Seorang pria di Kota Batam, Kepulauan Riau, berinisial M (40) diberitakan gantung diri, Sabtu, 22 Mei 2021. Sebelumnya, MF (31) juga ditemukan tidak bernyawa dengan cara yang sama di waktu dan tempat yang berbeda. Kasus bunuh diri sebenarnya bukan hal baru di masyarakat, tetapi cerita dan motif di baliknya seringkali jarang terungkap.
Psikolog Klinis Anak Rumah Sakit Awal Bros, Maryana, mengatakan pemicu seseorang melakukan bunuh diri datang dari berbagai faktor. Tetapi menurutnya, faktor risiko yang paling sering muncul adalah depresi. Sehingga orang dengan gangguan depresi memiliki kecendrungan lebih tinggi untuk melakukan bunuh diri.
“Biasanya orang-orang memutuskan untuk bunuh diri karena merasa kehilangan harapan dan tidak memiliki kemampuan untuk menghadapi serta menyelesaikan masalah yang dia hadapi,” katanya kepada HMS saat dihubungi, Selasa, 1 Juni 2021.
Maryana menyebutkan, umumnya orang-orang yang memiliki tendesi untuk bunuh diri memiliki ciri-ciri, sering atau pernah berbicara tentang bunuh diri dan kematian, menunjukkan perubahan perilaku yang drastis, menjauh dari teman dan lingkungan sosial, kehilangan minat untuk sekolah, bekerja atau melakukan hobi, mempersiapkan kematian dengan memberikan pesan-pesan terakhir kepada orang terdekat, memberikan barang-barang kesayangannya kepada orang lain, dan pernah melakukan tindakan bunuh diri sebelumnya.
“Untuk itu penting untuk memperhatikan perubahan orang-orang terdekat kita. Jika terlihat ada perubahan seperti di atas, maka sebaiknya ditemani, diajak berbicara, sering menanyakan kabarnya, menawarkan bantuan, dan menyarankan untuk konsultasi ke psikolog,” kata dia.
Menurut Maryana, persoalan kesehatan mental belum terlalu dipahami di masyarakat saat ini. Karena, kata dia, masyarakat saat ini cenderung menganggap bunuh diri sebagai tindakan berdosa, tidak patut, dll. Padahal menurutnya, tekanan yang dirasakan oleh orang-orang depresi atau bahkan yang sampai melakukan bunuh diri seringkali tidak diperhatikan.
“Bagi orang-orang yang memiliki gejala depresi, bisa langsung memanfaatkan Layanan Sehat Jiwa (Sejiwa) dengan menghubungi 199 ext 8 yang bisa diakses secara gratis melalui nomor telepon dari seluruh operator,” katanya.
Dalam ilmu psikologi, depresi atau kesehatan mental dikategorikan dengan bermacam-macam nama sesuai dengan hasil diagnosa yang dilakukan terhadap seseorang atau pasien. Meski begitu, masyarakat Indonesia masih belum terlalu terbuka melihat serta membicarakan persoalan ini. Pada akhirnya, isu kesehatan mental masih dianggap tabu dan penanganannya masih sebatas dengan membawa persoalan ini ke ahli agama, dukun, atau paranormal, dan tidak sedikit orang-orang dengan masalah kesehatan mental sampai dipasung.
Yopie P. Gultom (25), berkisah pada usia enam tahun dirinya terbiasa melihat makhluk-makhluk yang tidak kasat mata. Pengalamannya ini awalnya tidak sepenuhnya mengganggunya. Namun, lama-kelamaan, makhluk-makhluk itu justru menurutnya mulai berbisik tidak karuan. Hal itu kemudian yang membuat Yopie mengadukan masalah yang dia hadapi ke kedua orang tuanya.
“Tapi orang tuaku justru menganggap tabu kalau masalah ini dibawa ke psikolog, makanya dibawa ke dukun dan paranormal. Hasilnya ya tentu aja makin memperparah,” katanya kepada HMS.
Meski begitu, Yopie menanggapinya dengan wajar. Sebab dengan latar belakang keluarga dengan pendidikan yang biasa, pengetahuan terkait isu kesehatan mental dirasanya sebagai sesuatu yang baru bahkan asing. Pria kelahiran Tembilahan, 10 Oktober 1995 ini kemudian merantau ke Kota Batam medio tahun 2000. Saat itulah kemudian dia pelan-pelan mengetahui bagaimana cara untuk mencari pertolongan dengan gangguan yang dirinya alami dan rasakan sejak kecil.
“Paling tidak aku pernah dua kali kepikiran buat bunuh diri. Tapi suara-suara di dalam kepalaku yang sejak dulu terus bising itu sering mempertanyakan tanggung jawabku ke keluarga andai kata aku nekat bunuh diri. Di situ baru kemudian aku sadar dan hilang keinginan mengakhiri hidup,” katanya.
