Saban Sabtu malam, Cholis (18) selalu memeriksa baut-baut yang terpasang pada komponen rem belakang motornya. Hal itu ia lakukan tak hanya semata-mata untuk keselamatan saja, tetapi juga untuk melancarkan aksinya. Aksinya itu memiliki banyak nama. Ada yang menyebutnya seret, jumping, standing, freestyle atau dalam bahasa kerennya dikenal dengan istilah stunt rider, salah satu olahraga dengan sepeda motor yang menampilkan manuver akrobatik saat berkendara.
Pelebaran ruas jalan di beberapa titik di Kota Batam, Kepulauan Riau, membawa berkah tersendiri bagi Cholis, lebih-lebih saat malam hari. Ruas jalan lebar nan sepi itu berubah wujud bak taman bermain baginya. Jalanan pun ia sapu dengan sepatbor belakang motornya. Sementara bagian depan sepenuhnya terangkat seolah memberi salam ban depan di udara.
Cholis berkisah, kesenangannya melakukan itu sudah dilakukannya sejak duduk di bangku sekolah dasar. Ia dan beberapa temannya membuat sebuah grup sepeda yang menampilkan aksi-aksi stunt rider pro.
“Terus pas kelas 2 SMP, mulai coba pakai motor punya orang tua. Karena belajar sendiri kan, jadinya ya gitu, sering jatuh, motor hancur, kena marah pula,” katanya kepada HMS, Minggu, 7 Maret 2021.
Larangan dan makian orang tua tak membuatnya patah arang. Usai ujian kenaikan kelas, Cholis memanfaatkan waktu liburnya selama dua minggu untuk bekerja di Pelabuhan Punggur sebagai kuli angkut barang. Hal itu dilakukannya hanya untuk menabung agar dapat segera membeli motor dan kembali meneruskan hobinya.
“Kata mamakku kalau mau kayak gitu [atraksi motor] pakai motor sendiri, jangan motor orang tuamu yang kau hancurkan,” katanya meniru ucapan ibunya.
Uang terkumpul, ia pun langsung membeli motor bekas yang sesuai dengan selera dan kebutuhannya. Yang tak kalah penting juga, sesuai dengan dana yang ia punya. Maka dapatlah motor bebek pabrikan Jepang meski bekas dan hanya dibekali satu surat tanda kepemilikan kendaraan.
Hari-harinya beratraksi ria pun dimulai. Cholis bebas melakukan aksinya tanpa musti khawatir akan cacian orang tuanya. Meski ibunya selalu berpesan untuk hati-hati dan menanggung risiko apapun yang terjadi saat beraksi, ia sempat lupa bahwa kerasnya aspal jalan sanggup mengoyak daging bahkan tempurung dengkulnya.
“Waktu itu kondisi motor lagi kecepatan penuh. Ban depan udah di atas tapi tetap kupaksa naik makin tinggi. Alhasil motor terbalik, badanku terpental dan dengkul kananku yang pertama menyentuh aspal sebelum akhirnya terguling gak karuan,”
“Badan penuh luka, dengkulku bolong sampai kelihatan tulangnya, dua minggu juga terbaring di kasur,” ujarnya.
Kejadian itu tidak membuatnya jera. Meski jalannya masih pincang, Cholis tetap menyalurkan hobinya. Menurutnya, apa yang ia lakukan adalah untuk kepuasan pribadi dan mencari kesenangan. Bukan untuk mencari eksistensi apalagi atensi perempuan.
“Kecelakaan bukan buat aku takut atau tobat sih, tapi dijadikan pelajaran aja. Sekarang kalau mau standing musti memperhatikan rem belakang dan lebih hati-hati juga. Kuncinya ada di dua itu, rem belakang dan hati-hati,” kata Cholis.
