Kapal Motor (KM) Gunung Mas 88 diserbu puluhan nelayan yang biasa melaut di sekitar Jembatan 3 Barelang, Kecamatan Bulang, Kota Batam, Kepulauan Riau, 1 Maret 2021 lalu. Penyerbuan bermula karena kapal itu parkir sembarangan dan merusak tapak kelong milik nelayan, juga dilaporkan menabrak terumbu karang di antara Pulau Tembuan dan Pulau Bokok.
Namun sialnya, sebelum masalahnya selesai KM Gunung Mas 88 lenggang kakung dan menghilang. Alhasil, pada 3 Maret 2021, masyarakat yang merasa dirugikan bersama Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Peduli Lingkungan Hidup dan Kelautan (PLH-K) mendatangi Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Batam untuk menanyakan terkait masalah perizinan olah gerak kapal ini.
Pada 8 Maret 2021, persoalan pun akhirnya diklaim telah selesai oleh Sekretaris Jenderal LSM PLH-K, Suardi. Menurut dia, kesepakatan muncul setelah Kepala Bidang (Kabid) Penegakan Hukum (Gakkum) Kantor Syahbandar Otoritas Pelabuhan (KSOP), Eko Priyo Handoyo, memfasilitasi mereka bertemu dengan pihak KM Gunung Mas 88, yang waktu itu diwakilkan oleh Ricky Firmansyah. Dalam pertemuan itu, masalah katanya disepakati selesai secara persuasif. (baca: Dibalik Kesepakatan Damai antara KM Gunung Mas 88 dan Nelayan).
Perihal klaim telah selesainya persoalan KM Gunung Mas 88 ini mendapat respon dari berbagai pihak. Sebab, penyelesaian itu tidak dibarengi penjelasan perihal kondisi biota laut yang sebelumnya dilaporkan rusak, terutama tentang dugaan telah diterabasnya prosedur pelayaran kapal. Dasar kapal itu parkir di sana dan apakah pelayarannya sudah mendapat persetujuan dari otoritas terkait.
Ketua Aliansi Pemerhati Lingklungan Hidup (AMPUH), Budiman Sitompul, mengatakan, permasalahan kerusakan lingkungan timbul akibat pelayaran KM Gunung Mas 88 harusnya mendapat perhatian lebih dan harus jelas pertanggungjawabannya. Dalam kasus ini, pihaknya akan turun mengumpulkan data, dan memantau secara berkelanjutan untuk memastikan kondisi alam sekitar kawasan.
“Kami juga baru tahu soal peristiwa itu dari pemberitaan. Persoalan kerusakan biota laut adalah permasalah serius, semua pihak terkait harusnya buka mata dan turun memastikan itu. Memang benar, permasalahan ganti rugi sudah selesai, tapi bagaimana permasalahan hukumnya? Kerusakan lingkungannya? Apa itu juga sudah selesai?” kata Budiman Sitompul kepada HMS, 17 Maret 2021.
Dia mengatakan, seharusnya sebelum ada tindak lanjut ataupun pendalaman terhadap terumbu karang yang sebelumnya dilaporkan rusak kapal tidak boleh berlayar. Kecuali sudah dilakukan survei dan ada ganti rugi. Penghitungan ganti rugi itu didasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta UU Nomor 32 tahun 2014 tentang Kelautan. Apabila tidak ada ganti rugi, maka langkah hukum terhadap perusahaan penanggungjawab kapal adalah jalan keluarnya.
“Kalau main pergi begitu saja berarti tidak ada tanggungjawab. Kan, perlu diuji laporan masyarakat itu soal benar ada atau tidak kerusakan terumbu karang. Permasalahan ini kan tidak akan selesai sebelum ada evaluasi kerusakan. Harus dilakukan pemeriksaan fisik terhadap karangnya secara rinci, barulah bisa bilang case selesai,” kata dia.
Menurutnya terumbu karang adalah bagian yang sangat penting bagi ekosistem laut, karena perannya untuk melindungi habitat ikan. Oleh karena itu, kata dia, setelah semua data terkumpul dan apabila didapati memang benar ada kerusakan lingkungan, pihaknya akan segera melayangkan somasi terhadap pemilik kapal.
“Ini adalah satu bentuk kepedulian kita terhadap masyarakat nelayan. Masyarakat harus paham, kerugian itu harusnya dihitung berdasarkan perhitungan nilai ekologi dan nilai ekonomi, serta restorasi atas kerusakan ekosistem laut. Perlindungan terhadap kelestarian biota laut mutlak harus dilakukan oleh siapapun,” kata Budiman Sitompul.