Selain itu, kata dia, dirinya juga sering mengalami halusinasi, delusi, kekacauan berpikir, dan perubahan perilaku. Untuk meredam gangguan itu, hal yang sering dia lakukan kemudian adalah melukis, mendengar lagu, serta mengonsumsi obat yang dianjurkan dokter.
“Sekitar sepuluh tahun lalu, aku didiagnosa Schizophrenia paranoid delusion oleh psikolog. Memang sejauh ini kebanyakan orang-orang belum terlalu serius melihat isu kesehatan mental. Padahal dampaknya [kalau tidak ditangani] bisa ke mana-mana, bunuh diri salah satunya mungkin yang paling parah, selain hubungan sosial yang sering kali berantakan kalau gangguan itu kumat,” kata Yopie.
Kasus Bunuh Diri dan Peran Media
M (40) pria di Kota Batam, Kepulauan Riau, diberitakan meninggal di tempat kerjanya, Sabtu, 22 Mei 2021. Usai berita tentang kematiannya diberitakan di banyak media, berita lanjutan tentang kejadian itu kemudian berlanjut menjadi isi dari suat wasiat yang ditinggalkan oleh korban. Lalu apa yang kemudian menjadi masalah?
Menurut Into The Light, sebuah komunitas yang fokus pada isu bunuh diri, lebih dari 50 studi di seluruh dunia telah membuktikan bahwa pemberitaan bunuh diri dengan gaya tertentu dapat meningkatkan pemikiran bunuh diri dari individu yang berisiko. Tingkat kenaikan sering kali terkait dengan jumlah, durasi, atau seberapa heboh pemberitaannya.
Risiko bunuh diri lainnya juga meningkat saat berita tersebut menerangkan secara eksplisit metode atau cara bunuh diri, gambar atau judul berita yang terlalu didramatisasi atau sensasional, dan pemberitaan berulang kali yang melebih-lebihkan atau memberikan stigma kepada orang yang meninggal maupun orang lain yang ditinggalkan.
Memberitakan bunuh diri dengan bijak, sekalipun hanya sesaat, dapat mengubah persepsi publik yang selama ini salah, dan dapat mendorong mereka yang berisiko atau ingin bunuh diri agar mencari bantuan. Meski menuliskan isi surat wasiat tidak dicantumkan dalam Pedoman Pemberitaan Terkait Tindak dan Upaya Bunuh Diri oleh Dewan Pers, tetapi hal itu justru dianggap tidak perlu ditulis oleh media. Terlebih isi surat sepenuhnya berisikan tentang pesan pribadi yang diutarakan khusus untuk keluarga yang ditinggalkan korban.
Muhammad Irham, anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, yang merupakan anggota tim pembuatan draf Panduan Pemberitaan Bunuh Diri bersama Dewan Pers 2019 lalu, mengatakan, meski tidak disebutkan secara jelas, tetapi menuliskan tentang isi surat wasiat korban bunuh diri dianggap tidak perlu.
Menurutnya, segala hal yang dapat mengidentifikasi identitas korban sebisa mungkin tidak ditulis di dalam pemberitaan kasus bunuh diri. Terlebih penulisan terkait surat wasiat yang dikhawatirkan akan berdampak traumatis bagi keluarga korban yang ditinggalkan.
“Karena memang umumnya surat wasiat korban bunuh diri itu ditujukan bagi orang-orang terdekatnya. Kalau memang semisal isi suratnya mengatakan korban melakukan bunuh diri karena ada satu kasus besar dan itu menyangkut kepentingan masyarakat luas, ya tidak masalah,” katanya kepada HMS melalui sambungan telepon, Selasa, 1 Juni 2021.
Selain memberikan trauma bagi keluarga, kata dia, pemberitaan terkait isi surat wasiat korban bunuh diri juga dikhawatirkan menimbulkan dorongan bagi orang-orang yang memiliki tendensi untuk bunuh diri juga.
Meski begitu, Irham menegaskan bahwa Panduan Pemberitaan Bunuh Diri Dewan Pers merupakan regulasi dan etik baru bagi jurnalis, serta belum lama menjadi perhatian publik. Sehingga menurutnya, masih banyak jurnalis yang menerobos aturan itu lantaran ketidaktahuannya. Sehingga regulasi dan etik itu harus terus didorong agar jurnalis semakin paham batas-batas yang tidak boleh dilanggar saat meliput kasus bunuh diri.
