Komisi Peduli Lingkungan Hidup Indonesia (KPLHI), Kota Batam, Kepulauan Riau, mulai menyoroti keberadaan depo peti kemas di kawasan inudstri Union, Kecamatan Batu Ampar, Kota Batam, Kepulauan Riau. Permasalahan soal lingkungan yang membahayakan keselamatan warga dikhawatirkan muncul, mengingat lokasi penyimpanan yang dikelola PT Laut Mas itu berada di dekat pemukiman.
Ketua KPLHI Kota Batam, Azhari Hamid mengatakan, permasalahan yang akan timbul itu karena adanya elevasi antara pemukiman yang berada di dataran lebih tinggi ketimbang penyimpanan peti raksasa. Terutama karena perluasan lahan depo ini dibangun tidak dibarengi dengan pemasangan batu miring atau reteining wall.
“Pertanyaanya mana yang lebih dulu ada, depo peti kemas atau pemukimannya? Kalau pemukimannya saya mau tanya dulu kalau itu ada elevasi, tentu yang kita khawatirkan adalah gerakan massa tanah. Kalau ada kelebihan curah hujan atau ada pemotongan [bukit untuk perluasan lahan] yang tidak benar, kan, elevasi ini akan bermasalah [mengundang bencana],” kata Azhari Hamid kepada HMS, Senin, 25 Januari 2021.
Menurut Azhari, kalau bencana sudah terjadi tentu kedua belah pihak baik dari warga maupun pengusaha secara materi akan merugi. Sebagai pemerhati lingkungan ia berpendapat, perlu antisipasi mendalam terhadap datangnya bencana longsor dan lumpur, yang tentu akan sangat berbahaya bagi keselamatan warga karena posisi rumahnya berada tepat di ujung bukit.
“Banyak hal yang harus diperhatikan di situ, drainasenya cukup besar atau tidak? Kemudian arah elevasinya benar atau tidak? Ini kalau kita bicara spesifik secara lingkungan itu yang kita khawatirkan,” katanya.
Pantauan HMS di lapangan, tidak terlihat ada drainase atau saluran air di sekitaran batas bukit tersebut. Bencana longsor juga sudah terjadi, tanah berikut pepohonan di belakang rumah warga sudah meluncur ke bawah, bahkan beberapa rumah kondisinya retak-retak dan sudah dalam posisi miring seperti tinggal menunggu waktu untuk roboh (baca: Bongkar Muat Peti Kemas Bikin Warga Jadi Cemas).
Satu hal yang harus terang kata Azhari adalah soal status peruntukkan lahan yang dijadikan depo peti kemas itu, apakah diperuntukkan untuk pemukiman, jasa, atau industri.
“Kalau Union itu sudah jelas industri. Kavling di sana itu pemukiman. Nah, sekarang itu dia kan berada di tengah-tengah, pertanyannya dia masuk yang mana ini. Masuk ke industri atau pemukiman? Atau punya status sendiri sebagai jasa,” kata Azhari.
Apabila statusnya adalah sebagai jasa, menurutnya itu sudah tepat. Akan tetapi karena usaha yang dijalankan PT Laut Mas ini sifatnya beresiko tinggi, kata dia, seharusnya pemerintah atau instansi terkait mengkaji ulang soal pemberian izin usaha yang berjalan di pemukiman padat penduduk ini.
“Kalau jasa memang mereka tepat di situ, tetapi yang tidak tepatnya adalah itu dipakai untuk menumpuk peti kemas. KPLHI menyayangkan itu dijadikan depo peti kemas, karena kalau peti kemas ini kan sudah menyangkut high risk [risiko tinggi] dalam sisi manajerial alat peti kemas itu sendiri. Nah itu teknis, ya. Yang kami prihatinkan itu kenapa ada ditaruh depo peti kemas posisinya berada di pemukiman dan kawasan industri. Nah ini yang menjadi atensi kami, karena di sana juga tidak ada reteining wall dan tidak ada dinding konstruksi,” kata Azhari Hamid.
Sebagai informasi, depo peti kemas yang dikelola oleh PT Laut Mas ini terbentang di lahan seluas sekitar 10 hektare, posisinya berada di dalam kawasan industri Union. Mulai beroperasi sekitar tahun 2018, dan sejak awal keberadaanya sudah diprotes warga. Alasan warga memprotes karena aktivitas bongkar muat peti kemas itu mengeluarkan suara bising, dan dampak getarannya membikin dinding rumah warga menjadi retak-retak.
HMS sedang berupaya mengonfirmasi PT Laut Mas. Jawaban konfirmasi akan dimuat dalam berita berikutnya.