Membawa dua gitar dan satu jimbe, lima pria datang ke lokasi penanaman bibit bakau di Pulau Setokok, Kecamatan Bulang, Kota Batam, Kepulauan Riau. Kedatangan mereka sebenarnya hanya ingin memberikan dukungan moral. Maklum, kelimanya memang aktif dalam gerakan konservasi hutan mangrove. Namun, terselip keinginan dapat tampil di hadapan Presiden RI yang dijadwalkan akan menanam bibit bakau bersama masyarakat di sana.
Sebagaimana kegiatan presiden pada umumnya, berbagai persiapan harus disiapkan sebaik mungkin. Soal keamanan apalagi. Berbagai aparat dari bermacam-macam instansi hilir mudik di sana. Tak ketinggalan Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres) yang matanya tampak awas ke segala penjuru.
Kelima pria tadi tentu saja diadang Paspampres, karena memang tak ada acara musik dalam agenda presiden kali itu.
“Mau ke mana Mas?” tanya seorang Paspampres.
“Kami tim dokumentasi BPDASHL [Sei Jang Duriangkang], Pak,” kata salah seorang dari lima pria tadi.
Tanpa banyak tanya, Paspampres tadi langsung saja mempersilakan kelima pria itu masuk ke lokasi acara.
Sejatinya, kegiatan penanaman bibit bakau itu masuk ke dalam program rehabilitasi hutan mangrove yang belakangan digalakkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Tetapi sebagai pelaksana tugas lapangan, kerja-kerja rehabilitasi pun sepenuhnya diserahkan pada Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (BPDASHL), yang melibatkan masyarakat.
Kelima pria tadi pun sebenarnya bagian dari BPDASHL Sei Jang, Duriangkang. Tidak secara langsung memang. BPDASHL Sei Jang, Duriangkang memercayakan program rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) khususnya hutan mangrove di Pancur Pelabuhan, Sei Beduk, Kota Batam pada kelima pria tadi yang tergabung dalam Akar Bhumi Indonesia, sebuah organisasi lingkungan. Pada 2019 silam mereka bahkan berperan aktif dan menjadi tuan rumah pada kegiatan penanaman bibit bakau oleh Iriana Jokowi di Batam.
Usai melewati Paspampres, salah satu dari lima pria tadi menghampiri Kepala Balai BPDASHL Sei Jang, Duriangkang, Bontor L.Tobing.
“Pak Bontor, sehat?” katanya.
“Eh Mas Hendrik, kapan sampai?” pertanyaan yang berbalas pertanyaan pula.
Setelah berbual sedikit, kelima pria itu melanjutkan perjalanan lalu berpapasan dengan protokol kepresidenan. Hendrik, salah satu dari lima pria tadi kemudian mengutarakan kemungkinan mereka tampil di hadapan presiden. Lelaki yang tampaknya ketua atau kepala dari protokol kepresidenan sempat bingung. Sebab tak ada agenda hiburan musik dari artis manapun dalam kunjungan presiden kali itu. Selain itu, menambahkan satu agenda, menambahkan pula laporannya ke atasannya, plus menambah daftar orang-orang yang akan masuk dalam ring 1 kegiatan presiden.
Pria yang belakangan diketahui bernama Syaiful itu kemudian mengatakan, “Tanya dia saja coba,” sembari menunjuk Bontor yang tiba-tiba ada di tengah obrolan.
Secara umum, BPDASHL Sei Jang, Duriangkang memang bertindak sebagai tuan rumah acara. Sehingga apa-apa yang berkaitan dengan kegiatan saat itu, menjadi tanggung jawab mereka pula.
Setelah diskusi singkat, Tim Akar Bhumi Indonesia dan Cakra Budaya lalu diperbolehkan tampil di hadapan presiden. Syaiful juga menanyakan lagu apa yang akan dibawa Hendrik dkk nanti.
“Judul lagunya Tanam-tanam Pak,” kata Hendrik.
“Oh lagu yang dibawa waktu Bu Iriana ke sini dulu, ya?” tanya Syaiful.
“Bukan Pak, ini lagu baru,”
Keduanya ternyata sempat bertemu saat istri presiden melakukan kegiatan serupa di Batam, meski di lokasi berbeda. Salah satu Paspampres kemudian terlihat mendekati Hendrik dan mencatat jumlah personil yang akan tampil dan alat-alat musik apa saja yang akan dimainkan.
“Nanti, Mas sama yang lain tampil saat mobil Bapak [presiden] keluar ya,” kata Syaiful lagi.
