Jakarta adalah serupa lampu neon. Binar cahayanya tak hanya mengundang laron-laron, kehadirannya bahkan dianggap perlu mendapat atensi seluruh jagad raya. Apapun yang terjadi pada dan di Jakarta, adalah sebuah keharusan untuk diketahui.
Penggambaran Jakarta sering kali menggunakan kiasan-kiasan menyeramkan. Hal yang tentu tidak didasari oleh sesuatu yang seram pula. Jakarta tak jarang dianggap lebih kejam ketimbang dari ibu tiri, kota ini bahkan dianggap sebagai raksasa yang rakus pemakan segala. Manusia dan listrik adalah sedikit dari menu favoritnya. Membuat Jakarta akhirnya menenggelamkan dirinya sendiri dan sering memekik tentang banyak hal.
Dari kesemua itu, Jakarta kemudian diceritakan dengan beragam cara. Apapun itu, tentu saja tetap mengundang laron yang butuh kehangatan, dan Jakarta tentu punya itu. Melalui film, musik, berita, hingga surat kabar, Jakarta selalu disebut sibuk dengan macam-macam masalah. Politik, demo, banjir, kemiskinan, dan banyak hal lainnya.
Namun, sering kali kita jenuh dengan cerita-cerita itu. Hal-hal yang terjadi di Jakarta acap kali juga terjadi di pelbagai daerah lain dengan gaung yang sama-sama nyaring.
Dalam sebuah diskusi kecil, buku Cerita-Cerita Jakarta teronggok di atas meja. Di sekelilingnya terdapat enam orang yang membahas Jakarta dari jarak 1.155,7 kilometer jauhnya. Diskusi kali itu, Ilham, salah seorang teman, hadir sebagai pemantik. Pria asal kota kembang yang kini bekerja sebagai buruh penggerak baut-baut kapitalisme –begitu menurutnya, menganggap bahwa dekadensi Jakarta, potret kaum urbannya, gedung pencakar langitnya, serta gang-gang lembab yang tak terjamah sinar matahari, yang menyudut dan yang tersudut, dianggap sebagai titik mula para penulis membuat buku antologi tersebut.
“Dari Jakarta yang hadir, menjadi wahana mereka mengalami tubuh raksasa bernama Jakarta. Untuk terhisap dan dimuntahkan kembali sebagai, meminjam Seno Gumira, pitecanthropus-Jakartensis,” katanya.
Buku itu memang tak begitu tebal. Hanya berisi 10 cerpen dari 10 penulis berbeda dan diterbitkan oleh Post Press. Sebagai awalan, buku itu dimulai dengan cerpen berjudul B2I7AN karya Ratri Ninditya. Cerpen itu berkisah tentang seorang perempuan yang menghabiskan satu malam-sehari sebelum dia menikah, dengan seorang pria (mantan kekasihnya?) berjalan mengelilingi pinggiran Jakarta. Lalu dilanjutkan dengan cerpen berjudul Aroma Terasi karya Hanna Fransisca, yang mengisahkan tentang buruknya layanan sebuah instansi pemerintah.
Cerita-Cerita Jakarta lalu ditutup dengan Suatu Hari dalam Kehidupan Warga Depok yang Pergi ke Jakarta karya Yusi Alvianto Pareanom. Secara administrasi, Depok berada di Provinsi Jawa Barat. Namun, kota ini terletak di bagian selatan Jakarta. Membuatnya berada di antara Jakarta dan Bogor. Sehingga keberadaannya acap mengundang perdebatan dan guyonan.
Dalam ceritanya, Yusi mengisahkan warga Depok yang malas meninggalkan kota tempat tinggalnya jika tidak benar-benar perlu, lebih lagi harus ke Jakarta. Alhasil, warga Depok ini akhirnya harus berhadapan dengan sekelumit masalah dan keluh kesah warga Jakarta yang ditemuinya.
Semakin jauh ke dalam, Cerita-Cerita Jakarta kian menunjukkan sedikit wajah ibu kota sebenarnya. Seperti cerpen Sabda Armandio berjudul Masalah yang mengisahkan tentang tiga pengamen yang terlibat dalam kerusuhan sebuah demo. Lalu ada pula penggambaran kisah masa depan dalam Buyan karya Utiuts tentang Jakarta yang kian terendam dan mobil canggih tanpa supir.
“Alamat panjang bila perlu mengemas seluruh kedegilan kota ini. Tetapi satu hal yang saya kira luput untuk direkam, yakni polah tingkah mereka yang justru kalah dan terusir dari Jakarta. Seperti pada Rahasia dari Kramat Tunggak misalnya, pembaca disuguhi sepetak Jakarta yang dilipat, sebuah halaman yang notabene diburamkan dari muka surat kabar tapi menduduki urutan pertama sebagai buah bibir,” kata Ilham.
Dari 10 cerita dalam buku itu, tentu saja tak dapat menampung seluruh kisah-kisah semua orang di Jakarta. Menurut Ilham, Jakarta tak melulu perihal mereka yang mendekam dan tertawan, yang terseok dari pinggir ke pusat, tetapi juga yang hilang, yang tersingkir dan terbuang ke tepiannya. “Mereka yang kalah dan mengungsi, bukan ke Amerika, melainkan ke pelimbahan urban dan muara-muara. Bila sampah dapat dibuang ke Bantar Gebang, sementara sungai yang mengandung limbah dilarung ke utara, maka harapan dan kemarahan akan Jakarta pun boleh jadi digusur ke Bekasi, Tangerang, Depok, atau bahkan kota-kota lain,”
Setelah berbual dengan sudut pandang enam orang pembaca buku itu, diskusi akhirnya mengerucut menjadi sebuah pertanyaan. Dengan kultur politik ke-Melayu-annya, pembangunan infrastruktur yang masif, masyarakat yang beragam, maka bukan hal yang mustahil Batam dapat dikisahkan dengan cara yang ganjil dan absurd.
Namun, meminjam kalimat tanya dari Ilham, bentuk seperti apa yang sedikit-banyak bisa mewakili dan menyuarakannya?.