Seorang balita di Kecamatan Bengkong, Kota Batam, Kepulauan Riau, diduga dicabuli oleh sepupunya. Ibu kandung korban mengadu ke polisi. Penyelidikan kasusnya menggantung selama satu tahun. Kemudian resmi dihentikan sehari setelah curhatan tante korban viral di media sosial.
Ada uang, kasus jalan. Begitu yang dipikirkan oleh ibu dan tante korban. Pikiran itu membayangi mereka setelah seorang komisioner dari lembaga pengawasan secara implisit menerangkan tentang biaya kasus kekerasan seksual. Katanya, untuk sampai ke gelar perkara biasanya minimal butuh uang Rp3 juta. Bahkan ada pula yang sampai menjual tanah.
Ibu dan tante korban menceritakan perjalanan panjang kasus ini dengan rasa kecewa dan takut. Mereka sempat curhat kepada seorang wartawan, tetapi si wartawan malah bilang untuk sebuah liputan butuh “uang jalan”. Hal yang kemudian membuat dia makin tak percaya siapa-siapa. Ingin cerita panjang lebar, tetapi takut terjerat UU ITE.
“Kami capek. Buntu. Semua jalan sudah ditempuh. Hasilnya cuma kecewa,” kata Mona, bukan nama asli ibu kandung korban.
Mendapatkan cerita mereka ini, setidaknya butuh waktu berhari-hari untuk HMS meyakinkan Suci, bukan nama asli tante korban. Ini terjadi karena perilaku wartawan tadi. Pertemuan akhirnya berlangsung pada 9 November 2021. Malam itu, Suci datang bersama Mona sekaligus membawa tiga balita, yang salah satunya adalah korban.
Dalam obrolan selama dua jam itu cerita Suci dan Mona keluar semua. Sesekali mata mereka berkaca-kaca. Sesekali nadanya terdengar marah. Sesekali ia sibuk memanggil korban yang sedang bermain, kemudian bertanya tentang kelakuan terduga pelaku. Berusaha menguatkan fakta dibalik cerita mereka.
“Diapakan abang bebennya [area kemaluan], Nak?” tanya Mona sambil memangku korban. Suci juga mengulang pertanyaan yang sama, “Dimasukkan jari sama abang ya, Nak?”
Korban menjawab dengan mengangguk. Tatapannya kosong.
“Berapa tangan?” kata Mona.
“Satu,” kata korban pelan sambil mengangkat satu jari telunjuknya.
“Sakit, Nak?” tanya Mona lagi yang dibalas korban dengan anggukan.
Setelahnya ia melepas anaknya untuk kembali bermain, kemudian berkata, “Nah, dengar sendiri. Apa mungkin anak sekecil itu berbohong?”
Mona dan suami adalah musikus yang hidup mengandalkan panggung hajatan atau tempat hiburan malam. Situasi sulit karena pembatasan aktivitas pada September 2020 lalu makin menutup lubang mata pencaharian. Tabungan habis. Jadwal manggung sepi. Dan sialnya, saat itulah perkara anak mereka dimulai. Satu hal yang membuat dia makin putus asa.
Biasanya kalau sedang kerja, Mona akan menitipkan anaknya kepada Suci, kakak kandungnya. Suci sendiri tinggal bersama suami dan dua anak tirinya. Suaminya adalah seorang guru, pernah menjadi pengacara, dan mencalonkan diri sebagai anggota legislatif. Sementara anak tirinya yang laki-laki berusia 20 tahun, merupakan mahasiswa fakultas hukum. Pemuda inilah yang dicurigai Suci telah mencabuli keponakannya.
Kecurigaan itu bermula pada suatu sore 19 Agustus 2020. Mona mendapati cairan kental bewarna kuning yang telah mengeras menempel di celana dalam anaknya. Beberapa hari sebelumnya, anak perempuannya yang berusia 2 tahun lebih itu sempat mengeluhkan sakit pada area kemaluan.
Ia mulai cemas dan meyakini telah terjadi sesuatu pada anak perempuannya. Pelan-pelan ia mengingat setiap detail yang terlewat. Dibantu kakaknya ia mencoba mengajak anak bicara. Butuh waktu berhari-hari hingga korban mengatakan siapa orang yang menyakitinya.