Di balik aksi Cholis menyapu jalanan, sebenarnya ada satu sosok yang juga berperan penting dalam menjaga stabilitas motor saat dihentak dan menjaga roda depan tetap di udara meski mesin terus melaju kencang. Sosok itu sering disebut sebagai bandul dan pemain belakang.
Leon (14), memiliki hobi yang sama seperti Cholis. Namun, nyali dan kemampuan Leon terlalu timpang jika disandingkan dengan Cholis. Selain terpaut usia dan pengalaman, mental Leon telah redam saat ia mencoba beraksi sendiri dan badannya terhempas ke aspal lalu kakinya musti mendapat empat jahitan.
“Jadinya sekarang jadi bandul aja, senangnya dapat juga,” kata Leon.
Keduanya mengaku merasa senang dan bebas saat antraksi. Namun, hal itu diakui tidak pula didukung oleh negara yang justru sering memberangus aksi mereka melalui aparat penegak hukum. Sementara pilihan bergabung dengan komunitas satu frekuensi seringkali membuat keduanya ciut lantaran kemampuan dan alat-alat yang tak mendukung serta timpang jauh.
Apa yang kini sedang dijalani Cholis dan Leon sebenarnya sudah dilalui Sonny (29), salah satu pendiri Batam Stun Ride Association (BSA), atau komunitas freestyle motor di Batam, pada 2008 silam. Bedanya, Sonny lebih dulu gemar menggeber knalpot dan memacu motornya sampai kecepatan maksimal.
Ia mengenang tanggal 3 Januari 2008 silam. Saat itu motornya penuh modifikasi mesin balap dan dikebutnya hingga kecepatan maksimal di Jembatan 2 Barelang. Terlampau asik dengan hal itu, ia lalu sadar 30 meter di depannya berhenti sebuah truk pengangkut ayam. Gas pun diturunkannya, tangan dan kakinya sigap memencet handel dan pedal rem. Namun, upayanya tak membuahkan hasil. Motor tetap melaju dan masuk ke dalam kolong truk. Badannya pun terhempas dan kepalanya menghantam trotoar.
“Kalau dari cerita teman-teman sih, waktu mereka buka helmku yang pecah, hidung, mulut, dan telingaku udah ngeluarin darah semua. Dibawa ke rumah sakit, koma seminggu dan dokter sampai nyerah. Tapi waktu itu keluarga nolak kalau aku dibawa pulang, akhirnya dokter pun setuju lah buat lanjutin perawatanku di rumah sakit,” kenang Sonny.
Memasuki minggu ketiga, keluarganya pun setuju dengan keputusan dokter pada minggu pertama sebelumnya. Sebab saat itu, Sonny tak menunjukkan respon apapun meski segala alat bantu perawatan menempel pada tubuhnya. Tetapi, tiba-tiba matanya terbuka dan hanya bisa menangis selama tiga hari. Setelah itu, pihak keluarga mengubah posisi Sonny yang sebelumnya hanya terbaring menjadi duduk. Saat itulah ia bersuara dan bertanya “Aku di mana?”.
Setahun setelahnya, kehidupan dan kondisi Sonny mulai normal dan membaik. Ia pun tak bisa menapik akan hobinya di dunia otomotif. Namun, ia enggan kembali menggeluti dunia motor dengan suara gahar. Untuk menyalurkan hobinya, ia dan beberapa temannya pun membentuk satu komunitas modifikasi motor.
“Nah puncaknya itu waktu kami datang satu acara otomotif di Duri, Riau. Waktu itu ada satu sesi acara freestyle motor dan yang main adalah pemain stun rider nasional. Ya kami yang nonton bengong dan cuma bisa bilang, keren juga ya? Kok mereka bisa kayak gitu ya?,” kata Sonny.
Selang seminggu setelah acara otomotif, Sonny dan beberapa temannya pun memutuskan untuk belajar tentang stun ride secara autodidak. Dengan bermodal video Youtube yang kala itu masih ala kadar, mereka pun mulai membuka sejarah awal stun ride di Batam.
