Oleh: Azhari Hamid
Hujan berhari-hari yang diikuti banjir dianggap menjadi hal yang sudah biasa terjadi pada setiap daerah, tidak terkecuali di Kota Batam, Kepulauan Riau. Penanggulangannya sangat mendesak tapi jarang digarap dengan serius. Tak jarang ketidakseriusan itu harus dibayar mahal kalau banjir sudah menyerang titik-titik vital, seperti tergenangnya Kawasan Pengelolaan Limbah Industri (KPLI) di Kelurahan Kabil, Kecamatan Nongsa, baru-baru ini.
KPLI sendiri secara fungsional adalah sarana dalam rangka pencegahan pencemaran dari timbulan limbah industri yang ada di Batam. Kalau kawasan ini sendiri sudah tidak aman, maka akan menjadi persoalan tersendiri. Apalagi KPLI yang akan menjadi source atau sumber dari pencemaran. Tentu hal ini sangat disayangkan jika Badan Pengusahaan (BP) Batam tidak menganggap penting persoalan kronis yang mengakibatkan air menggenangi KPLI.
Sudah dapat dipastikan pada kondisi air kembali surut akan mentransformasi kembali atau ikut membawa limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) ke badan air yang ada disekitarnya. Sebut saja beberapa limbah yang mungkin akan terbawa ke laut seperti, oli bekas, cooperslag, sludge dll. Yang sudah pasti akan menyebabkan pencemaran, dan membuat kondisi lingkungan semakin memprihatinkan.
BP Batam harus bertanggung jawab dalam hal ini dengan melakukan perbaikan dengan segera sarana dan prasana maupun sistem drainase yang ada di kawasan tersebut. Jika perlu dokumen lingkungan AMDAL atau Analisis Mengenai Dampak Lingkungan-nya perlu ditinjau ulang karena kami meyakini jika sudah terjadi hal seperti ini, apa yang menjadi standar operational prosedur dalam dokumen RKL-RPL atau Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup pasti ada yang terabaikan dan tidak dijalankan oleh BP Batam sebagai otoritas pengelola kawasan. Minimal RKL-RPL perlu diperbaiki dengan menambah prakiraan-prakiraan dampak yang mungkin terjadi dan bagaimana mengatasinya sehingga tidak menyebabkan dampak lebih buruk lagi buat lingkungan dan badan air penerima di sekitar kawasan.
Sejauh pengamatan kami, KPLI dibangun kemudian tenan-tenannya disuruh melakukan improvement sendiri sendiri dalam pengelolaannya. Hal ini terlihat dari betapa tidak layaknya drainase yang masih mengandalkan saluran alami, kesemrawutan dan kebersihan area umum (jalan) yang ada di antara building dari tenan-tenan yang ada. Yang paling mencolok adalah belum dilakukannya pengaspalan jalan kawasan di ujung kawasan. BP Batam dan Dewas (Dewan Pengawas) jangan bersembunyi di balik kalimat “sejak 1997 baru kali ini KPLI banjir”. Seharusnya desain kawasan ini memang tidak boleh banjir walaupun curah hujan sangat tinggi, artinya bahwa lokasi KPLI secara teknis dalam AMDAL-nya sudah meminimalisir dampak yang akan terjadi, termasuk banjir. Itulah kenapa kami katakan bahwa dokumen AMDAL-nya perlu ditinjau ulang.
Persoalan dengan adanya kegiatan pemotongan dan penimbunan atau cut and fill di dekat lokasi KPLI, pun juga perlu menjadi perhatian serius BP Batam dan segera mengevaluasi kegiatan tersebut jika memang ditengarai kegiatan itulah yang menjadi penyebab terjadinya banjir di KPLI. BP Batam harus tegas dan konsekuen dengan perizinan yang telah dikeluarkan menyangkut cut & fill ke perusahaan, siapapun pemiliknya, karena KPLI milik pemerintah dan fungsinya adalah sebagai sarana pemeliharaan lingkungan dari pencemaran limbah industri.