“Anakku ngomong bukan ai ui eo, ngomongnya jelas kok. Tadi sudah kita tanya juga, jawabannya sama.”
Pada 26 September 2020 Mona melaporkan dugaan pencabulan terhadap anaknya ke Polsek Bengkong. Untuk menguatkan dugaannya, Mona sempat datang ke sebuah rumah sakit swasta untuk memeriksa kemaluan anaknya. Tapi dia mendapat penolakan dari dokter.
“Ngapain diperiksa? Pulang-pulang! Orangtua macam apa yang meriksa vagina anak umur segitu. Tidak bisa kalau tidak didampingi polisi,” kata Mona meniru ucapan dokter saat itu.
Mona lalu melaporkan kejadian itu ke Polsek Bengkong. Akhirnya ia didampingi seorang polisi wanita kembali ke rumah sakit. Hasil visum menemukan luka lecet sekitar 0,05 centimeter. Secara lisan, kata Mona, dokter juga menyebut ada benda tumpul yang masuk ke dalam kemaluan anaknya.
“Dengan hasil itu saya curiga pencabulan berulang kali terjadi. Temuan awal itu Agustus, dan divisum September. Kalau cuma lecet nol koma sekian, luka lecet pasti sudah hilang,” katanya.
Pada awal kasus ini bergulir, Mona sudah meminta banyak bantuan instansi, mulai dari Komisi Perlindungan dan Pengawasan Anak Daerah, Lembaga Bantuan Hukum, hingga berkomunikasi dengan Seto Mulyadi. Pemeriksaan psikologis anaknya pun sempat ditangani psikolog dari Polda Kepri. Namun, pemeriksaan itu dilakukan tanpa pendampingan olehnya selaku ibu kandung.
“Saya disuruh menunggu di luar ruangan saat anak saya ini mau diperiksa psikolog. Awalnya padahal tidak seperti ini, kata polwan di polsek saya bisa mendampingi anak saya, kenyataannya tidak. Hasilnya juga mengagetkan. Anak saya dinyatakan tidak memiliki trauma,” katanya.
Ada Biaya Kasus?
Beberapa minggu setelah penyelidikan dimulai, Mona terhubung dengan KPPAD Kota Batam, adalah lembaga yang mempunyai tugas untuk meningkatkan efektifitas pengawasan penyelenggaraan perlindungan anak di daerah. Dia pun berkomunikasi dengan salah seorang komisioner dari lembaga yang bersifat independen tersebut dan membuat janji bertemu. Pertemuan berlangsung di sebuah mal.
Dalam pertemuan itu Mona menceritakan semua yang dia ketahui. Tapi, belum habis bicara, si komisioner menimpali kalau kasus seperti ini memang memiliki kerumitan. Kemudian menurut pengalamannya, ada sejumlah biaya agar kasus ini dapat berproses sampai ke gelar perkara. “Saya tidak tahu mau bilang apa. Memang sih dia bukan meminta, tetapi mendengar itu saja saya sudah gemeteran. Karena situasi kan lagi serbasulit, Mas.”
Mona berpesan kepada HMS bahwa apa yang disampaikannya ini hendaknya ditulis dengan hati-hati. Secara pribadi dia tak pernah mempermasalahkannya. Akan tetapi pertemuan itu membuat dia gelisah. Bahkan dia berpikir, mungkin karena dirinya takada uang, kasus anaknya jadi dibiarkan menggantung dan kemudian dihentikan.
“Sejak hari itu saya kepikiran terus, ya iyalah wajar saja. Sampai sempat sama ada polwan yang menangani kasus anak saya itu, saya coba-coba ngasih amplop semampu saya. Eh, ternyata malah saya dimarahi. Dia bilang, ‘berapa itu di dalamnya?’ saya jawab Rp500 ribu. Terus dia bilang, ‘Kau ambil saja, belikan susu anakmu…’ Terus saya diam,” katanya.
Mona mengatakan, “Ditolak dan dimarahi seperti itupun malah membuat saya jadi tambah kepikiran. Ini saya yang memang telah kurang ajar atau duitnya yang kurang.” kata Mona.
