Sekelompok agen pelayaran bertemu di sebuah rumah makan di Kota Batam, Kepulauan Riau, Senin, 28 Juni 2021. Mereka datang mengadu kepada Koordinator Aliansi Gerakan Kebangkitan Industri Maritim Batam, Erdi Steven Manurung. Membocorkan semua keluh kesah dan rasa getir, tentang segala urusan yang berhubungan dengan jasa pandu, tunda, dan tambat, yang katanya, selalu bertemu dengan pungutan paksa.
HMS diundang dalam pertemuan itu. Topik utama mereka yaitu, meminta Erdi yang juga menjabat sebagai Ketua Asosiasi Agen Pelayaran Indonesia (ISAA) Batam, untuk tidak lagi bernegoisasi dengan Badan Pengusahaan (BP) Batam. Rencana mogok operasi pada awal Juli 2021 nanti, harus terlaksana apabila tuntutan aliansi kepada pemerintah untuk menerbitkan kebijakan baru yang pro rakyat dan pro bisnis tidak dipenuhi. (baca: Senja Kala Industri Maritim Batam).
“Iya, saya baru dihubungi oleh Pak Osman Hasyim [Ketua Aliansi Gerakan Kebangkitan Industri Maritim Batam] tadi. Katanya BP Batam mengajak aliansi untuk rapat lagi besok [30 Juni 2021]. Tapi, saya dapat pastikan kalau pertemuan itu hanya sekadar untuk bernegoisasi tanpa ada keputusan yang jelas, kami akan keluar dari ruangan dan meneruskan aksi. Karena sudah berbulan-bulan kami para pengusaha bersabar menunggu respon mereka,” kata Erdi Steven Manurung kepada HMS.
Menurut para agen, negoisasi hanya akan membuat perjuangan dari aliansi yang baru terbentuk beberapa bulan lalu ini, mewakili ratusan perusahaan dan ratusan ribu pekerja dari delapan organisasi sia-sia. Karena permasalahannya saat ini hampir segala urusan pelayaran yang berhubungan dengan birokrasi selalu bertemu dengan pungutan yang dipaksakan. Pengurusan jasa pandu, tunda, dan tambat terhadap kapal contohnya. Ini kata mereka sudah menjadi rahasia umum, setidaknya di kalangan mereka yang berusaha di bidang pelayaran.
Mereka menemukan praktik di lapangan adanya pungutan terhadap jasa pemanduan untuk kapal yang berkegiatan di area labuh Batam yang di luar perairan wajib pandu. Padahal katanya, sesuai Peraturan Kepala (Perka) BP Batam Nomor 11 Tahun 2018 tentang Petunjuk Pelaksana Jenis dan Tarif Kepelabuhanan, kapal baru wajib menggunakan layanan pemanduan hanya pada waktu kapal berlayar di perairan wajib pandu. (baca: Penyebab Runtuhnya Industri Maritim Batam, Salah Kelola dan Harus “Direset” Kembali).
Tidak hanya berbicara, mereka juga melampirkan sejumlah bukti keterangan sejumlah perusahaan yang menolak pungutan tanpa pelayanan yang katanya dipaksakan itu. Salah satunya terjadi pada PT. Temas Shipping, pada April 2021 lalu.
Dari dokumen yang HMS dapatkan, perusahaan ini menyatakan tidak ada layanan pandu terhadap dua kapalnya yang bernama Segara Mas dan Detroit Mas. Akan tetapi, BP Batam tetap menarik pungutan dua kali bolak-balik untuk kapal dari area luar wajib pandu ke area keberangkatan atau labuh. Padahal pungutan seharusnya diberlakukan satu kali saja pada kapal dari luar yang belum masuk ke dalam perairan wajib pandu. Dan penarikan tarif itu menurut mereka sangat bertentangan dengan Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 15 Tahun 2014.
“Kita bayar sesuatu yang tidak ada pelayanannya. Menurut saya, ini sudah tergolong pungutan liar, kenapa? karena mereka memungut di daerah yang tidak wajib. Kemudian kalau ini terus diberlakukan hanya akan memperkaya pihak ketiga yaitu swasta. Karena apa? KSO atau swasta yang ditunjuk oleh BP Batam ini dia tidak bekerja, cuma duduk-duduk di rumah dapat duit. Jadi memperkaya diri sendiri. Ini pungli karena tidak wajib. Misal ada tempat yang tidak wajib bayar parkir tapi kami tetap ditagih,” kata dia.