Perjalanan Sonny dan kawan-kawan tak berjalan begitu mulus. Selain tersendat dana yang notabene masih mengandalkan kondisi dompet masing-masing, permintaan untuk tampil dalam sebuah acara seringkali pembayarannya tak sesuai dengan apa yang sudah mereka keluarkan.
“Kami pernah diminta untuk tampil oleh salah satu dealer motor terbesar di Batam, dari kami ada enam orang atau player yang atraksi di acara itu. Setelah acara selesai, kami cuma dibayar Rp100 ribu untuk bensin enam motor dan nasi bungkus saja. Bangsat betul haha,” katanya.
Namun, seiring berjalannya waktu, Batam Stun Ride Association kian dikenal baik di daerah maupun secara nasional. Sonny dan kawan-kawan pun pelan-pelan mulai aktif mengikuti kompetisi freestyle setiap tahunnya di Surabaya dan sering menyabet juara tingkat nasional.
Tak hanya itu, mereka juga beberapa kali digandeng Satuan Lalulintas Polresta Barelang dalam mengampanyekan safety riding bagi anak-anak sekolah. Baginya, freestyle, stun ride, standing, seret, jumping, atau apapun sebutannya, bisa menjadi hobi atau olahraga yang aman dan menyenangkan. Untuk itu, ia pun tidak menutup diri dan tetap ingin merangkul anak-anak muda seperti Cholis dan Leon untuk bergabung di Batam Stun Ride Association.
“Selain untuk regenerasi, anak-anak muda itu juga musti dibekali pemahaman tentang keamanan dan keselamatan mereka saat beraksi. Karena memang selain bisa membahayakan diri sendiri, orang lain juga bisa terancam kalau anak-anak tadi itu menyalurkan hobinya di jalan umum,” katanya.
Sonny membeberkan, setiap freestyler pun musti punya etika dan pemahaman dalam berkendara apalagi saat beraksi. Memang, ia mengakui sesekali masih beraksi di jalanan. Namun, hal itu diakuinya untuk memancing minat dan ketertarikan freestyler jalanan seperti Cholis dan Leon. Terlebih sejak terbentuk 2008 silam, Batam Stun Ride Association hingga kini belum memiliki penerus mengingat anggotanya yang usianya terus bertambah.
“Selain bisa dijadikan penyaluran hobi, jadi freestyler juga bisa dapat cuan kok. Sekarang kalau misalnya aku disuruh tampil pasti bayarannya sekitar Rp1,5 juta per tiga menit. Tapi ya itu memang bukan tujuan awalnya, intinya kalau mau freestyle harus mematuhi aturan biar aman bagi diri sendiri dan orang lain. Kami pun sangat terbuka bagi siapa saja yang mau bergabung,” kata dia.
Sonny menjelaskan, izin dari orang tua menempati posisi tertinggi piramida jika ada anak sekolah yang ingin bergabung dengan Batam Stun Ride Association. Syarat lainnya adalah memiliki motor sendiri alias tidak menggunakan motor orang lain apalagi curian, dan tidak mengonsumsi alkohol dan narkoba karena dapat memengaruhi konsentrasi atau performa.
“Buat adik-adik yang freestyle di jalanan, lebih sayang lah sama bandan sendiri. Kalau kita main di jalan kita gak tau apa yang terjadi. Aspal itu keras, kalau mau freestyle main di tempat kita aja atau di tempat yang tidak dilewati orang lain. Sama izin orang tua tuh yang enggak kalah penting,” katanya.
Standing, jumping, seret, freestyle, stun ride, atau apapun itu harus diakui telah menjadi kultur bagi sebagian kalangan anak muda di Batam. Ia akan terus hidup sebagai wadah melampiaskan emosi meski dihina dan diberangus dengan alasan mengganggu keamanan dan kenyamanan pengguna jalan lain.