Cinta sepasang kekasih berbeda agama kerap digambarkan dalam kisah yang pedih. Sebab, integrasi agama dalam percintaan adalah hal yang sulit. Restu agama dalam sebuah perkawinan sangat penting. Bunyi pasal pertama Undang-undang Perkawinan tahun 1974 mengisbatkan, “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.
Ketentuan di dalam Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 mengenai syarat sah perkawinan menjadi dinding tanpa pintu bagi para pemohon yang memiliki perbedaan agama. Pindah agama demi mendapatkan status kawin yang sah di mata hukum republik ini menjadi fenomena yang jumlahnya terus meningkat selama tiga tahun terakhir di Kecamatan Batu Ampar, Kota Batam, Kepulauan Riau.
Perbedaan agama dalam keinginan hidup bersama dalam ikatan perkawinan yang diakui secara administratif seolah menemukan jalannya. Jumlah pemohon pindah agama atau konversi agama agar perkawinannya sah secara administrasi sepanjang tahun 2020 di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Batu Ampar meningkat dari tahun-tahun sebelumnya.
“Fenomena ini banyak menuai sikap pro dan kontra masyarakat. Tapi ini adalah realita yang tak terhindari dari sebuah negara yang multi agama dan multietnik seperti Indonesia. Di Batam penduduknya didominasi perantau yang berasal dari aneka suku,” kata Kepala KUA Batu Ampar, Rudiansyah, di kantornya, Kamis, 7 Januari 2020 pada HMS.
Menurut Rudiansyah, alasan mereka yang pindah agama kebanyakan karena untuk bisa melangsungkan perkawinan yang sah. Rata-rata, mereka mengajukan permohonan berpindah agama itu tiga sampai empat bulan sebelum perkawinan. Namun, dibalik daripada itu, tidak ada yang bisa menjamin bahwa mereka berpindah agama karena ketulusannya atau hanya sekedar simbol sikap tunduk pada hukum demi melegalkan hubungannya.
Untuk mencegah itu, pihaknya melakukan langkah-langkah antisipasi seperti melakukan pendekatan berupa bimbingan keagamaan, komunikasi melalui perangkat, dan memberikan bantuan berupa zakat dan sedekah walaupun mualaf penerima bantuan berkecukupan ekonominya seperti yang dilakukan saat momentum hari bakti pada Senin, 5 Januari 2021.
“Kita rangkul mereka supaya paham berpindah agama itu bukan main-main, selama satu tahun atau dua tahun. Nanti kalau mereka sudah dirasa memang tidak main-main berpindah agama, barulah kita lepas,” katanya.
Terkait bantuan yang diberikan pada mualaf, Rudiansyah menjelaskan, bantuan tersebut sifatnya bakti sosial yang berasal dari dana patungan dengan paara staf KUA atau memanfaatkan bantuan dari Baznas. “Saya sering bilang dengan staf. ‘Ayo, kita beramal’ Kebetulan pembagian sembako kemarin itu ketepatan momentumnya hari bakti, dan mereka para mualaf memang masih di bawah bimbingan KUA,” katanya.
Dijelaskannya, secara administrasi, pasangan yang menikah di KUA memang hanya yang beragama Islam. Setelah mengajukan permohan berpindah agama, mereka wajib mengisi surat pernyataan yang ditandatangani di atas materai. Kemudian dilanjutkan pengucapan dua kalimat syahadat yang disaksikan oleh minimal dua orang saksi yang dicatat dalam dokumen. Setelah itu selesai, pengurus akan menerbitkan sertifikat. Data inilah yang nanti akan digunakan dalam pengubahan kolom agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan data adiministrasi kependudukan lainnya.
“Prosesnya sama, hanya bimbingannya saja berbeda, lebih khusus lah. Kita akan ajari mereka mulai dari cara ibadah, ijab kabul, sampai hak dan kewajibannya menjadi suami atau istri. Kesulitannya itu mereka belum biasa mengucapkan kalimat syahadat, tapi meskipun tidak fasih nanti akan terus diulang-ulang,” katanya.
Satu hal yang diperhatikan Rudiansyah dalam praktik berpindah agama untuk perkawinan, yaitu umur perempuan atau laki-laki yang berpindah agama. Dalam aturannya, usia minimal menikah yaitu 19 tahun dan harus menyertakan surat izin orangtua dari kedua belah pihak. Mempelai perempuan wajib ada wali nikahnya, kalau tidak ada, pernikahan tersebut tidak sah. Mereka yang berhak menjadi wali secara berurutan adalah ayah, kakek dari ayah, saudara laki-laki satu ayah dan ibu, saudara laki-laki seayah, anak laki-lakinya saudara laki-laki seayah seibu, anak laki-lakinya saudara laki-laki seayah, paman, dan anak laki-lakinya paman. Apabila keseluruhnya tidak memberi restu, harus membuat pengajuan ke Pengadilan Agama. Dan apabila yang berhak menjadi wali masih ada namun tidak berada di tempat atau di luar daerah, pada proses ijab kabul wali nikah berpindah kepada wali hakim.
“Jadi jangan hanya sebatas ingin menikah dan dinikahi, berpindah agama tapi tidak tahu apa-apa. Pernikahan itu sifatnya bukan menyatukan personal saja, tetapi juga keluarga. Kalau orang mau nikah ini, jangankan keluarga, bila pasangan sahnya mau mati saja dia berani. Tetapi kalau ayahnya di sini, itu tidak bisa wali hakim. Wajib misalnya kalau dia bilang bapaknya sakit, kita [KUA] datang ke rumah sakit, bapaknya masuk penjara kita yang datang ke penjara itu,” kata Rudi.
Lalu bagaimana jika orang yang berpindah agama dikemudian hari kembali pada agama sebelumnya? ” Secara hukum negara itu masih sah. Akan tetapi secara agama, ketika istri atau suami sudah keluar dari islam itu sudah batal. Kalau ingin merangkul dia lagi maka dia harus mengucap syahadat. Tetapi apabila kalau diajak pelan-pelan dia tetap tidak mau, solusi satu-satunya harus bercerai. Jadi yang kita tekankan mengantisipasi permasalahan ini terjadi itu ada pada bimbingan. Kendala itu kan ada pada bimbingan. Apalagi di dunia industri, kerja dari pagi sampai malam. sudah sulit untuk belajar beragama. Makannya, beragamalah dengan ketulusan,” ujarnya.