Di teras rumahnya, Ajang Nurdin sibuk menerima telepon. Menit ini berdering panggilan dari Batam, menit lain nasihat berbicara dari Kalimantan, menit sebelumnya undangan mendesak datang dari Jakarta. Sejak Kamis, 16 September 2021, kontributor Liputan6.com ini sedang diburu permintaan maaf. Syukurlah, ia bukan pendendam. Semua yang merasa bersalah sudah dimaafkan. “Saya diundang Menteri datang ke rumah dinasnya,” katanya kemarin.
Sosok menteri yang mengundangnya ialah Menteri Perhubungan RI, Budi Karya Sumadi. Ini berkaitan dengan insiden ulah dua pengawal Budi terhadap Ajang saat ia meliput kunjungan kerja kementerian di Batam. Ceritanya, ketika ia mendekat ke arah Budi untuk wawancara: ia dicekik, dipiting, dan digiring menjauh (baca: Jurnalis Batam Dicekik Oknum Pengawal Menteri).
JAM menunjukkan sekitar pukul tujuh malam ketika Ajang bersiap meninggalkan sesi wawancara HMS hari itu. Ada Rivolino, Kepala Kantor Syahbandar dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Khusus Batam, sedang menunggunya. Tapi, setelah menerima satu panggilan telepon, niat pergi dibatalkan. “Katanya tidak boleh [berangkat ke Jakarta], melanggar etik.” Bersamaan dengan itulah rencana menemui Rivolino juga ia batalkan.
“Kami mohon maaf” tiga kata itu setidaknya disampaikan oleh tiga pejabat sekaligus: Menteri Perhubungan, Gubernur Provinsi Kepri, dan Kepala KSOP Khusus Batam, pascainsiden itu ramai diberitakan. Ketiganya, menyatakan, mereka sedang melakukan evaluasi internal.
Juru Bicara Kementerian Perhubungan, Adita Irawati, melalui siaran persnya menjelaskan kalau insiden tersebut hanyalah kesalahpahaman. Kendati begitu, tim pengamanan mendapat teguran keras dari menteri. “Kami memohon maaf pada awak media atas ketidaknyamanannya,” kata Adita.
Kepala KSOP Khusus Batam, Rivolino, juga menyatakan sikap serupa. Ia menyayangkan hal ini terjadi. Sebagai penanggung jawab kegiatan Menhub di Batam, ia mengatakan, “Namanya ini miss komunikasi, kita minta maaf. Pascainsiden tidak boleh terulang,” katanya, menyebut setiap kegiatan sudah ada rundown acara. Diatur supaya acara tersusun lebih rapi. Disediakan ruang untuk konferensi pers ataupun wawancara door stop.
Permintaan maaf juga disampaikan oleh Gubernur Kepulauan Riau, Ansar Ahmad. Hal itu disampaikan oleh Kepala Biro Humas Protokol dan Penghubung, Hasan, usai membahas masalah ini dengan tiga organisasi pers: Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Batam, IJTI Ikatan Jurnalis TV Indonesia (Kepri), dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kepri.
“Saya dihubungi Pak Budi [Menhub RI] pukul 04.00 pagi tadi. Melalui saya, beliau langsung menyampaikan permintaan maafnya kepada rekan-rekan jurnalis. Kejadian ini juga akan menjadi masukan sendiri bagi pemerintah, untuk kinerja yang lebih baik,” kata Hasan.
AJI Batam, organisasi pers tempat Ajang bernaung sendiri sedari awal bereaksi keras atas hiperaktifnya petugas dalam mengadang Ajang. Menurut Ketua AJI Batam, Slamet Widodo, tindakan ini represif, dan jelas adalah bentuk kekerasan terhadap jurnalis: mengancam kebebasan pers di Batam dan secara luas di Indonesia (baca: AJI Batam Kecam Penghalangan Proses Peliputan Menteri Perhubungan RI).
Ia bahkan mengingatkan kalau penghalang-halangan upaya jurnalis untuk mencari dan mengolah informasi dapat dipidana. Hukumannya paling lama dua tahun penjara atau denda paling banyak Rp500 juta. Hal ini sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 18 Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999.