Kelima pria itu tentu saja sontak gembira mendengar kabar itu. Namun, kesenangan mereka dirasa terlalu cepat dirayakan. Sebab, setiap mereka yang terlibat dalam acara itu diwajibkan melakukan test swab atau uji usap. Belum lagi harus menyediakan sound system dan alat pendukung lainnya, yang memang tidak disediakan panitia. Urusan latihan dipikirkan belakangan, toh hampir tiap hari mereka sudah berlatih -setidaknya itu yang mereka yakini.
Setelah melakukan uji usap dan menunggu hasil keluar, Tim Akar Bhumi Indonesia dan Cakra Budaya kemudian kembali ke lokasi untuk gladi resik. Beberapa pejabat terlihat masih hilir mudik di sana. Sampai akhirnya Hendrik dkk bersua dengan Wakapolresta Barelang, AKBP Junoto yang sejurus kemudian menawarkan bantuan dua sound system di dua Polsek: Polsek Lubuk Baja dan Polsek Nongsa. Tawaran yang tentu tidak bisa ditolak tapi perlu disambut dengan riang gembira.
Hot River Side
Hari tampil tiba. Semua perlengkapan sudah diperiksa satu per satu. Seluruh personil dinyatakan fit dan siap tampil di hadapan presiden. Beberapa jam sebelumnya, Hendrik telah dihubungi oleh salah satu Paspampres melalui aplikasi obrolan. Keduanya saling berbalas pesan terkait aksi Tim Akar Bhumi Indonesia dan Cakra Budaya di atas panggung.
“Nama band-nya apa, Mas?” tanya Paspampres.
“HRS Mas,” balas Hendrik.
“Oh oke.” Paspampres itu juga meminta dikirimi lirik lagu yang bakal dibawakan Tim Akar Bhumi Indonesia dan Cakra Budaya. Pesan terkirim dan tak ada balasan lagi.
HRS sendiri sebenarnya bukan nama sebuah band atau kelompok musik. HRS adalah anagram dari hot river side. Menurut Hendrik, HRS bermakna lokasi tempat mereka berkumpul di seberang Sei Panas, nama salah satu daerah di Kota Batam. Pun ketika dianggap sebagai nama band atau kelompok musik, Tim Akar Bhumi Indonesia dan Cakra Budaya merasa tak ada masalah. Sebab di HRS, bermusik, diskusi, dan membaca puisi jadi kegiatan bak sarapan pagi atau kopi sore.
Selasa, 28 September 2021 pagi. Jam menunjukkan sekira pukul 12.15 WIB, Tim Akar Bhumi Indonesia dan Cakra Budaya tiba di lokasi. Dengan pakaian serba hitam dan ikat kepala, kehadiran mereka otomatis mencuri atensi. Sambil menenteng dua gitar, dua sound system portable, dan satu jimbe, mereka tiba di atas ‘panggung’. Di sana, telah menunggu seorang pria yang tampaknya bertugas sebagai juru listrik sekaligus sound system.
“Tim Akar Bhumi Indonesia sudah sampai,” katanya entah pada siapa sembari menekan telinga kirinya yang di sana menempel semacam kabel melilit.
Pria itu kemudian menyapa Tim Akar Bhumi Indonesia dan Cakra Budaya. “Oh bawa sound sytem, ya Mas? Di sini sudah disediakan plus mic-nya juga kok,” katanya lagi.
Hendrik dkk sebenarnya ingin segera check sound, tetapi langit kian kelabu seiring jarum jam berdetak. Setengah jam kemudian riak ombak yang semula tenang perlahan mulai berdebur. Angin membuatnya ikut bergerak kencang, gerimis kemudian turun dan lama-kelamaan bulir air kian besar.
Semua orang yang sedari tadi tampak sibuk dengan perisapan masing-masing kemudian kompak berteduh. Hanya ada sedikit bangunan beratap di sana, bahkan kurang dari jumlah jari di tangan kanan. Sehingga tiap orang harus berhimpitan dan saling adu bahu untuk menghindar dari tempias hujan.
Hujan sebenarnya sempat reda, tetapi kembali deras tak lama berselang. Namun, jam tak pula melambat hingga sayup-sayup terdengar suara dari walkie talkie punya entah siapa di kerumunan orang yang berteduh “Presiden sudah sampai di bandara,”.
Kerumunan kemudian mengurai dengan sendirinya, masing-masing tentu punya peran dan tanggung jawab. Tak terkecuali Hendrik dan HRS Band. Meski gerimis alat-alat musik yang sebelumnya diamankan di bawah terpal yang dipasang untuk menutupi genset milik bright PLN Batam langsung dibawa ke atas ‘panggung’. Sebenarnya sedikit berlebihan jika disebut panggung. Lokasi HRS Band tampil hanya berupa gundukan semen melingkar setinggi sekitar 50 centimeter. Posisinya memang stategis. Sejauh presiden datang dan keluar lokasi, panggung itu pasti dilewati dan tak mungkin terabaikan indra penglihatan.