“Media juga harus membuat format pemberitaan terkait kasus bunuh diri agar masyarakat semakin percaya terhadap kerja-kerja jurnalis, serta makin paham bahwa kasus bunuh diri tidak terjadi karena faktor tunggal,” kata Irham.
Merujuk Into The Light, pemberitaan seputar bunuh diri, sebaiknya mengikuti pedoman berikut;
Judul yang Wajar
Berikan judul atau tajuk berita yang sewajarnya. Hindari judul yang sensasional, clickbait, atau bernada meremehkan.
Contoh Headline yang Baik:
“IJ Meninggal pada Umur 47 Tahun”
“(Nama selebritis), Penyanyi Grup Band Asal (Negara) Meninggal Dunia”
“Kematian (Nama orang) Menyadarkan Masyarakat Pentingnya Menghentikan Stigma Seputar (Isu)”
Contoh headline yang Tidak Baik:
“Miris! Akibat Tidak Lulus Ujian Nasional, Siswa (Nama sekolah) Meregang Nyawa”
“Manajer Artis Gantung Diri, Tetangga Korban Akhirnya Angkat Bicara”
“(Nama orang) Tewas Bunuh Diri, Benarkah Karena Terlilit Hutang 20 M?”
Hargai Privasi Orang Lain
Nama dan alamat tempat tinggal, atau informasi lainnya yang berpotensi melanggar privasi orang yang meninggal karena bunuh diri, ataupun keluarga dan kerabatnya, tidak perlu diberikan.
Gunakan Gambar atau Video yang Netral
Gunakan potongan gambar, atau video yang netral dan tidak berpotensi mengganggu kenyamanan pembaca. Jika orang yang meninggal adalah figur publik, maka dapat menggunakan foto saat ia sedang berkarya, bekerja, atau hadir dalam acara publik.
Hindari Mengekspos Tulisan, Foto, Suara, atau Video yang:
Menunjukkan secara eksplisit lokasi kejadian bunuh diri atau jenazah korban yang meninggal.
Menunjukkan cara/metode kematian bunuh diri.
Mempertontonkan keluarga dan/atau kerabat yang berduka, menangis, dan sebagainya.
Menyiarkan suasana saat persemayaman atau pemakaman dari orang yang meninggal.
Bentuk cara/metode bunuh diri tidak boleh diinformasikan apapun mediumnya, termasuk melalui tulisan, gambar, dan/atau video.
Menunjukkan cara/metode bunuh diri yang eksplisit dapat menimbulkan beberapa dampak yang tidak diinginkan, seperti munculnya bunuh diri tiruan (copycat suicide). Hal ini pernah terjadi di Indonesia, di mana setelah muncul berita nasional di mana seseorang bunuh diri dengan menyebut metode tertentu, setelah beberapa hari kemudian diketahui terjadi bunuh diri lain yang dilakukan dengan metode atau tipe lokasi yang sama.
Tidak Menyiarkan Orang yang Sedang atau Berniat Melakukan Aksi Bunuh Diri
Dilarang untuk menyiarkan secara langsung (maupun tidak langsung) terhadap orang yang sedang atau berniat melakukan aksi bunuh diri, karena cara/metode tersebut dapat memicu orang lain yang sedang memiliki keinginan bunuh diri.
Gambarkan Adanya Harapan dan Pemulihan
Selalu berikan kisah penuh harapan dan pemulihan dari kondisi hendak bunuh diri di bagian akhir produk berita. Informasikan bagaimana mengatasi pemikiran bunuh diri dan meningkatkan kemampuan mengatasi stres, serta informasi mengenai pihak yang dapat dihubungi jika memiliki pemikiran bunuh diri.
Pemilihan Kata-kata dan Kemasan Berita (framing) yang Tepat
Gunakan pilihan kata yang wajar, tidak dilebih-lebihkan, dan tidak memperburuk stigma terhadap bunuh diri. Stigmatisasi menyebabkan orang yang memiliki bunuh diri enggan atau takut untuk mencari pertolongan, terutama kepada profesional.
Hindari Penggunaan Kata-kata atau Kemasan Berita Berikut Ini:
Menyebut seseorang bunuh diri karena satu sebab saja, seperti putus cinta atau faktor ekonomi. Melaporkan dengan cara seperti ini meninggalkan kesan bunuh diri disebabkan oleh hal sepele dan seringkali dipahami salah oleh masyarakat. Sebaiknya informasikan bahwa bunuh diri disebabkan oleh faktor-faktor biologis, psikologis, dan sosial yang berinteraksi dengan kompleks dan dinamis di dalam diri setiap orang.
Menyebut bunuh diri yang terus bermunculan sebagai “mewabah“, “meroket tajam“, dan istilah lainnya yang sensasional. Sebaiknya gunakan istilah “kenaikan” atau “meningkatnya” angka bunuh diri.