Insiden ini juga menurutnya merupakan preseden buruk sekaligus mencederai Indeks Kemerdekaan Pers tertinggi yang diraih oleh Kepri pada 2021. Berdasarkan hasil survei Dewan Pers di tahun 2021, Kepulauan Riau, katanya, menduduki posisi teratas dalam indeks kebebasan pers di Indonesia. Secara kumulatif, nilainya mencapai 83,30.
“Ini tentu mencoreng capaian tersebut. Meski permintaan maaf datang silih berganti dari berbagai instansi, proses hukum tentu mesti dijalankan sebagaimana mestinya.” katanya. Dengan kata lain, ia menghargai niat baik permintaan maaf, akan tetapi, “Tidak ada kesepakatan apapun dengan pemerintah terhadap penanganan kasus ini, jikalau nantinya berlanjut ke ranah hukum,” kata Slamet Widodo.
MEMANG, dalam insiden-insiden seperti ini permintaan maaf selalu datang silih berganti. Tapi, celakanya, HMS mencatat kejadian serupa kepada wartawan di Batam terus terulang.
Februari 2021 lalu misalnya, terjadi terhadap Beres Lumbantobing, wartawan Tribun Batam. Saat ia merekam pidato Wali Kota Batam, Muhammad Rudi dalam kegiatan pemusnahan 48.088 keping Kartu Tanda Penduduk (KTP)-elektronik tidak sah. Dari atas mimbar, Rudi memintanya untuk mematikan kamera, bahkan stafnya mengusir Beres. Akhir masalahnya: berdamai karena hanya salah paham. Rudi mengaku tidak tahu kalau Beres adalah wartawan karena ia tidak memakai tanda pengenal kewartawanannya.
Ansyarullah Khafi Ansyari atau akrab disapa Kavi dari Batamxinwen, mengatakan, bahwa pada hakikatnya wartawan dalam bertugas menjalankan misi suci: memenuhi hak masyarakat akan informasi. Dia tentu menyesalkan insiden ini. Namun, janganlah melihat kasus ini memakai kacamata kuda, menganggap benar begitu saja peristiwa yang sebenarnya tidak tahu. Ibarat hanya mendengar suara, tapi tidak tahu sumber, tidak tahu gentanya.
“Sebetulnya itu bisa dihindari kalau kita memahami situasi, memahami waktu. Saya melihat itu bukan sebuah bentuk intimidasi, melainkan bagaimana seorang ajudan [tim pengamanan] melindungi orang yang harus dia lindungi,” katanya sembari menjelaskan kalau sepengetahuannya, panitia sudah memberikan ruang untuk wawancara di pelabuhan domestik. Tapi, ketika diberitahu kalau menurut beberapa wartawan yang hadir di pelabuhan berbicara kepada HMS, menteri hanya berpidato tanpa ada sesi wawancara. Ia mengatakan, “Ini yang harus dicari tahu kebenarannya.”
Terlepas dari itu, menurut dia, perlu diingat terlebih dahulu, insiden yang Ajang alami ini memang tidak separah yang dirasakan Nurhadi dari Tempo atau Udin dari Bernas. Tapi, barangkali ini bisa menjadi semacam alarm jurnalistik, di Batam khususnya. Karena selama ini banyak wartawan memilih tidur pulas. Lebih suka berbagi naskah atau menunggu siaran pers ketimbang mengejar berita. Kita minim mendapat bacaan daerah dalam sudut pandang yang segar.
Setidaknya, Ajang mencoba melakukan tugas jurnalismenya dengan baik, yaitu mencoba mewawancarai menteri secara langsung untuk mengangkat suatu isu yang merupakan bagian dari kepentingan publik, bukan menunggu siaran pers. Dia telah melewati prosedur kerja yang sesuai dengan prinsip-prinsip jurnalisme itu sendiri.
Ketua PWI Batam, Chandra Ibrahim mengatakan, insiden itu ia pikir hanya miss komunikasi. Artinya, tim pengamanan menteri tidak paham dengan tugas-tugas wartawan. “Jadi agak berlebihan,” katanya. Akan tetapi, insiden tersebut bisa saja dihindari kalau panitia acara menjelaskan dari awal bahwa ada ketentuan-ketentuan bagi wartawan saat meliput kunjungan kerja menteri hari itu.
“Kita wartawan diundang ke sana. Bukan main datang-datang saja. Seharusnya dalam undangan itu dijelaskan kalau tidak ada wawancara door stop. Wawancara bisa dilakukan di titik a, b, atau c.”