Total tagihan untuk dua kapal itu nilainya bekisar Rp39 juta. Dari 100 persen pembayaran itu dalam aturannya juga, BP Batam hanya mendapat 25 persen, 5 persen masuk ke Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan Khusus Batam, dan paling besar 70 persen masuk ke kantong swasta atau dalam kasus ini yaitu perusahaan BUMN, PT. Pelindo. Biaya ini baru hanya untuk kapal yang berukuran sekitar 5000 GT. Nilai tagihan itu akan berlipat tergantung ukuran kapal dan asal kapal.
Kemudian ada juga keluhan dari PT. Internusa Bahtera, soal keberatan mereka atas pungutan tarif tunda pada kapal TB Gerbera yang berlangsung tanpa pelayanan. Bahkan menurut mereka, kapal keluar dari shipyard tanpa menggunakan tunda. Padahal perusahaan ini sudah melaksanakan hold dana dan SPK Tunda, kapal tunda juga telah diorder namun tidak ada di lokasi.
“Kami sering menolak tapi nanti mereka mengancam dan mempersulit kami. Kami diancam kalau tidak bayar, PUK kami tidak ditutup, jadi kapal kami itu masih terbuka di sistem, biaya jalan terus. Tidak bisa dilayani. Mereka bilang, ‘kamu tidak bayar berarti kamu tidak pakai pandu dari BP Batam’. Jadi nanti kami dikenakan pasal yang menyatakan, kalau tidak pakai jasa pandu dari BP Batam, agen harus bayar 200 persen atau dua kali lipat dari tarif. Kita diancam dan kita ditakuti-takuti di situ, ini sudah berjalan lebih dari dua tahun,” katanya.
Selain melampirkan data, para agen ini juga menyebut banyak nama oknum-oknum di lapangan yang biasa merayu mereka untuk bermain belakang, “Jadi sering juga itu mereka ini misal kita berkegiatan 30 hari, jadi mereka bilang bayar 15 hari saja, 15 harinya dibagi dua, untuk mereka separuh, separuhnya lagi uangnya untuk kami. Terkesan sama-sama happy, tapi mereka tidak tahu kami nagih pembayaran sama owner itu susahnya minta ampun. Karena kalau tidak ada pelayanan siapa yang mau bayar, akhirnya ya kami yang rugi,” katanya.
Salah satu cara oknum-oknum ini mempersulit dan mencari keuntungan dari para agen katanya yaitu, melalui pembekuan dana (hold dana) yang agen setorkan saat kapal baru tiba. Menurut mereka, apabila agen tidak memakai jasa tanpa pelayanan itu, uang jaminan yang mereka setorkan akan ditahan, bahkan tidak dikembalikan.
Pengalaman para agen ini untuk proses lepas pembekuan dana ini memakan waktu sekitar 7 bulan sampai satu tahun, itupun ada yang dananya tidak kunjung dikembalikan dan ada pula yang dikembalikan dengan cara dicicil. Dari sisi bisnis tentu mereka mengalami kerugian, sebab, dana yang seharusnya bisa diputar harus rela lama-lama tertahan di sistem.
“Semuanya stuck di bagian pandu tunda karena kami diminta melengkapi data yang tidak mungkin kami bisa dapatkan. Contoh, kami disuruh minta surat pernyataan dari nahkoda. Tentu ini tidak mungkin, karena kapal sudah berangkat berbulan-bulan yang lalu. Selama kita protes untuk lepas hold dana, selama itu juga lah PUK kita tidak ditutup, sehingga jika kapal tersebut datang kembali ke Batam, tidak bisa buka PUK baru dan tidak bisa berkegiatan,” kata dia.
Dengan segala tekanan dan rumitnya birokrasi itulah mereka akhirnya terpaksa membayar. Terlebih, para agen juga mendapat tuntutan untuk bekerja cepat tanpa masalah dari klien mereka yaitu pemilik kapal. Kemudian parahnya apabila pembayaran itu tidak dilakukan, kapal yang akan masuk kembali ke Batam, dilarang berkegiatan sebelum tunggakannya itu lunas.
“Yang kita soroti disini, pandu yang kita bayar tersebut sebenarnya tidak ada kegiatan dan tanpa pelayanan. Uang yang kita bayar ke BP tersebut hanya 25 persen yang masuk negara, sedangkan 75% nya masuk ke swasta. Ini ada potensi pungli, karena tidak ada kegiatan tapi agen wajib membayar. Ada potensi memperkaya pihak lain, pihak swasta tersebut.
