Mariun Manik punya sebuah mimpi. Ia ingin sukses dan mempersunting pacar masa kecilnya. Suatu hari pada tahun 1980 ia nekat meninggalkan kampung halaman di Samosir, Sumatera Utara. Uang di saku cuma Rp50 ribu. Umurnya baru menginjak 20 tahun kala itu. Mengembara sampai ke Merauke. Demi cinta.
Kota yang ia datangi pertama adalah Jakarta. Baru hitungan bulan di sana, Mariun muda yang cuma tamatan SMA, membuat sebuah keputusan besar. Ia membatalkan niat untuk kuliah, lalu pergi mencari kerja ke Surabaya. Dalam pikirannya, ia tak punya cukup waktu buat kuliah, karena sepotong hatinya masih tertinggal di Sumatera Utara.
“Saya berjanji kepada pacar kalau dia akan saya jemput dalam waktu lima tahun,” katanya, “akhirnya saya tidak kuliah. Puji Tuhan, sekarang, perempuan itu menjadi istri saya. Kami sudah pacaran sejak tahun 1977,” kata Mariun kepada HMS saat datang mewakili keturunan Silauraja di Papua dalam Musyawarah Nasional (Munas) Parsadaan Pomparan Silauraja Indonesia, 23 Oktober 2021.
Kisahnya sebetulnya baru dimulai saat ia sudah bulat memilih perjuangan, meskipun membuatnya kehilangan kesempatan untuk melanjutkan pendidikdan. Pendek kata, masa itu, dari Jakarta ia berangkat ke Surabaya menumpang kereta. Menghabiskan separuh uang saku untuk tujuan yang sebetulnya belum jelas, “Ikut angin saja,” katanya. Tetapi kebekuan nasib di rantau berubah menjadi keberuntungan, yang sepertinya khusus berlaku pada dirinya saja.
“Itulah nasib saya. Di Sumatera saya juga tinggal sama orang Jawa, jadi gampang bergaul ketika di Surabaya. Saya ini juga sebetulnya separuh Batak, separuh Jawa ha-ha-ha,” kata pria yang sekarang berumur 60 tahun ini.
Di Surabaya ia bekerja di perusahaan keagenan kapal, lagi-lagi dia berpikir penghasilannya tidak cukup. Saat itulah ada orang yang memengaruhinya untuk mengadu nasib di Sorong, Papua Barat, “Saya kenal seorang nakhoda, orangnya baik. Saya menumpang kapal dia lah ceritanya ke Papua. Gratis, tidak bayar. Seingat saya 20 hari perjalanan pada masa itu,” kata Mariun Manik.
Takada keluarga ataupun kenalan yang menunggunya di Papua (dulu Irian Jaya). Sehingga baru satu langkah menginjak pelabuhan di sana, ia baru benar-benar merasa menjadi orang asing di rantau orang. Matanya memandang heran ke sekitar. Mulai dari warna kulit, rambut, hingga bahasa semua terasa begitu berbeda baginya. Asing. Tidak seperti di tanah Jawa. Tidak seperti di pikirannya.
Dalam keheranan itu beruntunglah di sana ia bertemu Tohir, seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang juga baru turun dari kapal. Tohir adalah orang asli Papua, yang umurnya dua kali umur Mariun.
Mariun mengisahkan, orang baik ini ketika melihat Mariun muda yang kebingungan, kemudian datang menghampiri dan bertanya arah tujuan Mariun. Tapi, karena perbedaan bahasa, obrolan keduanya tidak nyambung. Membikin situasi makin canggung.
“Saya turun dari kapal barang, kemudian ada orangtua [Tohir] mendekati saya. Dia bertanya terdengar saya awalnya, ‘kopi mana?‘ Terus saya jawab, ‘saya tidak bawa kopi, Pak’. Sampai tiga kali dia bertanya seperti itu. Akhirnya saya baru mengerti kalau itu bahasa daerah yang menanyakan saya mau pergi kemana?,” kata Mariun.