Sejak awal semua lembaga yang dihubunginya memberikan saran supaya kasus anaknya jangan sampai dipublikasikan ke media. Alasannya untuk menjaga mental si anak, karena perilaku media saat ini dianggap tidak akan menyelesaikan masalah, tapi justru menambah sakit. Mona mengiyakan.
Akan tetapi, setelah kasus anaknya dihentikan dan curhatan kakaknya viral di media sosial, ada seorang wartawan yang menghubungi mereka. Si wartawan sempat menjanjikan ini-itu kepada Mona dan Suci. Termasuk membantu semua prosesnya dengan menulis.
“Dia janjikanlah ceritanya akan dibantu, cuma saya tunggu-tunggu kok tidak ada kabar. Kemudian saya hubungilah. Eh, malah dia bilang biasanya kalau liputan mereka butuh uang jalan. Sudah, setelah itu buntu saya. Media harapan terakhir saya sebetulnya,” kata Mona.
Bagi si wartawan barangkali uang itu hanyalah persembahan “uang jalan.” Tapi bagi Mona, ucapan seperti itu hanya menambah rasa putus asa. Nominal Rp3 juta yang membayanginya untuk perkara ini adalah angka yang cukup besar. Kira-kira hampir sama dengan gajinya bernyanyi dari satu tempat ke tempat lain. Jadi, sebagai “uang jalan” atau apapun namanya uang itu terlalu besar.
KPPAD Batam Membantah Ada Biaya Kasus
Ketua KPPAD Kota Batam, Abdillah mengatakan, pembuktian kasus pencabulan memang sulit. Hasil visum tidak cukup menjadi alat bukti. Keterangan korban dan kakaknya yang masih balita dianggap juga belum bisa sebagai bukti penguat, karena ia belum cukup umur untuk menjadi saksi.
“Saya tidak tahu detailnya seperti apa, tetapi yang sudah-sudah kasus seperti ini memang sulit. Dibawa ke pengadilan pun nanti bisa-bisa juga mental,” katanya saat dihubungi HMS.
Dia menjelaskan, tugas KPPAD sebetulnya adalah menerima pengaduan masyarakat berkaitan dengan kasus anak yang terjadi atau permasalahan hak-hak anak yang belum terpenuhi. Apabila ada hak-hak anak yang terlewat, pihaknya akan mengadvokasi.
Persoalan biaya kasus langsung dibantah Abdillah. Dia meminta kalau ada anggotanya yang meminta uang atau menjurus ke sana agar segera dilaporkan supaya dapat ditindak sesuai kode etik. Namun demikian, dia menerangkan kalau selama ini memang KPPAD terbatas akan anggaran. Kantor mereka pun sampai sekarang masih menumpang. Honor petugas minim, yang selain dipakai untuk kebutuhan pribadi juga digunakan untuk menangani kasus se-Kota Batam.
“Turun ke lapangan butuh transportasi, itu anggaran pribadi yang digunakan oleh para komisioner. Jadi pemerintah belum mengalokasikan anggaran. Inilah permasalahan sebenarnya. Honor sedikit untuk membiayai keluarga ditambah lagi untuk membiayai kasus se-Kota Batam. Terkadang rumah anggota itu jauh. Bayangkan kalau ada 10 kasus yang ditangani sehari berapa biaya yang dikeluarkan?” katanya.
Kendati begitu ia melarang keras seluruh anggotanya meminta uang, apapun alasannya. Perihal detail kasus ini dia meminta HMS menghubungi komisioner KPPAD Batam, Nina Inggit Garnasih. Akan tetapi, sejak 11 November 2021, Inggit tidak merespon konfirmasi HMS. Kedatangan HMS ke kantornya pun nihil.
Kasus Dihentikan karena Curhatan Tante Korban Viral?
Pada 7 November 2021, Suci, kakak dari Mona mengunggah status di sebuah grup Facebook. Suci berkisah tentang penghentian kasus dugaan pencabulan terhadap keponakannya yang telah dilaporkan ke polisi satu tahun lalu. Tidak butuh waktu lama, unggahan itu pun langsung dikomentari ribuan orang. Suci kelimpungan. Jempolnya sampai pegal membalas satu per satu komentar warganet.
