“Manusia mati, dan mereka tak berbahagia … Tapi kepada apa menuntut jawab?”— potongan puisi Dea Anugrah dalam kumpulan puisi berjudul Misa Arwah.
1986, Sukardal, 53 tahun, seorang tukang becak mati gantung diri setelah becak yang menjadi harta satu-satunya untuk mengais rezeki disita oleh petugas Tibum (Ketertiban Umum).
2021, Friska, 42 tahun, seorang pedagang yang sedang mengupas bawang di lapaknya, mati (diduga) akibat serangan jantung saat Tim Terpadu datang tanpa permisi membongkar lapaknya berjualan di Pasar Induk, Jodoh, Kota Batam.
Sukardal telah pergi dalam waktu yang cukup lama, ia meninggalkan kisah tentang dan bagaimana penderitaan selalu hadir pada mereka yang tak punya kuasa atas hidup. Sementara Friska baru saja pergi meninggalkan duka di antara ribuan duka yang hadir di negeri ini akibat pandemi Covid-19.
Tentu kepergian Friska bukan akibat pandemi, ia pergi sebab sesak tak tertahan karena cemas akan nasib usahanya ke depan. Lagi dan lebih tegas lagi, ia juga tidak punya kuasa atas hidupnya sendiri.
Lalu siapa yang berkuasa?
Friska mungkin tidak tahu, selain Tuhan apakah manusia juga punya kuasa atas hidup dan matinya. Ia hanya terkejut dengan kedatangan Tim Terpadu ketika negara ini sedang menerapkan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM). Ia hanya cemas jika di kemudian hari usahanya tidak bisa berjalan lagi, sementara di depan mata, orang-orang yang mungkin baginya terlihat sangar telah berdiri untuk mengeluarkan semua dagangannya tanpa memberi waktu.
Jadi siapa yang berkuasa atas semua ini?
Dalam sebuah wawancara dengan pekerja media pada Februari 2021 lalu, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Gustian Riau, yang memimpin operasi pembongkaran bekas Pasar Induk Jodoh mengatakan, bahwa yang menjadi kekhawatirannya adalah jangan sampai dana Rp300 miliar yang sudah dianggarkan oleh pemerintah pusat untuk pembangunan Pasar Induk itu kembali ke Jakarta. {1}
Dan atas kejadian ini saya kemudian bertanya-tanya: “Apakah uang yang lebih berkuasa? Hingga kematian seseorang pedagang yang mendadak jantungan saat penggusuran takada artinya?”
“Mereka telah diberi surat peringatan,” kata yang menggusur. “Sayang anggaran Rp300 miliar itu hilang begitu saja,” kata yang lainnya. “Sudah tahu akan dibangun pasar yang lebih modern, masih saja menolak,” kata netizen di kolom media sosial sebuah media massa.
“Kasihan,” komentar mereka yang bersimpati. “Di saat pandemi ini, penggusuran tetap saja terjadi,” kata yang lainnya lagi.
“Tapi kami hanya menjalankan tugas,” mungkin petugas penggusuran bisa menjawab seperti ini, layaknya petugas Tibum menjawab kepada pers saat Sukardal gantung diri.
“Dan tugas adalah tanggungjawab,” mereka yang profesional akan menimpali.
“Lemas kali aku,” kata Friska sebelum ia tiada.
Jadi siapa yang berkuasa atas hal ini?
Tuhan? Tentu saja Tuhan hadir di sana, dan Tuhan memiliki kuasa atas segalanya. Namun, Tuhan juga adalah pemberi pilihan, seperti Ia memberi pilihan kepada Tim Terpadu untuk melanjutkan penggusuran, atau memberi waktu kepada para pedagang mengosongkan lapak mereka secara perlahan.
“Tapi apa iya akan mereka kosongkan? Sudah diberi imbauan dan surat peringatan beberapa kali mereka masih tetap saja tinggal,” kontra narasi seperti ini tentu bisa hadir kapan saja. Dan hal yang terbaik memang, pers jangan membesar-besarkan.
Sebagaimana yang disampaikan E. Ginting, salah satu dari pedagang kepada pekerja pers, surat peringatan pertama hingga ketiga memang telah diberikan, akan tetapi mereka butuh waktu untuk memindahkan barang, setidaknya dua hari ke tempat yang layak.
Tapi mereka tidak memiliki kesempatan—atau, apa karena ada uang besar yang harus segara dicairkan?
Apa yang sebenarnya besar? Dan apa yang sebenarnya kecil?
Kematian satu orang saat penggusuran mungkin saja hanya hal kecil bagi sebagian orang, atau mereka di sisi yang berseberangan. Ratusan pedagang yang dikabarkan kehilangan mata pencarian tiga bulan pascapenggusuran pasar induk itu, bisa jadi juga hal kecil bagi mereka di pihak yang berseberangan.
“Dan pers jangan membesar-besarkan perkara ini,” ucapan seorang pejabat dahulu kala saat kematian tukang becak bernama Sukardal yang dituliskan oleh Goenawan Mohamad itu kembali terngiang dalam pikiran saya.
Jadi siapa yang berkuasa atas kenyataan dan penderitaan yang hadir ini?
Penderitaan memang bukan ombak yang dengan mudahnya bisa kita hindari dari sejarah panjang kehidupan. Dan mereka yang kecil dalam sejarah panjang kehidupan ini seringkali kalah, meski telah berjuang dan berteriak lantang menghadapi kematian.
Walau begitu, atau meski penggusuran akan tetap terjadi, sebelum jenazah Friska dikuburkan, para pedagang tetap berusaha membawa tubuh tak benyawa itu untuk bertemu dengan pemimpin dan wakil rakyat yang mereka pilih saat pesta demokrasi. Namun, sosok yang ingin mereka temui tak berhasil dijumpai.
“Dalam selubung tulah itu
Kudengar desahmu
Untuk terakhir kalinya
Manusia mati
Dan tak berbagia …
Tapi kepada apa menuntut jawab?
Tinggal semesta lekas menguap
Bak niat baik orang dewasa.
Sedang kehendak dalam diri
Tak lagi bisa—
Ada, namun tidak lagi bisa
Menggerakkan apa-apa.”
Mungkin Akan Ada, Dea Anugrah.
Kini Friska telah tiada. Dan ia tak punya kuasa untuk dielu-elukan, sebab ia hanya pedagang perempuan yang sedang mengupas bawang di sebuah pasar usang yang hendak disulap menjadi pasar masa depan dengan biaya pembangunan ratusan miliar.
Jadi siapa yang berkuasa atas semua ini?
Hendra Mahyudi, Penulis Lepas yang juga Anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Batam.
Sumber: {1}