Sirene polisi kemudian meraung dari kejauhan, tanda presiden kian dekat. Semua orang bersiap di posisinya masing-masing. Di pinggiran pantai, puluhan bahkan ratusan warga sekitar terlihat sibuk menanam bibit bakau. Paspampres dan petugas keamanan lainnya tampak awas sambil lirik kanan-kiri.
Sekitar 100 meter dari lokasi penanaman bibit bakau, mobil presiden berhenti. Joko Widodo beserta rombongan lantas turun ke pinggir pantai. Mengenakan jaket merah, presiden sempat melambai tangan ke beberapa warga yang sedang menanam bibit bakau. Setelah ikut menanam bersama warga dan menyempatkan diri melakukan konferensi pers, presiden kemudian berkeliling sekitar lokasi. Saat itulah, presiden melewati Tim Akar Bhumi Indonesia dan Cakra Budaya yang bermain di atas panggung.
Di antara rombongan yang mendampingi presiden, hanya Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya Bahar yang menegur salah satu personil HRS Band. Dengan salam tinju mengepal, Sony Riyanto yang saat itu berperan sebagai pemain jimbe diajak tos. Sejak awal, HRS Band memang direncanakan hanya membawa satu buah lagu. Itu pun pada bagian reff-nya saja. Dengan tujuan menghemat waktu dan iringan lagu tetap bisa didengar presiden di tengah waktunya yang amat singkat di sana.
Meski singkat ada sedikit kebanggaan bisa tampil di hadapan para pejabat negara. Tanpa sengaja pula. Menurut Hendrik, paling tidak aksi mereka dapat dilihat dan lagu yang mereka bawa didengar oleh mereka sang penguasa dan pemutus kebijakan.
“Harapannya tentu lagu ini bisa membawa perubahan, bagi dan oleh masyarakat itu sendiri,” katanya.
Makna Lagu Tanam-tanam
Ramai-ramai sendiri
Menanam di rawa, di pasir pesisir
Tumbuhlah tumbuh
Meninggilah
Seperti harapan kami
Tanam sedalam ketulusan
Lestari mangrove-ku
Hijau hijau pantaiku
Satwa bersukaria
Tersenyumlah nelayan
Selamat lah masa depan
Menurut Hendrik, lagu itu dibuat sekitar dua tahun lalu. Proses pembuatannya beriringan dengan isu lingkungan yang mencakup kerusakan hutan mangrove, nasib nelayan, dan kehidupan di pesisir pantai. Kondisi yang acap mudah terlihat di Kepulauan Riau.
“Akar Bhumi Indonesia tidak hanya bergerak pada rehabilitasi, edukasi, dan advokasi saja. Tetapi ikut mengambil peran dalam kampanye isu lingkungan yang dikemas dengan beragam kesenian dan produk. Lagu Tanam-tanam salah satunya,” kata Hendrik.
Dia menjelaskan, lagu tanam-tanam memiliki pesan bukan hanya untuk menjaga lingkungan tetapi juga berkisah tentang nelayan yang sering diceritakan hidupnya sejahtera. Namun, kenyataanya nelayan ibarat hidup di lumbung padi tetapi tak jarang hidup dalam garis kemiskinan.
Menurutnya, sebuah ekosistem berkaitan erat dengan kebudayaan masyarakat. Bumi melayu adalah bumi kelautan. Laut tak hanya dianggap sebagai halaman belakang, tetapi berkaitan erat dengan sendi kehidupan.
“Maka jika hutan mangrove lestari, pantai memantulkan rona hijau, satwa laut akan bersukaria, dan nelayan pun akan tersenyum saat mengayuh sampan. Maka selamat lah masa depan,” katanya.
Pemilihan kata dan nada pada lagu itu, kata Hendrik, sengaja menggunakan kosa kata yang dekat dengan masyarakat. Sehingga siapapun yang mendengarnya dapat langsung memahami makna dari lirik lagu Tanam-tanam.
Hendrik berkisah, pada awal mengutarakan keinginan untuk tampil dalam acara kunjungan presiden pada protokol kepresidenan, dia sempat menyanyikan beberapa bait dalam lagu Tanam-tanam.
“Meski hanya sesaat, protokol kepresidenan langsung hapal nada lagu kami. Artinya memang lagu ini berhasil menyampaikan kampanye isu lingkungan. Ya mudah-mudahan lagu ini tidak hanya enak didengar, tetapi turut membawa pesan ke semua orang dan kepedulian terhadap lingkungan semakin meningkat,” kata dia.