Maaf Melenceng agan2 semua.
Saya mau sharing, sdh setahun lebih adik saya buat laporan ke pihak berwajib atas kasus pencabulan anaknya.
Ada hasil visum dari RS yg berisi lecet. Korban anak usia 2thn.dengan jelas mengatakan siapa pelaku nya. Jg kk nya yg usia 3thn mengatakan nama yg sama seperti dikatakan korban.
Tidak ada saksi lain. Pihak klrg kecewa dgn setahun tp mslh tdk tuntas jg yg katanya memerlukan waktu yg pnjng. Terduga ditanya tdk mengaku kata mereka. Maaf ya dimana2 mn ada penjahat yg mengaku.
Yg anehnya kmrn sy pergi bertanya bgmn klnjutan kasus. Sy malah dibilang tdk berhak bertanya krn sebatas saksi. Dan krn hny lecet hasil visum. Yg jd pertanyaan, klo mmg tdk patut dibahas knp sampe setahun?
Jangan kan bagian vital yg lecet, maaf klo payudara aja di pegang/remas bs jd kasus.
Yg mau saya tny kan apakah ank usia 2 dan 3 thn tdk diakui di mata hukum??
Kita sudah tempuh minta bantuan LBH tp gk berhasil jg.
Mau sewa pengacara tidak sanggup, krn Bpk/ ibu korban kerja serabutan.
Mohon solusi nya supaya kami bisa mendapatkan keadilan utk si kecil
Keesokan harinya, 8 November 2021, Suci dan Mona dipanggil ke Polsek Bengkong. Di sana dia diminta untuk mengklarifikasi maksud dan tujuan unggahannya di Facebook. Menurut Suci polisi khawatir unggahannya menimbulkan persepsi buruk terhadap kinerja polisi. Tidak berhenti sampai di situ, Suci dan Mona juga turut mendapat kabar kalau status dugaan pencabulan yang mereka laporkan secara resmi dihentikan. Alasan polisi: kurang bukti.
“Laporan kami ini sudah setahun lebih, ujung-ujung apa? Kasusnya diberhentikan karena kakak saya menggunggah status di Facebook itu. Kok kayak gini hasilnya,” katanya, “padahal di awal-awal, kan sudah ada pendampingan KPPAD juga, ini Kak Seto Mulyadi dari Jakarta juga mengawal kasus ini. Saya juga bolak-balik ke Polda Kepri dan Polres katanya kasus ini mau dipindahkan, ujung-ujungnya balik lagi ke Polsek,” kata Mona.
Sebagai seorang ibu, Mona tidak terima atas penghentian kasus itu. Dalihnya, hasil visum sudah jelas dan pelaku pelecehan seksual seperti memegang payudara saja bisa langsung dipenjara, tetapi mengapa dugaan pencabulan anaknya justru dihentikan?. Selain menunggu selama satu tahun, upaya Mona menanyakan kelanjutan kasus anaknya pun jarang membuahkan hasil. Baik telepon maupun pesan singkat yang ia layangkan ke polisi berbulan-bulan lalu seringkali tak berbalas.
Kekecewaanya terasa berlipat ganda. Pasalnya pada awal membuat laporan, satu polwan di Polsek Bengkong menyatakan kasus itu akan sampai ke pengadilan. Satu penyidik di Polsek Bengkong juga mengatakan kasus itu mengarah pada kekerasan seksual. Dua hal yang membuat Mona dan keluarga berharap bakal mendapat keadilan.
“Selain bukti visum, anak pertama saya juga mengatakan dugaan pencabulan itu. Karena memang mereka berdua selalu saya titipkan bersama. Tapi apakah ucapan anak saya yang sekarang berusia 3 tahun itu tidak membuat mereka berpikir?” katanya.
Kecewa kepada Suami dan Polisi
Pengakuan korban membuat gelombang dahsyat mengguncang batin Suci. Dan itu bukan yang terakhir, gelombang berikutnya adalah kehidupan rumah tangganya yang berakhir. Anak-anak tirinya mulai tak menghormati Suci. Suaminya selalu tak bergeming ketika diajak berbicara soal permasalahan ini. Pada Desember 2021 ia dan suaminya akhirnya resmi bercerai.