PROSEDUR wawancara terhadap pejabat sekelas menteri sama saja dengan narasumber pada umumnya. Wartawan utamanya wajib memperkenalkan diri: nama dan media tempat ia bekerja. Yang harus dipahami menurut Chandra justru adalah sifat dari wawancara door stop itu sendiri. “Sifatnya insidentil, kadang kita datang tidak sempat memperkenalkan diri kan. Tapi, itulah yang saya tekankan, itu mungkin ajudannya ini hiperaktif. Padahal dia sendiri mungkin tidak menyangka kalau ini wartawan dan dia tidak paham apa tugas-tugas wartawan,” katanya.
Dalam kasus ini, PWI bersikap netral. Dia menyesalkan tindakan berlebihan itu, tetapi juga mengapresiasi respon cepat permintaan maaf dari pemerintah dan kementerian. “Ini bisa jadi pelajaran buat kita semua. Mereka sangat cepat merespon [permintaan maaf]. Biasanya di tempat lain kita, kan, biasa dicuekin. Maksudnya kita harus adil. Melihat ini secara proporsional.”
Marwah Wartawan
Pagi itu, 16 September 2021 sekitar pukul 10.00 WIB. Ajang membatalkan janjinya bertemu seseorang. Dia bergegas memacu sepeda motor dari rumahnya di Legenda Malaka menuju Rumah Susun Tanjung Uncang. Jarak tempuhnya sekitar 25 kilometer. Butuh waktu satu jam lebih untuk sampai ke lokasi. Liputannya berdasarkan niat. “Sampai tiga kali tersesat ke rumah susun yang salah,” katanya.
Tujuan ke lokasi cuma satu: mewawancarai menteri. Pendek kata, setelah sampai, Ajang langsung berjalan mengikuti rombongan menteri. Waktu itu, ada lima wartawan lain berada di dekatnya. Karena melihat menteri hendak meninggalkan lokasi, ia buru-buru mengambil ponsel dan mendekat untuk wawancara. Tanda pengenal sudah tergantung di leher.
“Pertama saya panggil dulu ‘Pak Menteri… Pak Menteri…’ kemudian saya lihat Pak Menteri sudah menoleh, tetapi belum sempat bertanya lansung terjadilah itu [dicekik dan dipiting],” katanya. Saat itu, menteri hanya diam saja melihat perlakuan tim pengamanannya. Ajang meninggalkan lokasi 20 menit setelahnya. Selama di sana dia cuma diam dan tak tahu mau berbuat apa.
Ajang mengatakan, meski intimidasi itu tidak menimbulkan luka, dia mengaku kaget dan tidak terima dengan sikap arogan dua petugas pengamanan. “Ini soal marwah kita sebagai wartawan.” Menurutnya, pelarangan melakukan door stop bisa dilakukan dengan cara-cara halus dan sopan. “Saat itu saya cuma mau nanya soal kedatangan dia [Menhub] ke Batam, dan proses pemulangan PMI di sini. Itu saja kok,” katanya.
Dua pertanyaan yang ingin dia ajukan sebenarnya sesuai dengan kunjungan kerja Budi Karya Sumadi ke Batam. Sehingga, kata dia, tidak mungkin pertanyaan itu dapat mengganggu, apalagi mengancam. Lagi pula pertanyaan bukanlah ancaman. Dengan kejadian itu, Ajang khawatir akan ada intimidasi-intimidasi serupa yang menimpa jurnalis di Batam, dan di Indonesia secara umum. Beruntunglah dia menulis untuk media sebesar Liputan6.com.
“Soal permintaan maaf tentu secara pribadi saya maafkan. Tetapi, secara profesi belum. Ada jalurnya. Coba bayangkan kalau ini menimpa media-media daerah yang belum dikenal, teman-teman wartawan daerah. Saya rasa sudah banyak. Persoalan ini kan sering terjadi, marwah jurnalis itu sudah nggak dihargai. Insiden ini harus menjadi pelajaran. Pada hakikatnya mereka [pejabat] kan, sama dengan kita. Pejabat bertugas untuk kepentingan publik, kita juga. Mereka dilindungi undang-undang, kita juga.” katanya.