Menyebut bunuh diri seolah-olah terjadi “tanpa penjelasan” atau “tanpa peringatan sama sekali”. Ini adalah mitos; kebanyakan orang yang meninggal karena bunuh diri menunjukkan tanda-tanda peringatan bunuh diri.
Mendramatisasi pemberitaan, seperti menyebut orang yang bunuh diri telah “putus asa”, “tragis“, “miris“, atau “selalu menderita“.
Membenarkan atau memberikan kesan bunuh diri dapat dibenarkan (glorifikasi dan romantisasi).
Menyebut seseorang telah “berhasil” atau “gagal” bunuh diri. Gunakan istilah “meninggal karena bunuh diri“, “penyintas bunuh diri“, atau “mencoba bunuh diri“.
Mengemas bunuh diri sebagai berita kriminal, misalnya dengan istilah
TKP, korban, pelaku, dan sebagainya. Bunuh diri bukan merupakan tindak kejahatan pidana dan harus digambarkan sebagai masalah kesehatan mental masyarakat.
Lakukan Wawancara dengan Hati-hati
Sebaiknya, wawancarai ahli atau profesional yang secara spesifik memiliki pengetahuan atau pengalaman khusus dalam kajian bunuh diri atau suicidologi. Namun, berhati-hatilah: seseorang yang bergelar profesional tidak selalu menjamin pengetahuan tentang bunuh dirinya selalu komprehensif atau tidak bias.
Hindari mengutip profesional yang membuat asumsi atau opini yang sensasional, terlebih tanpa melakukan analisis atau observasi sebelumnya. Hindari pula memberitakan komentar dari orang yang tidak relevan, seperti selebritis atau orang yang tidak dikenal.
Mewawancarai Saksi, Keluarga, Tetangga, atau Orang Terdekat
Mereka yang baru saja mengalami kehilangan, dapat merasakan duka yang mendalam atau bahkan trauma. Tanyakan terlebih dahulu apakah keluarga/kerabat yang ditinggalkan bersedia untuk memberikan keterangan, dan hormati privasi mereka. Jika bersedia, kamu dapat memberikan dukungan moral di tengah suasana berduka.
Perlakukan mereka dengan penuh empati, dan berhati-hatilah agar sebisa mungkin tidak mengeluarkan pertanyaan yang sensitif, menyinggung perasaan, dan/atau dapat mengingatkan kembali trauma atau ingatan mereka.
Mewawancarai Polisi
Sesuai standar operasi, polisi akan melakukan pemeriksaan untuk nantinya menyimpulkan apakah orang yang meninggal melakukan bunuh diri atau tidak. Hindari berspekulasi bahwa seseorang bunuh diri, sebelum polisi menyimpulkan demikian.
Dalam memberikan keterangan kepada publik, polisi mungkin memberikan informasi yang mendetail, termasuk kronologi peristiwa terakhir, lokasi, dan metode/cara bunuh diri. Sebaiknya, saring informasi agar tidak mengganggu privasi atau melanggar pedoman pemberitaan yang ada.
Tidak Mengunggah Isi Surat Bunuh Diri
Terkadang seseorang akan meninggalkan surat atau pesan terakhir sebelum bunuh diri. Kamu boleh melaporkan bahwa orang tersebut meninggalkan surat bunuh diri atau pesan terakhir, namun jangan merinci apa isi dari pesan atau surat tersebut.
Tidak Mengaitkan Bunuh Diri dengan Hal-hal Mistis
Bunuh diri tidak disebabkan oleh hal-hal gaib, takhayul, atau mistis. Oleh karena itu, jangan mengaitkan bunuh diri dengan hal-hal berbau mistis, termasuk tidak mengaitkan lokasi bunuh diri sebagai misalnya tempat yang angker.
Kontak bantuan
Bunuh diri seringkali muncul karena tekanan-tekanan (stresor) yang datang melebihi batas kemampuan. Kamu mungkin saat ini merasa depresi, lelah, dan putus asa yang luar biasa. Betapa buruknya situasi kamu saat ini, tapi jangan menyerah, kamu tidak sendirian. Selalu ada bantuan dan pertolongan untukmu. Layanan konseling bisa menjadi pilihan kamu untuk meringankan keresahan.
Untuk mendapatkan layanan kesehatan jiwa ada beberapa alternatif yang bisa kamu pilih. Pemerintah juga sudah menyediakan layanan konseling bagi kamu melalui layanan Sejiwa yang kini sudah bisa diakses seluruh masyarakat dengan menghubungi hotline 119 ext 8. Kamu juga bisa mendapatkan layanan konseling dari website Into the Light Indonesia: https://www.intothelightid.org/