menghalau tumpahan minyak di air hanya memakai jangkar ukuran kecil, dan dipasang dengan cara yang salah.
“Pasang oil boom itu bisa dicek bersalahan semua. Sekadar saja, pasang terus foto. Pemasangan seharusnya pakai jangkar yang besar, ini mereka pakai yang kecil saja. Sehingga ketika ada ombak besar oil boom itu ke tarik. Oil boom kan berupa balon. Untuk kekuatan tarik sekian ton jangkarnya seberapa besar ada standarnya, bukan asal. Kemudian, seharusnya ada standbye boat di sana. Jadi, ketika ada kebocoran diinfokan lagi. Sekarang sudah tidak ada,” kata dia.
Ketika ditanya berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mengangkat kapal ini, dia menjawab, “Permasalahannya menjadi complicated karena didalamnya itu ada minyak. Kalau kapal itu dalam kondisi kosong, target dua bulan paling lama. Tapi ada kegiatan terus. Itu kalau pekerjaan menggunakan perusahaan asing biayanya sampai Rp30 miliar. Karena kalau standar luar negeri itu seperti di Singapura itu tidak boleh ada minyak yang keluar. Mereka (pemilik kapal) tidak mampu, karena kapal itu kalau di scrap palingan cuma Rp12 miliar aja. Kalau pakai perusahaan Indonesia paling Rp3-4 miliar saja,” kata Dia.
Sesuai Undang-undang (UU) Nomor 17 tahun 2018, tentang Pelayaran dalam Pasal 203 ayat (1) disebutkan, pemilik kapal wajib menyingkirkan kerangka kapal dan/atau muatannya yang mengganggu keselamatan dan keamanan pelayaran paling lama 180 hari kalender sejak kapal tenggelam.
Apabila hal itu tidak dilakukan dalam tenggat maksimum, dijelaskan pada ayat (2), pemerintah wajib mengangkat, menyingkirkan, atau menghancurkan seluruh, atau sebagian dari kerangka kapal, dan/atau muatannya atas biaya pemilik apabila dalam batas waktu yang ditetapkan Pemerintah, pemilik tidak melaksanakan tanggung jawab, dan kewajibannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Sampai berita ini ditulis, belum ada keterangan resmi dari Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP), maupun Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai (KPLP) setempat, perihal kelanjutan evakuasi kapal ini. HMS juga masih berupaya mengonfirmasi perusahaan pemilik kapal, maupun pemenang tender yang ditunjuk mengevakuasi kapal.