“Saya kecewa, ketika diajak berbicara suami saya hanya diam. Takada rasa pedulinya. Padahal si anak [korban] dekat sekali dengan dia. Makin saya tak habis pikir, surat panggilan pertama dari polisi untuk anaknya itupun [terduga pelaku] dia sembunyikan. Apa salahnya dibicarakan. Bersama-sama mencari kebenaran dan solusinya. Saya ini istrinya.”
Suci menikah dengan ayah terduga pelaku sekitar 7 tahun silam. Sebagai ibu tiri, Suci mengaku tidak punya kedekatan dengan terduga pelaku. Hubungannya bisa dikatakan renggang. Mereka jarang bertegur sapa meski hidup satu atap.
Dalam BAP pada 26 September 2020, dugaan pencabulan itu dilakukan pada 17 September 2020. Diakui Suci, pada tanggal itu dia memang sedang berada di luar rumah saat Mona mengantarkan dua anaknya ke rumahnya. Hanya ada terduga pelaku dan adiknya di rumah saat itu.
“Lantaran pandemi Covid-19, terduga pelaku lebih banyak menghabiskan waktunya di Batam. Dia kuliah di Jambi, dan dipulangkan karena tidak ada kuliah tatap muka saat itu,” katanya.
Dia curhat di media sosial karena kecewa dengan kasus yang berjalan tanpa ada kejelasan. Terlebih karena ia terus menerima janji pengembangan. Suci mengatakan, “Beberapa kali juga saya minta nomor telepon polwan itu ke polisi di Polsek Bengkong, karena merasa sebagai orang biasa tentu harus buat janji dulu ke mereka kalau mau ketemu. Apalagi kami ini orang susah, bolak-balik ke polsek cukup menguras biaya juga. Hasilnya pun sama saja, polwan itu tetap tidak membalas telepon atau pesan saya,” kata dia
Suatu kali, Suci seorang diri mendatangi Polsek Bengkong untuk berjumpa dengan polwan yang menangani kasus anaknya. Kepada petugas jaga Suci menanyakan keberadaan polwan itu, dan mengetahui kalau orang yang ia cari sedang rapat. Dia lantas didatangi Kanit Reskrim Polsek Bengkong, Ipda Rio Ardian.
“Kakak tidak berhak menanyakan kasus itu. Status kakak di sini sebagai saksi,” kata Suci meniru ucapan Ipda Rio.
Alasan itu tentu diterima Suci, tetapi tujuan dia bolak-balik ke Polsek Bengkong sebenarnya sederhana: pun kalau kasus itu dihentikan, dia dan keluarga tahu harus bersikap seperti apa.
“Jadi kak, hasil visumnya itu selaput daranya masih bagus, masih oke. Hanya luka.”
“Berdebat juga kami saat itu. Dia juga terkesan meremehkan hasil visum. ‘Kakak lihat kan [hasil visumnya]?’ Saya bilang enggak, kan semuanya ada sama kalian,”
Perdebatan itu masih berlanjut, Suci menanyakan kesaksian keponakannya yang tidak menjadi pertimbangan polisi. Tapi pertanyaan itu tidak mendapat jawaban, Ipda Rio melengos pergi.
Tak patah arang, Suci balik lagi ke petugas jaga untuk menanyakan apakah rapat sudah selesai. Selain bertemu dengan polwan yang menangani kasus anaknya, dia pun sebenarnya ingin bicara dengan Kapolsek Bengkong. Tak lama berselang, Ipda Rio kembali menjumpainya.
“Lho kakak ngapain masih di sini?” tanyanya.
“Saya mau jumpa sama Pak Kapolsek,” kata Suci.
“Kak, ini Kapolsek baru, saat laporan dibuat bukan Kapolsek ini yang menjabat,” sanggah Ipda Rio.
“Justru karena baru saya mau curhat, mau mengeluarkan uneg-uneg biar dia tahu ada masalah yang belum tuntas.”
