Industri maritim di Kota Batam, Kepulauan Riau, bersiap bangkit setelah lima tahun diterjang krisis. Tuntutan aliansi pengusaha dan pekerja akhirnya dipenuhi oleh Badan Pengusahaan (BP) Batam. Peraturan lama akan direvisi, pejabat yang tidak berkompetensi diganti, semua kerugian pengguna jasa dikembalikan, dan tidak ada lagi pungutan paksa tanpa pelayanan di terminal pelabuhan.
Ketua Aliansi Gerakan Kebangkitan Industri Maritim (AGKIM) Batam, Osman Hasyim, mengatakan, kebangkitan ini ditandai dengan delapan poin kesepakatan bersama antara pihaknya dengan BP Batam usai rapat pada Senin, 2 Agustus 2021. Ia pun menyambut baik reformasi yang akan dilakukan ini. “Alhamdulillah setelah lima tahun berjuang kita berhasil perjuangkan tuntutan kita demi Batam yang lebih baik,” kata Osman Hasyim kepada HMS, Senin kemarin.
Rapat itu berlangsung di kantor BP Batam selama sekitar dua jam dan dipimpin oleh Wahjoe Triwidijo Koentjoro, selalu anggota Bidang Administrasi dan Keuangan BP Batam. Adapun delapan usulan yang dipenuhi yang ditandatangani oleh 18 orang dari AGKIM dan BP Batam seperti berita acara kesepakatan bersama mereka yang didapat HMS adalah sebagai berikut:
- Jasa tambat untuk kepentingan sendiri di Terminal Khusus (TERSUS) dan TUKS tidak dipungut;
- Surat Edaran Kepala Kantor Pelabuhan Laut BP Batam Nomor 23 Tahun 2018 tentang Persyaratan Dokumen Pendukung di Terminal Khusus (Tersus) dan Terminal untuk Kepentingan Sendiri (TUKS) Guna Pembebasan Biaya Tambat Kapal dicabut;
- Host to Host tetap berlaku;
- Jasa dermaga dan jasa bongkar muat untuk kepentingan sendiri di TUKS atau Tersus tidak dipungut;
- Jasa pemanduan dan jasa penundaan yang tidak ada pelayanannya tidak dipungut;
- BP Batam akan melakukan reformasi birokrasi dengan menempatkan pejabat yang berkompeten di kantor BUP BP Batam;
- BP Batam akan mengembalikan dan (hold dana dan lunas) yang tidak ada pelayanannya dalam waktu 7 hari;
- BP Batam akan me-review Perkat Nomor 14 Tahun 2019 tentang Petunjuk Pelaksanaan Jenis dan Tarif Pelayanan pada Kantor Pelabuhan Laut BP Batam dan akan menerbitkan Perka baru yang berkualitas dan produktif.
Koordinator Aliansi Gerakan Kebangkitan Industri Maritim Batam, Erdi Steven Manurung, mengatakan, dalam rapat itu mereka menyampaikan permohonan serta hal-hal genting yang harus segera dibenahi; BP Batam setuju menerima usulan tersebut.
“Iya benar, itu berita hasil rapat kemarin. Mereka [BP Batam] mengakui ada yang sebetulnya tidak perlu ditagih, tetapi di lapangan tetap ditagih,” kata Erdi kepada HMS.
Untuk ganti rugi jasa tunda dan pandu kapal yang tidak ada pelayanannya, BP Batam, kata Erdi, berjanji akan mengembalikannya dalam waktu tujuh hari. “Perkiraan lebih kurang di atas Rp3 miliar, itu ada yang 2,5 tahun ada juga yang 1 tahun. Kemudian Perka lama akan dicabut dan diganti dengan yang baru,” katanya.
Direktur Badan Usaha Pelabuhan (BUP) Batam, Nelson Idris, mengaku belum membaca kesepakatan bersama dari hasil rapat itu. Dia juga enggan berkomentar tentang permasalahan ini. “Bagusnya konfirmasi langsung ke pimpinan sidang, Pak. A1,” kata Nelson kepada HMS. Ia juga menyarankan HMS untuk mengonfirmasi ke Direktur Promosi, Humas dan Protokol Badan Pengusahaan (BP) Batam, Dendi Gustinandar.
Sementara itu, saat dikonfirmasi HMS, Dendi Gustinandar mengatakan, BP Batam bersama AGKIM memang dalam beberapa bulan terakhir melakukan komunikasi dan diskusi secara intensif. Pihaknya, kata dia, sangat mengapresiasi usulan yang berhaluan ke arah perbaikan industri maritim Batam. Delapan usulan tersebut memang sudah disepakati oleh pihaknya.
“Kedua belah pihak membahas hal tersebut, dan sepakat bahwa ke depan untuk pengembalian dana (hold dana dan lunas) yang tidak ada pelayanannya dalam waktu 7 hari. BP Batam akan segera memperbaiki beberapa hal terkait poin ini seperti SOP dan sistem,” kata Dendi
Selain itu, kata dia, BP Batam juga akan melakukan review terkait dengan Petunjuk Pelaksanaan Jenis dan Tarif Pelayanan pada Kantor BUP; akan menerbitkan Peraturan Kepala BP Batam baru yang berkualitas dan produktif.
