Di seberang depan gerbang Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 3 Kota Batam, Kepulauan Riau, ada selokan besar. Di atasnya ada belasan calon orang tua siswa, yang sudah tiga pekan ini menunggu dari pagi ke sore berharap kemurahan hati. Pikiran mereka tak tenang, karena tidak tahu mau kemana anak-anak mereka akan melanjutkan pendidikan.
Imron (40), warga Bukit Raya yang ikut dalam rombongan itu, bercerita, setiap hari ia ikut berjubel di sana. Pekerjaannya sebagai tukang bangunan ia tinggalkan. Demi anak, dia rela berpanas-panas ataupun kehujanan bersama calon orang tua siswa lain. Biasanya, dia datang mulai dari pukul delapan pagi hingga pukul empat sore. “Kalau tidak datang, nanti ketinggalan informasi [penerimaan murid],” katanya kepada HMS, Kamis siang, 22 Juli 2021.
Jumlah calon orang tua siswa yang hari-hari menunggu di sana sebetulnya ada 51 orang. Akan tetapi siang itu, banyak dari mereka yang memilih pulang kala matahari sudah berada di atas kepala. Mereka semua bernasib sama, menjadi korban keterbatasan ruang kelas dan penentuan zonasi yang tak sepenuhnya mencerminkan kedekatan lokasi rumah siswa dengan sekolah.
Pada kasus Imron, misalnya, jarak rumahnya dengan salah satu sekolah favorit di Batam itu hanya bekisar 4 kilometer. Menjadi lebih dekat kalau memotong jalan dengan jarak tempuh sekitar 3 kilometer. Akan tetapi, kesempatan anaknya bersekolah di sana pupus, karena alamat rumahnya yang tercantum di Kartu Keluarga (KK) tak memenuhi syarat daftar sekolah.
Selama tiga tahun pindah rumah ke Bukit Raya, Imron belum mengurus KK baru. Alamat lama-nya masih tercantum tinggal di Legenda Malaka. Untuk membuktikan kepada pihak sekolah ia memang warga Bukit Raya, ia sudah mencoba melampirkan surat keterangan RT/RW, bahkan sepanjang bulan ini Ketua RT-nya sudah tiga kali mendatangi sekolah itu.
“Anak saya diarahkan mendaftar di sekolah dekat Legenda. Saya cobalah mendaftar di SMA Negeri 20, pihak sekolah menolak dan mengarahkan untuk mendaftar di sini [SMA Negeri 3], karena katanya dekat rumah mengikuti sistem zonasi. Tetapi, di sini malah ditolak,” kata Imron.
Menurut dia, pihak SMA Negeri 3 merekomendasikan untuk mendaftar di SMA Negeri 15. Sekilas katanya memeang terlihat seperti solusi, tetapi ia rasa kurang tepat, karena jarak rumahnya ke sekolah itu bekisar hampir 12 meter.
“Saya tidak bisa antar-jemput. Risiko sekolah jauh itu banyak, anggaplah saya sewakan motor, sempat kalau ada jatuhnya, tabrakan, bagaimana? Ini anak di bawah umur, orang tua yang dipenjara kalau ada apa-apa. Itu risikonya, Pak, yang kita jaga,” katanya.
Imron mengatakan, kenapa memilih anaknya masuk ke SMA Negeri 3 itu bukan karena sekolah itu masuk kategori favorit, tetapi murni karena jarak. Kini, harapan anaknya bersekolah di sana hampir pupus. Terutama setalah beredar kabar SMA Negeri 3 diam-diam membuka PPDB gelombang kedua, dan bagi mereka yang masuk dikenai biaya jutaan rupiah.
“Kalau kayak saya, kuli bangunan ini, kalau diminta satu juta aja, kita ngorek-ngorek pasir bisalah itu. Tetapi kalau diminta lima juta sampai sepuluh juta nggak mampu saya,” kata dia.
Kabar itu membuat kesabaran mereka kini sampai pada puncaknya. Awalnya kata Imron, mereka takpernah protes meski setiap hari datang, pintu gerbang sekolah tak kunjung rentang. Akan tetapi, belakangan ini banyak orang tua yang mulai geram, setelah mendapat kabar adanya Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahap 2 di sekolah itu yang dianggap sangat mencurigakan.
“Tiba-tiba ada penambahan 81 siswa baru tahap 2. Padahal kita di sini sudah tiga minggu, tahu-tahu sudah ada Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah [MPLS] tahap 2. Kami tidak pernah diberi informasi, baru ketahuan dari anak-anak kami itu yang saling chattingan. Kan, berarti ada sesuatu, kenapa kita tidak masuk atau diberi kabar. Kalau saya mungkin tidak masuk, karena saya kuli bangunan, tidak ada uangnya,” kata Imron.
Sama dengan Imron, Suherman (50), juga turut geram atas sistem zonasi yang tidak dapat mengakomodasi keluhan orang tua siswa ini. Terlebih setelah adanya penerimaan murid baru tahap 2 yang dianggap mencurigakan tersebut. Menurut dia, ada jalur “khusus” yang diberikan pihak sekolah terhadap 81 siswa yang masuk pada gelombang kedua itu.