Ipda Rio pun kembali mengutarakan “Kakak tidak punya hak di sini,”
Meski bernada halus, Suci mengaku sempat merasa diancam usai mengunggah status di Facebook tentang kasus anaknya tersebut. Itulah mengapa ia mengaku takbisa terlalu leluasa berbicara saat wawancara.
“Padahal menulis status di media sosial kan hak pribadi orang. Di status itu juga saya tidak menyebut nama sebuah instansi, nama terduga pelaku, jadi apa yang mau dituntut?” katanya.
Polisi Mengklaim Kasus Dihentikan Bukan karena Viral
HMS mendatangi Polsek Bengkong pada 11 November 2021 untuk mengonfirmasi penghentian dugaan kasus pencabulan tersebut. Di sana, HMS menjumpai Kapolsek Bengkong, AKP Bob Ferizal. Proses wawancara pun dilakukan di luar Polsek, tepat di bawah tenda yang digunakan untuk kegiatan vaksinasi. Ditemani Wakapolsek Bengkong dan penyidik Polsek Bengkong yang menangani kasus tersebut sejak Mei 2021, berikut hasil wawancara HMS terkait penghentian dugaan kasus pelecehan seksual terhadap anak yang telah dilaporkan September 2020 silam.
HMS: Kenapa kasus ini dihentikan?
AKP Bob Ferizal: Tidak cukup bukti dari hasil lidik dan akhirnya tidak bisa dinaikkan ke tingkat penyidikan.
HMS: Apa pertimbangannya?
Peristiwa itu dilaporkan terjadi pada 17 September 2020, pelapor mencurigai [terduga pelaku] sebagai pelaku dugaan pelecehan seksual terhadap anaknya. Setelah mendapat laporan itu, penyidik langsung turun ke lapangan dan memeriksa sejumlah saksi, termasuk terduga pelaku.
Dari hasil penyelidikan diketahui, korban atau anak itu dititipkan di rumah Suci pada pukul 17.00 WIB oleh ibunya. Saat itu, hanya ada adik terduga pelaku saja di rumah. Sementara terduga pelaku diketahui berada di sebuah warnet dan Suci sedang keluar. Lalu Suci pulang ke rumah sekitar pukul 19.15 dan anak itu langsung berada dalam pengawasannya hingga pukul 22.00 WIB sampai dijemput ibunya. Itu hasil bukti acara perkara (BAP).
Kemudian pada 22 Agustus 2020, ibu dari si anak menemukan cairan kuning di celana dalam anaknya. Kecurigaannya berangkat dari sana. Dia lalu membawa anaknya ke RS Harapan Bunda Batam untuk melakukan pemeriksaan. Saat itu yang memeriksa adalah Dr. Eko, seorang dokter kandungan, yang mengatakan hasil pemeriksaan menyatakan anak itu mengalami infeksi atau keputihan. Ditemukan pula luka lecet pada kemaluannya sekitar 0,05 centimeter.
Dokter ahli itu juga mengatakan kalau lecet itu bisa saja karena bekas gatal, atau terjadi saat si anak buang air kecil dan dibersihkan oleh ibunya.
Dalam menangani kasus ini, kami juga melibatkan Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak. (P2TP2A) Kota Batam, dan psikolog dari Polda Kepri. Dari keterangan P2TP2A Batam, si anak juga tidak mengalami trauma. Psikolog dari Polda Kepri juga menyatakan hal serupa.
Sebagai catatan, dalam proses penyelidikan kami sudah mewawancarai beberapa saksi. Bahkan keterangan Suci dan Mona juga kami ambil. Di awal memang dijelaskan Mona kalau terduga pelaku tidak ada di rumah saat anak itu dititipkan. Lalu kami mendatangi warnet tempat terduga pelaku bermain, dan penjaga warnet mengatakan kalau terduga sudah di sana sejak pukul 17.00 WIB sampai pukul 23.00 WIB.
HMS: Kenapa setelah satu tahun berjalan kasus baru dihentikan? Setelah viral pula.
AKP Bob Ferizal: Itu asumsi saja. Kami memang sudah menyiapkan Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP) yang bakal dikirim ke pelapor, atau ibu dari terduga korban ini.
HMS: Apakah benar setelah kasus ini viral, polisi memanggil pelapor dan saksi lalu menyodorkan surat klarifikasi?