Sementara itu, perihal dugaan diterabasnya prosedur pelayaran juga mendapat tanggapan dari Ketua Indonesia Shipping Agencies Association (ISAA), Erdi Steven Manurung. Dia mengatakan, setiap kapal yang berlayar meninggalkan pelabuhan wajib memiliki surat persetujuan berlayar (SPB) atau port clearance yang dikeluarkan oleh Syahbandar kepada setiap kapal yang akan berlayar meninggalkan pelabuhan. Aturan itu tertuang dalam Pasal 219 ayat (1) Undang-undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.
“Harus jelas dulu apakah memang benar kapal itu [KM Gunung Mas 88] berlayar tanpa SPB? Karena kapal baru boleh berlayar setelah memenuhi persyaratan kalaik lautan kapal, dan tidak diizinkan berlayar kalau SPB-nya belum terbit. Kan, itu bukti otentik bahwa kapal telah diperiksa, memenuhi persyaratan kelaik lautan kapal dan telah memenuhi kewajibannya,” kata Erdi Manurung kepada HMS, 17 Maret 2021.
Kewajiban kapal yang dia maksud adalah kewajiban pembayaran atas jasa pelayanan pelabuhan, jasa pengawasan di bidang keselamatan dan keamanan pelayaran dengan melampirkan bukti persetujuan dari bea cukai, imigrasi, dan karantina setempat berikut dengan bukti pembayaran jasa kepelabuhan, kenavigasian, dan penerimaan uang perkapalan. “Setelah itu tuntas baru boleh berlayar,” katanya.
Dia mengatakan, dalam dunia pelayaran dokumen itu sangat penting. Apabila dalam prakteknya kapal itu berlayar tanpa mengantongi SPB, sanksi yang diterapkan bisa berupa penahanan terhadap kapal, pembekuan izin atau sertifikat. Selain itu kepada nahkoda yang nekat berlayar tanpa memiliki dokumen tersebut juga dapat dipidana dan terkena denda, karena telah melanggar pasal 323 UU Nomor 17 Tahun 2008. “Nahkodanya juga bisa dipidana paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp600 juta. Jadi surat itu sifatnya wajib, tidak bisa sembarangan,” kata Erdi Manurung.
Sebagai informasi, KM Gunung Mas 88 dikabarkan menabrak terumbu karang di sekitar Jembatan 3 Barelang, Kecamatan Bulang, Kota Batam, Kepulauan Riau, Senin, 1 Maret 2021. Kapal ini sempat parkir sebentar di sana, kemudian berlayar kembali setelah diserbu puluhan nelayan setempat yang geram karena tapak kelongnya ikut terdampak. (baca: KM Gunung Mas 88 Dikabarkan Menabrak Karang di Barelang.)
Peristiwa ini pertama kali diketahui dari Sekretaris Jenderal LSM Peduli Lingkungan Hidup dan Kelautan (PLHK), Suardi. Ia mengatakan, pihaknya menerima laporan dari warga Pulau Nipah, Panjang, dan Akar kalau ada kapal yang bersandar merusak terumbu karang dan tapak kelong milik warga.
Kemudian akhirnya, perjuangan warga nelayan Pulau Nipah, Panjang, dan Akar, menuntut ganti rugi atas rusaknya tapak kelong mereka akibat bersandarnya kapal itu pada 8 Maret 2021, dikabarkan sudah membuahkan hasil. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Peduli Lingkungan Hidup dan Kelautan (PLH-K) mengklaim semua pihak kini telah sepakat berdamai.
Namun sepertinya, perdamaian itu masih jauh dari ujung perkara. HMS menemukan beberapa indikasi permasalahan baru perihal pelayaran kapal ini. Bukan saja soal tudingan rusaknya terumbu karang yang sampai sekarang belum jelas pertanggungjawabannya, tetapi muncul juga dugaan telah diterabasnya prosedur pelayaran kapal.
Sumber HMS menyebutkan, kalau KM Gunung Mas 88 yang berlayar pada 2 Maret 2021 lalu, belum mengantongi Surat Persetujuan Berlayar (SPB), atau dokumen negara yang dikeluarkan oleh syahbandar kepada kapal yang akan berlayar meninggalkan pelabuhan setelah memenuhi persyaratan kelaik lautan kapal dan kewajiban lainnya.
“Dia sudah mengajukan permohonan SPB, 28 Februari 2021, tetapi belum terbit karena ada dokumen yang belum dia lengkapi. Seharusnya tanpa SPB mereka tidak diizinkan berlayar,” kata sumber HMS, 9 Maret 2021.
Dia menjelaskan, kapal kargo sepanjang 66 meter itu dinahkodai oleh Capt. HCKW, datang dari Meulaboh, Aceh Barat, dengan tujuan utamanya yaitu Tanjung Balai Karimun. Sementara tujuannya datang bersandar di Batam pada 28 Januari 2021, hanya sekadar untuk perbaikan. Semua urusan kedatangan dan keberangkatan kapal diurus oleh keagenan PT PKLS.