Dalam lima tahun terakhir ini industri maritim di Kota Batam sedang lesu. Untuk itulah delapan asosiasi bersepakat membuat aliansi, yaitu AGKIM. Aliansi yang terbentuk pada 27 Maret 2021 ini, mewakili ratusan perusahaan dan ratusan ribu pekerja dari delapan organisasi diantaranya: BSOA (Asosiasi Galangan Kapal dan Lepas Pantai), INSA (Asosiasi Pemilik Kapal Nasional Indonesia), ISAA (Asosiasi Agen Pelayaran Indonesia), Asosiasi Perusahaan Bongkar Muat, Serikat Pekerja Perkapalan dan Jasa Maritim, Asosiasi Logistik dan Forwarding, Pelayaran Rakyat, dan Asosiasi Tenaga Ahli Kepabeanan.
Tujuannya yaitu membenahi semua permasalahan. Karena kiwari ini berbagai persoalan mendera industri kemaritiman Batam. Dipengaruhi oleh membingungkannya aturan dan ketidakpahaman pemangku kepentingan di daerah. Perusahaan-perusahaan kehilangan daya saing dan hampir tidak mampu lagi bertahan setelah sekian lama menunggu kebijakan yang pro rakyat dan pro bisnis. Berimbas pada munculnya ratusan ribu penganggur. Kini, industri andalan yang meliputi bidang perkapalan, pelayaran, dan jasa kepelabuhanan itu sedang menanti senja kalanya. (baca: Senja Kala Industri Maritim Batam)
Kondisi ini sudah berlangsung sejak tahun 2016. Membuat pertumbuhan ekonomi daerah menurun. Galangan kapal lengang berkalang sepi menuju kebangkrutan, dari 115 perusahaan hanya 30 persen yang beroperasi. Sekitar 300.000 tenaga kerja industri kemaritiman menganggur. Batam tidak lagi menjadi daerah tujuan bagi kapal domestik maupun asing. Pungutan tarif kepelabuhanan ditarik secara sembarangan dan tidak sesuai aturan perundang-undangan.
Keluhan terbaru datang dari Asosiasi Pengusaha Bongkar Muat Indonesia (APBMI) Kota Batam. Permasalahannya ada di pengesahan Peraturan Kepala (Perka) BP Batam Nomor 14 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Perka BP Batam Nomor 11 Tahun 2018 tentang Petunjuk Pelaksanaan Jenis dan Tarif Layanan Pada Kantor Pelabuhan Laut. Menurut asosiasi pengesahan itu dilakukan secara “diam-diam” dan tanpa adanya sosialisasi.
Menurut pengusaha, pungutan tarif jasa bongkar muat curah cair dalam negeri naik berkali-kali lipat, pengusaha menjerit. Badan Pengusahaan (BP) Batam mengklaim tarif baru itu sudah sah dan berlaku sejak tahun 2019 lalu. Sementara menurut para pengusaha, implementasinya baru jalan pada Selasa siang, 13 Juli 2021, tanpa pemberitahuan pula.
“Paginya masih pakai tarif lama, begitu lewat jam 12 tarif sudah naik dua kali lipat. Ini ada buktinya, tiba-tiba sudah dipotong dan keluar nota. Ya kami kaget lah,” kata Arthur, Direktur PT Pasada Artha Cargo kepada HMS, 15 Juli 2021. (baca: Cuma Hantu yang Tahu).
Arthur saat itu kesal bukan main. Sebab, dalam hitungan menit bisnisnya yang harusnya untung malah jadi rugi jutaan rupiah. Ia tidak bisa klaim tambahan biaya kepada pemilik kapal karena sudah bersepakat dalam kontrak menggunakan tarif lama. Alhasil, sudahlah merugi, ia juga dinilai tidak becus dan dicurigai ‘ada main’ oleh kliennya.
Dia merasa banyak hal yang aneh atas kenaikan tersebut. Mulai dari tarif dalam negeri yang lebih mahal ketimbang tarif luar negeri. Kemudian tarif curah cair dalam negeri tersebut nilainya sama dengan tarif yang lama, yaitu sama-sama diangka Rp6,180. “Kami rasa mereka [BP Batam] itu salah ketik, kalau pun tidak, kami minta peraturan itu dibatalkan sebelum ada sosialisasi dan dana kami yang sudah dipotong dikembalikan,” kata dia.
Dia sendiri sudah mengajukan keberatan kepada BP Batam hari itu juga. Menurut keterangan pejabat di sana, mereka tidak tahu menahu apakah Perka itu sebelum disahkan sudah disosialisasi kepada pengusaha atau tidak. Sebab, peraturan ini sudah ada sejak tahun 2019, sewaktu posisi Direktur Badan Usaha Pengelolaan Pelabuhan masih dijabat oleh Nasrul Amri Latif, yang posisinya digantikan oleh Nelson Idris pada Januari 2020 lalu.
Alasan peraturan ini baru diterapkan sekarang, katanya juga dari keterangan yang ia dapat, hal itu dikarenakan Perka Nomor 14 Tahun 2019 ini menjadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Kebetulan para pejabat tinggi di sana baru menjabat setelah Perka itu disahkan, dan barangkali tidak tahu kalau Perka itu ada. Alhasil, karena selama dua tahun tarif berlaku dan BP Batam masih menggunakan tarif lama, hal ini otomatis menjadi temuan kerugian negara.