Sikap pemerintah atas Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai Uji Formil UU Cipta Kerja harus dimaknai sebagai dukungan dan kepatuhan pemerintah. “Jadi putusan itu ibarat dosen penguji yang meminta merevisi makalah kita dengan batas waktu tertentu.”
Ketua DPP Partai Golkar Sabil M Rachman menyatakan hal tersebut kepada HMS, Jumat, 26 November 2021 di Jakarta, seraya menambahkan, jadi apapun hasil revisi nanti pada akhirnya sudah kita anggap final.
Dikatakan, tugas pemerintah dengan demikian tinggal melakukan identifikasi isu atau masalah demi kesempurnaan UU Cipta Kerja sesuai harapan MK di satu sisi dan publik di sisi yg lain. “Pada level ini maka saya kira pemerintah di bawah koordinasi Menteri Koordinator Perekonomian Bapak Airlangga Hartarto, sangat mampu dan memiliki kapasitas dalam merevisi undang-undang demi lebih memenuhi kehendak konstitusi.”
Respon pemerintah yang disampaikan langsung Menko Perekonomian juga memperlihatkan kesungguhan dan sangat bijak serta penuh optimisme, bahwa putusan MK ini tidak akan dikesampingkan.
Pokok Putusan
Pokok-pokok Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2021, menyatakan “Proses Pembentukan” Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja inkonstitusional, tetapi Undang-Undang ini tetap berlaku, sampai dengan dilaksanakan revisi dengan batas waktu selama dua tahun sejak putusan. Dengan demikian sampai 25 November 2023, pemerintah dan DPR harus bisa membuat UU hasil revisi.
Lebih lanjut Fungsionaris DPP Partai Golkar Sabil Rachman juga mengemukakan, pernyataan Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian Airlangga Hartarto telah memberi keyakinan bahwa pemerintah dan DPR akan segera melakukan revisi UU Cipta Kerja tersebut.
Pembatasan waktu revisi juga patut dihormati, sebab untuk menghasilkan UU Cipta Kerja hasil revisi, pemerintah harus melakukannya bersama DPR. “Untuk itu kedua belah pihak (DPR dan Pemerintah) diharapkan tetap saling mendukung,” kata Sabil M Rachman.
Tentang adanya putusan MK yang meminta pemerintah menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana “baru” yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja, disebutkan, kita maknai bahwa segala peraturan pemerintah yang ada tetap berlaku. “Karena yang dianggap inkonstitusional adalah Proses Pembentukan dari undang-undangnya. Sedangkan tentang pemerintah tidak boleh membuat peraturan pelaksana baru dan kebijakan lainnya yang bersifat strategis terkait Cipta Kerja, adalah konsekuensi perlunya penyempurnaan UU dimaksud.
Lebih lanjut Sabil Rachman yang juga Sekretaris Jenderal Pimpinan Pusat Kolektif (Sekjen PPK) Kosgoro 1957 salah satu dari organisasi kemasyarakatan (ormas) pendiri Golkar menegaskan, dalam proses bernegara kita harus saling menjaga kekompakan demi kemaslahatan bangsa. Sebaiknya tidak perlu kita permasalahkan bahwa keputusan MK itu diketahui tidak bulat. Karena ada empat dari sembilan hakim berpendapat berbeda, yaitu Arief Hidayat, Anwar Usman, Manahan M.P. Sitompul, dan Daniel Yusmic P. Foekh.
Menurut Sabil, prinsipnya MK telah mengkonfirmasi kurang sempurnanya proses perumusan UU Cipta Kerja ini. Namun demikian, bila dilihat dari amar putusan dan adanya empat dari sembilan hakim yang berpendapat berbeda, Putusan MK ini memang sepertinya “Jalan tengah.”