Dalam kunjungannya ke Batam, Kepulauan Riau, Kamis, 17 Maret 2021 lalu, Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi (Marves) RI, Luhut Binsar Panjaitan, menilai Jembatan Barelang dibangun dengan dana yang cukup besar tetapi dampak ekonominya belum maksimal. Ia pun berharap, Jembatan Batam-Bintan yang kini dalam tahap pembangunan tidak bernasib serupa.
Hal itu kemudian ditanggapi oleh Ketua Batam Heritage Society, Edi Sutrisno. Ia mengatakan, saat berbicara Jembatan Barelang, harus berpulang pada histori ke belakang. Menurutnya, B.J Habibie, orang di balik cetak biru pembangunan di Batam termasuk Jembatan Barelang memiliki teori dalam membangun jembatan ikonik tersebut.
“Sebenarnya, namanya juga bukan Jembatan Barelang. Trans Barelang yang terdiri dari jalan dan jembatan. Perlu saya sampaikan biar Pak Luhut memahami histori bahwa Trans Barelang adalah perwujudan dari teori balon Habibie,” katanya, Sabtu, 20 Maret 2021.
Ia menjelaskan, dalam teori itu Habibie mengibaratkan Batam sebagai daratan atau balon yang besar yang pada waktunya akan ada crisis size atau meledak. Dengan begitu, kata dia, ketika jumlah populasi manusia dan industri sudah padat, maka Habibie menyiapkan balon-balon lain yang ada di pulau sekitar yang dihubungkan dengan jembatan.
“Karena beliau itu sosok yang visioner, dia tahu bahwa Batam akan meledak suka atau tidak. Sekarang sudah terbukti kalau penduduknya mencapai 1,3 juta bercampur pula dengan pertumbuhan industri,” katanya.
Alasan lain dibangunnya Trans Barelang menurutnya adalah, pada masa itu tidak pernah ada dalam sejarah Indonesia ada pembangunan jembatan yang menghubungkan antarpulau. Sehingga ia menegaskan Trans Batam bukanlah proyek asal-asal. Menurutnya Trans Barelang adalah jembatan perintis sehingga dibangun pula bangunan serupa di daerah lain.
“Alasan yang lain dan yang paling mendasar adalah karena muncul keputusan presiden (Kepres) di awal 1990-an yang mengatakan otorita Batam diberi wewenang untuk memperluas kawasannya. Sehingga luas wilayah Batam pun mencakupi pulau-pulau kecil di sekelilingnya,”
“Nah ketika diperluas kan tidak ada link-nya, bagaimana mengakali itu. Begitu dapat mandat lalu dibangunlah Trans Barelang. Detail Engineering Design (DED)-nya juga dibuat bahkan sampai ke Bintan,” kata Edi.
Ia mengatakan, keberhasilan pembangunan Trans Barelang tidak bisa dilihat secara gamblang. Sebab menurutnya, pembangunan Trans Barelang dibarengi dengan kajian yang melibatkan insinyur dari Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung (ITB), dan Universitas Gajah Mada (UGM) yang merupakan konseptor dalam mewujudkan Trans Barelang.
“Kalau fungsinya Anda sudah bisa lihat, bahkan terlihat futuristik. Ke depannya juga pulau-pulau yang terhubung itu akan menjadi simpul baru ketika Batam meledak pertumbuhan manusia dan industrinya. Kalau dulu dibutuhkan berjam-jam untuk sampai ke ujung galang baru sana. Dibutuhkan biaya lebih juga ketika berangkat dengan menggunakan pompong yang kapasitasnya pun terbatas,”
“Sekarang kan tidak, orang di darat bisa naik bis dengan kapasitas 40 orang dan datang ke destinasi-destinasi wisata yang ada di sana. Itu kan sudah menggerakkan ekonomi, siapa yang bilang tidak berdampak ekonomis. Bisa diperdebatkan orang yang bilang begitu. Orang pulau juga berterima kasih dengan adanya jembatan itu. Pernyataan Pak Luhut tidak bisa saya bilang keliru, tapi dia harus bijak melihat kajian historis di masa lalu kenapa Trans Barelang dibangun,” katanya.
Menurutnya, usai membangun Trans Barelang, Habibie juga sudah memikirkan membangun Jembatan Batam-Bintan.
“Jadi kepentingan besar geopolitiknya adalah Singapura bakal kelebihan beban. Nah Batam yang memiliki pulau-pulau kecil bakal jadi mitra. Ketika wilayah kita sudah kuat maka kita bisa menampung industri dan sebagainya dari Singapura. Makanya dirintis jembatan itu, jadi itu sudah memberikan dampak ekonomi sebenarnya,” kata Edi.