Ada dua versi yang jauh berbeda tentang kematian Siprianus Apiatus Bin Philipus (27). Menurut dua pengacaranya, narapidana yang mendekam di Rumah Tahanan (Rutan) Kelas II A Kota Batam, Kepulauan Riau, itu meninggal dunia dengan kondisi tubuh ada bekas luka dan patah tulangnya. Sementara menurut petugas penjara, memar yang dikira luka itu hanyalah bekas kerokan dan patah tulang yang diributkan tidak lain adalah luka lama korban.
Dua pengacara narapidana malang itu bernama Radius dan Natalis Zega. Mereka menerangkan bekas luka itu berupa: bahu dan lengan yang patah, dada kiri area jantung, tulang rusuk, serta punggung yang membiru dan membengkak. Kondisi ini mereka temukan pada tubuh korban sewaktu mereka ikut melihat dan mendampingi keluarga melakukan visum di RSUD Embung Fatimah.
“Awalnya saya sudah konfirmasi ke Rutan, keterangannya korban meninggal karena asam lambung. Padahal sewaktu dapat kabar [korban meninggal] saya juga langsung ikut mendampingi keluarga di rumah sakit. Ternyata setelah sampai di rumah sakit itu korban ternyata bukan meninggal karena asam lambung sebagaimana yang disampaikan pihak Rutan. Tetapi meninggal dunia karena dibagian tubuh korban ada beberapa kejanggalan,” kata Radius didampingi oleh Natalius Zega, 11 April 2021.
Kejanggalan itu mengarah layaknya seperti tanda-tanda bekas penganiayaan. Selain itu menurut dia, berdasarkan keterangan dokter, kondisi jantung si korban yang dihukum pidana selama satu tahun enam bulan dan sudah dipenjara kurang lebih satu tahun ini, sama sekali tidak mencirikan orang yang meninggal karena sakit.
“Tidak seperti mayat yang meninggal karena suatu penyakit, tetapi meninggal karena jantungnya membesar. Ini keterangan yang saya dapat dari rumah sakit. Tadi sudah saya tanyakan juga kepada keluarga, apakah si korban ini pernah menderita suatu penyakit sebagaimana yang disampaikan oleh pihak Rutan? Jawabannya tidak, tidak pernah menderita penyakit apapun. Juga riwayat penyakitnya juga tidak ada,” kata dia.
Dia mengungkapkan, seharusnya tahanan kasus pengeroyokan ini juga sudah bebas bersyarat sejak 29 Maret 2021 lalu. Namun, nyatanya tetap ditahan dan akhirnya meninggal dunia pada 10 April 2021. Beberapa minggu lalu, keluarga korban sudah memenuhi semua berkas persyaratan bebas bersyaratnya, akan tetapi si korban tak kunjung dilepaskan juga.
“Mereka menunggu informasi [kapan korban dibebaskan] dari pihak Rutan. Namun, tidak ada konfirmasi atas bebas bersyarat yang sudah selesai mereka urus itu. Malahan dari pihak Rutan menelepon ke pihak keluarga, abang ipar si korban, mengabarkan kalau korban telah meninggal. Tentu dari pihak keluarga tidak terima dan mempersoalkan kematiannya,” kata dia.
Kasus ini kata dia sudah dilaporkan kliennya kepada kepolisian. Intinya mereka tetap merasa ada yang janggal, meskipun keterangan petugas menyatakan kalau si korban ini dua hari sebelum meninggal sudah mengeluh sakit pada bagian hulu hatinya. Bahkan sebelum meninggal, pagi harinya korban juga sempat dirawat di poli klinik sebelum akhirnya pada malam hari ia kembali mengeluh sakit dan dilarikan ke RSUD Embung Fatimah, kemudian meninggal setelah satu jam dirawat di sana.
Radius pun berharap petugas kepolisian bisa menangani kasus ini dengan serius dan menghukum semua pelaku yang terlibat apabila memang terbukti si korban meninggal karena dianiaya. “Kami meminta Kapolda Kepri dan Kapolresta Barelang memperhatikan kejadian-kejadian seperti ini. Tentu prosesnya tidak akan berhenti sampai di sini saja kalau tidak ada tindakan hukum terhadap pelaku dan tanggung jawab dari pihak Rutan. Kita akan koordinasi dengan Kementrian Hukum dan HAM di Jakarta,” kata Radius.
Terpisah, pernyataan ada bekas-bekas penganiayaan pada tubuh korban yang dinyatakan oleh pengacara dibantah oleh Kepala Pengamanan Rutan Kelas II A Batam, Ismail. Dia mengatakan, perihal bekas memar di dada dan punggung korban itu hanyalah bekas kerokan, karena sewaktu korban sakit rekan satu sel-nya mengira si korban sedang mengalami gejala masuk angin.
Sementara soal patah tulang menurut dia, itu karena korban dulunya menurut keluarga pernah jatuh dari sepeda motor yang mengakibatkan tulang lengannya patah. Artinya patah tulang itu adalah luka lama dan lagipula katanya hasil visum di RSUD Embung Fatimah juga tidak ada yang menyatakan kalau si korban ini patah tulang.
“Kami masih menunggu hasil dari autopsi, karena keluarga belum puas dengan keterangan dokter. Dipikirnya ada penganiayaan,” kata Ismail.
Kapolsek Sagulung, AKP Yusriadi Yusuf, mengatakan, pihaknya sudah menerima laporan atas meninggalnya narapidana yang dihukum penjara selama satu tahun enam bulan itu. Pelapornya adalah dari pihak keluarga.
Kasusnya saat ini masih proses pendalaman. Polisi juga tengah menunggu hasil autopsi keluar untuk selanjutnya agar dapat melakukan proses pemeriksaan terhadap para petugas Rutan. “Kalau dari pihak Rumah Sakit Embung Fatimah, berdasarkan hasil visum dari luarnya sudah keluar. Tidak ada tanda-tanda kekerasan,” kata Yusriadi Yusuf.
Namun, pihak keluarga korban tetap ingin dilakukan autopsi, pihaknya pun saat ini telah memfasilitasi hal tersebut. “Kita terima laporan mereka [keluarga korban], setelah itu mengajukan autopsi ke Rumah Sakit Bhayangkara. Tadi sudah swab, tunggu hasilnya keluar, baru kita kerjakan untuk autopsinya,” katanya.