ADA pendapat, belakangan banyak orang yang tak percaya lagi kepada media. Pers sebagai pilar ke empat demokrasi dianggap tidak memberikan peran positif, dianggap tidak lagi mengindahkan batas-batas moralitas dan independensi. Banyak pihak meragukan kebenaran bagian-bagian berita. Mungkin juga gemas memperhatikan jurnalisme yang ada. Inilah salah satu alasan banyak pejabat mengacuhkan wartawan. Banyak contoh kelakuan pejabat seperti itu di Batam.
“Tetapi mereka [pejabat] berkewajiban memberikan informasi, karena dituntut oleh rakyat kan. Mereka harus mempertanggung jawabkan apa yang mereka kerjakan. Sejauh masih dalam wewenang dia, ya itu harus dijawab. Kecuali ditanya definisi negara misalnya, itu baru salah alamat. Jadi seharusnya tidak alergi kepada wartawan.”
Pejabat seharusnya tidak takut atau alergi kepada wartawan. Karena tulisan mencerminkan karakter dan kompetensi si penulis. Bila tidak sesuai, ada Dewan Pers yang mengatur. Semua aspek akan dilihat apakah berita itu benar, akurat, dan adil.
Persoalannya juga bukan hanya soal penghalangan tadi. Tapi melebar kepada perilaku umum wartawan saat ini. Membiarkan kehumasan instansi bekerja dalam kunjungan orang penting sekelas menteri, itu juga fatal. Karena akhirnya laporan yang tersaji hanyalah penggalan informasi, bukan pengetahuan. Sekarang, memang lebih banyak editor ketimbang wartawan.
“Padahal kalau diberi kesempatan ada banyak hal yang bisa wartawan tanyakan kepada Menhub. Mulai dari pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah, dampak negatif pengoperasian kapal terhadap lingkungan, dan seterusnya. Menteri kan, tidak setiap hari datang berkunjung ke sini.”
PADA usianya yang kini menginjak 41 tahun, pria kelahiran Jawa Barat itu tergolong memiliki paras yang lugu. Raut wajahnya ramah dan murah senyum pula. Kulitnya kuning langsat. Penampilannya sederhana, dan suka menulis tentang budaya. Bicaranya cukup enak didengar, bahkan ia kelewat santun, dan cenderung merendah dalam bertutur kata. Inilah menurut Romus Panca, kontributor Gatra di Batam, yang membuat insiden ini cukup menjadi perhatian wartawan. “Karena dia lurus itulah teman-teman prihatin juga sampai ia mendapat perlakuan seperti itu [dicekik dan dipiting],” kata Panca.
Dari teras rumah Ajang, HMS mau berpamitan setelah wawancara selama sekitar dua jam. Namun, baru memasang alas kaki, istri Ajang keluar. “Sudah dipikirkan baik-baik langkah yang diambil?” setelah Ajang menjawab sudah, istrinya berkata, “Iya, maaf ikut campur. Saya cuma takut nanti malah menjadi masalah untuk suami saya. Kan, bisa saja ada yang bilang kenapa sampai dicekik seperti itu karena suami saya menginjak sepatunya [petugas protokoler],” katanya.
Pendek kata, istrinya itu sudah paham kalau pekerjaan suaminya memang penuh dengan risiko. Tetapi, sebagai istri tentu dirinya hanya ingin persoalan ini selesai dengan baik tanpa ada kepentingan-kepentingan lain di luar jurnalistik yang ikut menumpang.
PERSOALAN banyaknya kepentingan yang hendak menumpang dalam kasus Ajang ini menurut Hendra Mahyudi, wartawan lepas di Batam, memang takbisa dihindari. Karena dalam bertugas, seorang wartawan berdiri di atas banyaknya kepentingan: publik, personal, media, organisasi, penyokong dana. “Tinggal wartawannya aja yang mau berdiri di mana.” Memang menurut Ajang, pascainsiden itu terjadi teleponnya sulit istirahat. Banyak yang bertanya. Segala latar belakang ada.
Namun demikian akhir dari persoalan ini kembali lagi kepada Ajang. Hendra berharap peristiwa-peristiwa seperti ini jangan sampai hanya berakhir pada kata maaf. Butuh efek jera. Bila keputusannya adalah membawa masalah ini ke Dewan Pers. Ada satu pertanyaan yang muncul. Seberapa kuat Dewan Pers menyelesaikan ini secara adil? “Tak semuanya merasa optimis.”