Di sini agen sangat di rugikan, karena pandu yang dibayar ini tidak bisa kita tagih ke owner kapal, karena tidak ada bukti pandu naik ke kapal atau tidak ada kegiatan. Lama-lama agen terus merugi dan bangkrut,” katanya.
Persoalan jasa pandu, tunda, dan tambat ini adalah contoh satu masalah yang sekarang sedang disuarakan oleh Aliansi Gerakan Kebangkitan Industri Maritim Batam. Aliansi ini pada dasarnya meminta pemerintah mencabut dua Peraturan Kepala (Perka) BP Batam, yaitu Perka Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pelaksanaan Sistem Host-To-Host Pembayaran Kegiatan Jasa Kepelabuhanan di Lingkungan Pelabuhan Batam, Perka Nomor 11 Tahun 2018 tentang Petunjuk Pelaksana Jenis dan Tarif Kepelabuhanan, serta merevisi PP No. 41 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas.
Erdi Steven Manurung sendiri sebelumnya memang sempat menyatakan satu hal yang paling menyita perhatian mereka yaitu, soal jasa pemanduan dan penundaan. Erdi menerangkan, BP Batam memberlakukan pungutan dua kali bolak-balik untuk kapal dari area luar wajib pandu ke area keberangkatan atau labuh. Padahal pungutan seharusnya diberlakukan satu kali saja pada kapal dari luar yang belum masuk ke dalam perairan wajib pandu.
Kemudian pengguna jasa juga diwajibkan meng-hold dana (pembekuan oleh bank) dan tetap membayar penyediaan kapal tunda dan pandu yang tidak disediakan oleh BP Batam. Selain itu, pengguna jasa juga harus mencarter dan membayar kapal tunda sendiri. Artinya, BP Batam tetap memungut tarif tunda dan pandu meskipun tidak ada jasa pelayanannya. Hal itu katanya sangat bertentangan dengan Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 15 Tahun 2014.
“Mereka juga mewajibkan kapal menggunakan kapal tunda terhadap kapal yang tidak membutuhkan kapal tunda. Intinya mau terima duit, tapi fasilitas tidak memadai. Soal dana yang ditahan memang nanti akhirnya akan dikembalikan, tetapi itu kan memakan waktu berbulan-bulan,” kata dia.
Pembekuan dana itu kata Erdi, dipungut BP Batam sebelum kapal datang. Dalam ketentuannya seharusnya dana itu dipungut sebelum kapal berangkat sesuai dengan tata cara pungutan dan penyetoran PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) yang mengatur tentang waktu pemungutan dan penyetoran yang menerapkan 2 prinsip: prinsip prabayar dan pascabayar. “Jadi kami mengusulkan di-hold dana dimuka hanya untuk kapal-kapal yang berkegiatan di pelabuhan umum. Untuk kapal-kapal yang berkegiatan di luar pelabuhan umum tidak diminta untuk hold dana dan dipungut sebelum kapal berangkat,” katanya.
Persoalan lainnya yang menjadi sorotan mereka adalah soal pelayanan PUK di BP Laut Batam yang belum menggunakan sistem online, sehingga tidak efisien waktu dan tidak ada kepastian waktu kapan dokumen yang diajukan dapat selesai. “Pelayanan PUK harus terintegrasi secara online sistem seperti yang telah dilakukan oleh kantor-kantor CIQP di Batam,” katanya. Kemudian kurangnya petugas dari BP Laut Batam yang mengerti atau standby dalam pelayanan InaPortnet yang menyebabkan target tiga jam pelayanan menjadi molor berhari-hari, hingga kurang profesionalnya petugas menurut mereka juga harus dibenahi.
Erdi mengatakan, pembenahan dalam industri kemaritiman Batam tidak bisa ditunda lagi. Sebab harus dipertimbangkan kalau sektor ini merupakan andalan perekonomian sehingga eksistensinya perlu dijaga agar dapat menyediakan lapangan pekerjaan secara berkelanjutan, memberikan kesejahteraan pada masyarakat, dan meningkatkan perekonomian di Batam. “Investasi yang telah ada harus diselamatkan dari kebangkrutan.”
Sampai berita ini ditulis HMS masih berupaya mengonfirmasi pihak-pihak terkait, mulai dari KSO hingga BP Batam. Jawaban konfirmasi akan diterbitkan dalam pemberitaan selanjutnya.