Pembangunan gedung SMKN 9 Batam di Tanjung Piayu, Batam, Kepulauan Riau dihentikan sementara. Hal itu lantaran izin lokasi pembangunan yang belum lengkap, serta mendapat penolakan dari aktivis lingkungan dan warga sekitar.
Penolakan itu pun bukan tak berdasar, rencana pembangunan sekolah itu bakal berdiri di lahan seluas 1,6 hektare yang menurut lembaga swadaya masyarakat Akar Bhumi Indonesia, lokasinya bakal dijadikan kawasan Rehabilitasi Hutan Lindung (RHL) hutan bakau. Sementara pihak warga merasa, semenjak adanya pembangunan itu, anak sungai di sekitar perumahan mereka yang selama ini menjadi drainase menyempit dan menyebabkan banjir.
Kepala Bidang Pengawasan dan Penindakan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Batam, IP, mengatakan, untuk kawasan hutan mangrove atau bakau kewenangannya ada di provinsi. Pihaknya pun sudah menyurati Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Kepri untuk menangani persoalan tersebut.
“Tetapi kami sudah melakukan upaya penghentian pengerjaan sekolah itu, dan berhubung ini ada kaitannya dengan mangrove makanya langsung kami koordinasikan dengan teman-teman di provinsi,” katanya kepada HMS, Sabtu, 13 Maret 2021.
IP juga mengatakan, pihaknya meminta pengembang proyek SMKN 9 Batam dipanggil ke kantornya dan menghentikan seluruh pengerjaannya. Ia mengaku, DLH Batam sudah melakukan pengawasan dalam persoalan kerusakan lingkungan yang ada di Batam.
“Ada terlalu banyak masalah yang harus kami awasi, apalagi untuk kasus serupa [penimbunan hutan mangrove]. Tapi intinya pihak pengembang sudah kami panggil dan diminta untuk menghentikan pengerjaan SMKN 9 Batam, karena mereka harus paham hukum juga,” kata dia.
Sementara Kepala Bidang Konservasi Pemberdayaan Masyakarat dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan DLHK Kepri, Agus Purwoko, mengatakan persoalan SMKN 9 Batam itu sudah menjadi perhatiannya. Namun, kata dia, DLHK Kepri tidak bisa mengambil tindakan karena permasalahan itu hendak diselesaikan oleh DLH Batam.
“Saya dengar kalau dari Akar Bhumi Indonesia belum puas dengan apa yang dilakukan DLH Batam sejauh ini. Saya pun belum membaca surat rekomendasi apa yang sudah dilakukan oleh DLH Batam. Tapi saya pastikan, kalau saya yang turun menanganinya, selesai itu permasalahannya. Karena saya sudah bisa membaca informasi di lapangan persoalannya seperti apa,” kata Agus, Febuari lalu di Hotel Aston Batam.
Agus juga mengatakan, persoalan SMKN 9 Batam bukan masalah yang baru di Kepri. Menurutnya, lokasi pembangunan SMKN 9 Batam Areal Penggunaan Lain (APL)-nya merupakan kawasan putih. Sehingga penggunaan lokasi itu mewajibkan pengguna atau pemiliknya untuk membayar pajak khusus.
Ia melihat, ada upaya pemanfaatan di balik berdirinya sekolah tersebut sehingga aksi penimbunan hutan mangrove terjadi.
“Saya memperkirakan ada dalil-dalil yang dibuat yang membiaskan aksi itu. Tapi ini perkiraan saya saja, dan mereka memanfaatkan itu untuk melakukan penimbunan. Perbuatan itu jelas melanggar hukum tapi untuk sanksi sendiri, saya belum bisa menjalankan itu karena masih ditangani oleh DLH Batam. Saya belum tahu nih rekomendasinya apa sampai pihak Akar Bhumi Indonesia melapor ke Kementrian terkait persoalan ini,” kata Agus.
Viktor Voreman M. Samosir (28), warga Perumahan Tanjung Piayu Pancur Pelabuhan, mengatakan, sudah hampir satu bulan pengerjaan SMKN 9 Batam dihentikan. Namun, pihaknya masih menuntut adanya perbaikan atau perluasan drainase yang menyempit akibat pembangunan sekolah itu.
“Beberapa waktu lalu kami dijanjikan kalau drainase itu mau mau diperluas, tapi sampai sekarang belum ada realisasinya,” kata dia, Minggu, 14 Maret 2021.
Menurutnya Viktor, ada kekhawatiran terjadi banjir kembali seperti tahun lalu jika drainase itu tidak dikeruk. Meski intensitas banjir hanya sebentar, ia mengaku hal itu tetap saja membuatnya tidak nyaman.
“Banjirnya juga tidak terlalu tinggi, tapi kemarin kan sampai ada ular kobra masuk ke rumah. Itu yang kami khawatirkan, makanya cobalah segera drainase itu dikeruk biar tidak banjir lagi,” kata Viktor.