AKP Bob Ferizal: Memang benar. Tujuannya adalah untuk menanyakan maksud dan tujuan Suci membuat unggahan itu di medsos. Status dia kan bukan pelapor, tetapi bibi dari terduga korban. Saat pemanggilan itu juga kami jelaskan duduk perkaranya seperti apa, sampai akhirnya kasus ini dihentikan.
Sebagai catatan, dari awal laporan pelapor di tanggal 26 September 2020, dikatakan dugaan pelecehan seksual itu terjadi pada 17 September 2020. Artinya ada interval 9 hari anak ini sehari-sehari bersama orangtuanya atau dengan orang lain. Hal itu juga yang menguatkan pernyataan dokter ahli di RS Harapan Bunda Batam. Bisa saja luka itu didapat tanpa disadari si anak atau orangtuanya.
Memang betul hasil visum jadi acuan kami bertindak, tetapi tetap dibutuhkan bukti lainnya. Minimal kan dua alat bukti.
HMS: Apakah kesaksian kakak pelapor tidak bisa dijadikan pertimbangan untuk menjadi alat bukti?
AKP Bob Ferizal: Untuk penanganan kasus yang melibatkan anak di bawah umur pastinya dibutuhkan keterlibatan dan bantuan dari pihak lain. Untuk itu lah kami berkoordinasi dengan P2TP2A Batam dan psikolog dari Polda Kepri. Hasilnya kan sudah jelas, si anak tidak mengalami trauma.
HMS: Berapa kali terduga pelaku diperiksa dan bagaimana hasilnya?
Dua kali dan hasilnya memang ada kecocokan dari apa yang dia katakan dengan apa yang kami periksa. Mulai dari rutinitas dia di dalam dan di luar rumah. Jadi selama rentang waktu kejadian terduga tidak di lokasi.
HMS: Ibu korban sempat bertemu dengan salah seorang komisioner Komisi Perlindungan dan Pengawasa Anak Daerah (KPPAD) Batam. Hasil pertemuan itu terselip ucapan agar kasus ini cepat naik gelar perkara maka dibutuhkan biaya Rp3 juta. Apakah benar begitu?
AKP Bob Ferizal: Selama kami menangani kasus pelecehan anak di bawah umur, kami hanya melibatkan P2TP2A Batam dan psikolog dari Polda Kepri. Kami belum pernah melibatkan KPPAD Batam, dan kalau untuk nominal uang itu ya jelas tidak ada. Semua layanan di Polsek Bengkong tidak dipungut biaya sama sekali.
HMS: Pelapor mengatakan pernah ada pertemuan dengan psikolog dari Polda Kepri di Polsek Bengkong. Tetapi dalam pertemuan dia tidak diperbolehkan mendampingi anaknya, kenapa begitu?
Saat pertemuan itu selain psikolog dari Polda Kepri juga ada petugas dari P2TP2A Batam, dan memang kompetensi mereka untuk melakukan kerja-kerja menangani anak-anak. Kalau ibu terduga korban dilarang mendampingi ya itu memang kewenangan dari psikolog dan P2TP2A Batam. Kami juga tidak dibolehkan masuk, dan memang begitu cara kerja mereka.
HMS: Tante atau bibi korban pernah datang ke Polsek Bengkong dan ingin bertemu dengan Kapolsek tetapi dilarang, kenapa?
AKP Bob Ferizal: Dia ini kan statusnya bibi terduga korban, dan saat itu dia ingin meminta hasil surat visum melalui Kanit Reskrim Polsek Bengkong. Pertama, hasil visum itu memang tidak boleh disebarluaskan selain untuk keperluan pemeriksaan kepolisian. Kedua, pun kalau bisa, tentunya yang berhak menerima hasil visum itu tentu ibu terduga korban.
HMS: Setelah kasus ini dihentikan, langkah hukum apa yang bisa dilakukan oleh pelapor?
Proses lidik ini kan bukan berati final atau harga mati. Silakan saja korban melapor kembali jika memiliki bukti baru. Karena bukti-bukti yang ada saat ini memang belum menguatkan.
…
Editor: Bintang Hasibuan