Pria yang berprofesi sebagai advokat dan ditunjuk oleh para calon orang tua siswa lain sebagai perwakilan ini, mengatakan, berdasarkan informasi yang dia kumpulkan dari para orang tua siswa yang sudah diterima masuk, ada beberapa orang tua yang mengaku dihubungi oleh pihak sekolah, dan dimintai sejumlah uang agar anaknya bisa lolos masuk pada penerimaan gelombang kedua. Mereka yang dihubungi itu menurut dia, rata-rata adalah kalangan mampu yang tidak lolos seleksi pada tahap pertama.
“Jadi 81 orang tua siswa yang diterima pada gelombang kedua itu, sebagian masuk dalam grup kami. Ceritanya, kami buat grup WhatsApp, dan mendata siapa saja yang berada di zonasi, tetapi tidak diterima. Jumlahnya itu kemarin ada 114 orang yang saya kirim ke Disdik [Dinas Pendidikan] Provinsi Kepri. Nah, sebagian dari jumlah itu rupanya tiba-tiba sudah ada yang masuk,” kata Suherman.
Berdasarkan data dari jalur dan kuota PPDB SMA Negeri 3 kata dia, dari awal sekolah hanya menampung total 288 siswa. Dengan rincian jalur penerimaan zonasi sebanyak 65 persen, afirmasi 15 persen, perpindahan tugas orang tua siswa 5 persen, dan prestasi akademik dan non akademik sebanyak 15 persen. Pendaftaran dibuka pada 28 Juni sampai 2 Juli 2021.
Diterimanya 81 siswa baru pada gelombang kedua itu lantas menimbulkan pertanyaan bagi mereka. Selain karena tanpa pemberitahuan, itu karena ada sejumlah orang tua yang katanya mengaku dikenakan biaya mulai dari Rp5 juta sampai Rp25 juta.
Ia juga memperlihatkan beberapa bukti tangkapan layar pesan singkat dari calon orang tua yang mengaku dimintai uang. Dalam pesan singkat itu tertulis orang tua anak berinisial A, membayar Rp5 juta untuk masuk bersekolah di sana.
“Dimintain uang Rp5 juta, tadi pagi ada yang kesini marah-marah ngakunya dimintain Rp10 juta. Tanyalah yang lain, tapi orangnya udah pulang karena dia emosi. Mereka yang 81 orang itu ditelponin [pihak sekolah]. Kalau memang 288 dari awal, kenapa tambah 81? Jadi janganlah dipaksakan yang masuk SMA Negeri harus bayar bla-bla. Pengumuman penerimaan gelombang kedua itu tidak ada, sementara dari awal kita sudah menunggu di sini,” katanya.
Pada 21 Juli 2021, mereka katanya sudah bertemu dengan Kepala Sekolah SMA Negeri 3, Vivi Kusuma Efendi. Mereka sudah menanyakan alasan kenapa tidak ada pengumuman penerimaan gelombang kedua, padahal mereka sejak awal menunggu informasi di sana. Hal lainnya yang ditanyakan, termasuk soal adanya pungutan. Pihak sekolah katanya, membantah adanya penerimaan murid baru dan tuduhan tersebut.
“Alasan mereka tidak bisa terima lagi itu karena jumlah kelas hanya ada delapan. Terus saya bilang, ‘Ini ada zoom MPLS [tahap 2].’ Dia jawab, ‘Nggak ada itu [penerimaan gelombang kedua], Pak. Demi Tuhan, kami tidak ada dapat duit.’ Kalau kami dapat datanya bagaimana? Saya dapat info semua, titipan si A, titipan B,” katanya.
Suherman sendiri berlamat di Batara Raya, jarak rumahnya ke SMA Negeri 3 hanya bekisar 2,5 kilomter saja. Rekomendasi yang anaknya dapat juga masuk ke SMA Negeri 15, yang jaraknya berbanding empat kali lipat jauhnya.
Ia berharap, pemerintah dapat mendengar keluhan mereka terhadap implementasi sistem zonasi yang awalnya bertujuan untuk pemerataan kualitas pendidikan ini. Dia juga mengaku sudah melaporkan keluhan semua calon orang tua siswa yang ditolak masuk kepada Wali Kota dan Wakil Wali Kota Batam. Ia menunggu ada kabar baik dari keluhannya ini.
Pada 23 Juli 2021, HMS mendapat nomor telepon orang tua anak berinisial A, yang katanya membayar Rp5 juta tersebut. Mulanya saat dihubungi, perempuan di seberang mengangkat dan meminta HMS menunggu sebentar. Hanya saja, beberapa menit kemudian nomor telepon tersebut tidak dapat dihubungi.
Sementara Kepala Sekolah SMA Negeri 3, Vivi Kusuma Efendi belum merespon konfirmasi HMS melalui sambungan telepon maupun pesan singkat sejak 22 Juli 2021. Jawaban konfirmasi akan diterbitkan dalam pemberitaan selanjutnya.