Sejak kapal Ever Given kandas di Terusan Suez, banyak sekali meme yang merundung nakhoda kapal tersebut. Upaya untuk meluruskannya dengan menggunakan alat berat (excavator/bulldozer) juga tak luput dari risakan para netizen. Pasalnya alat ini tak ubahnya liliput di hadapan lambung kapal yang menjulang tinggi. Ibarat pertarungan David vs Goliath, jelas tidak seimbang.
Apa yang terjadi terhadap salah satu armada Evergreen (pelayaran Taiwan) itu memang aneh bagi orang awam. Tidak masalah, namanya juga orang awam. Tulisan ini mencoba menjelaskan apa yang terjadi di Mesir sana dari sudut pandang orang awam–saya bukan pelaut dan tidak pernah belajar di sekolah pelayaran manapun.
Untuk menulis karangan ini, saya bertanya, kepada seorang teman yang memang ahli di bidang pelayaran. Dia adalah Captain Edy Hartono Istihadi, pelaut Indonesia yang kini bekerja sebagai nakhoda di atas sebuah kapal anchor handling tug supply (AHTS) di Timur Tengah.
Ever Given memasuki alur Terusan Suez dengan dua pilot berada di atasnya. Ini merupakan upaya untuk berjaga-jaga. Pasalnya, sering terjadi hal-hal yang tak terduga di jalur pelayaran berusia 152 tahun itu. Saat kapal itu melintas, angin berkecepatan 46 knot (setara dengan 85,19 km/jam) berhembus dari samping kapal. Dengan ukurannya yang jumbo, ditambah muatan yang penuh, jelas freeboard-nya menjadi makin tinggi. Inilah yang dihajar oleh angin kencang tadi. Angin juga menerbangkan debu dari area sepanjang alur sehingga menggangu pandangan kru kapal di anjungan.
Dalam bahasa sederhana, freeboard adalah dinding kapal yang menjulang dari batas air laut hingga ke palka.
Dengan kondisi alam dan teknis perkapalan seperti yang di jelaskan di muka, jelas amat sulit menavigasi kapal sebesar Ever Given (panjang 400m dan lebar 59m) yang saat melintas di perairan yang lebarnya hanya 200 meter lebih sedikit dan kedalaman alur yang bervariasi berkecepatan 13,5 knot. Ini sama dengan ngebut pakai motor bongsor di gang senggol. Akhirnya, kapal pun tersangkut dengan posisi melintang di tengah terusan.
Di dalam Aturan 6 Pencegahan Tubrukan di Laut (COLREG 1972), ada pengaturan tentang kecepatan aman yang berbunyi, “Setiap kapal harus senantiasa bergerak dengan kecepatan aman sehingga dapat mengambil tindakan yang tepat dan berhasil untuk menghindari tubrukan dan dapat dihentikan dalam jarak yang sesuai dengan keadaan dan suasana yang ada”.
Pertanyaannya, mengapa kapal dipacu dengan kecepatan 13,5 knot di alur pelayaran yang sempit? Dengan angin yang bertiup begitu kuat apakah kru kapal tidak membaca perkiraan cuaca sebelumnya?
Sudah tahu cuaca tidak bersahabat–terbatasnya jarak pandang–pihak otoritas Terusan Suez tidak berupaya melakukan apa-apa. Seharusnya mereka menutup alur pelayaran karena keterbatasan jarak pandang dapat mengakibatkan kecelakaan pelayaran. Atau, paling tidak, mereka menginstruksikan kapal-kapal yang ingin melintas agar menunggu di danau yang ada di pertengahan terusan hingga cuaca kembali reda.
Itulah human eror itu.
(Siswanto Rusdi, Direktur The National Maritime Institute [Namarin])