Mengetahui pemuda di hadapannya tak punya tujuan di Papua, Tohir mengajak Mariun bermalam di rumahnya sementara. “Kebetulan beliau tidak punya anak. Saya dibawa ke rumahnya, ” katanya. Ini adalah suatu keberuntungan lain dalam kisah perjalanan hidup Mariun, karena Papua pada tahun 1981 itu, katanya, sedang dalam kondisi perang suku. Mariun yang adalah pendatang, keselamatannya tentu sangat terancam.
Tanpa berpikir, Mariun pun menerima tawaran Tohir. Sama seperti ketika dia memberanikan diri meninggalkan kampung halaman, berjalan tanpa curiga atau rasa takut. Uang di kantong tersisa Rp50 ribu. “Saya nggak tahu kenapa dia tertarik sama saya, tetapi saya dibawa ke rumahnya. Kemudian ketika perang suku pecah, saya diungsikan ke pulau naik perahu panjang. Kemudian kami tinggal di hutan selama beberapa bulan,” katanya.
Pulau tempat ia mengungsi namanya Samate. Sekarang berada di Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat. Hari-hari di sana ia habiskan sebagai seorang peramu, adalah cara masyarakat adat setempat yang bertahan hidup dengan mengambil dan mengelola hasil alam secara langsung. Hidup dari kemurahan hutan.
Dia merasa sangat dituntun kala itu. Lalu setelah situasi mulai aman ia dibawa Tohir kembali ke kota. Berkat bantuan Tohir pula ia dapat mulai bekerja di sana.
“Dulu saya masih muda cari kerja. Jadi orang kalau di sana itu, yang mau jadi PNS itu dulu masih dipanggilin. Gampang masuk. Tetapi, saya tidak mau jadi PNS. Akhirnya saya kerja di travel, kebetulan itu anak perusahaan [menyebut salah satu perusahaan negara]. Kerjaan saya bongkar muat kargo,” kata Mariun.
Pekerjaan yang dia dapat itu sangat baik. Gaji pertamanya saja waktu itu sekitar Rp17,500, atau sekarang setara sekitar Rp5 jutaan. Fasilitas hidup lengkap. Kebutuhan perut dan tempat tinggal ditanggung perusahaan. Dari sini, orang-orang boleh bersepakat kalau keinginan yang serius membawa keberuntungan tersendiri padanya.
Masa itu, Mariun pun menyadari ini adalah kesempatannya mewujudkan mimpi, yang mungkin tak datang dua kali. Dia memberikan totalitasnya pada pekerjaan. Mulai menjalin komunikasi dengan wanita idamannya sembari menabung. Nasibnya mujur. Sekitar lima tahun setelahnya, tepatnya pada 17 Maret 1987, Mariun berhasil menjemput mimpi, yaitu menikahi Rasli Silalahi.
Pernikahan berlangsung di kampung halaman mereka di Sumatera Utara. Dari pernikahan itu mereka dikaruniai empat orang anak: Bona Manik, Lidia Manik, Tomi Manik, dan Roy Manik. Hidup bersama membuat kehidupan mereka pun semakin baik. Sekarang, Mariun memiliki perusahaan yang mendistribusikan bahan bakar jet atau avtur. Jangkauannya hampir merata di seluruh Indonesia.
Begitulah kembara Mariun. Dia lahir di Samosir, 10 Oktober 1961. Sekarang umurnya sudah 60 tahun, sudah dianggap sesepuh bagi keturunan marga Silauraja di Merauke, Papua. Bahkan, kata dia, bagi para perantau keuturunan Silauraja yang hendak melangsungkan upacara pengikatan janji nikah di Papua, rata-rata dialah yang akan menjadi walinya.
“Saya orangnya tidak terlalu sukuisme, tetapi kalau ada perantau (Silauraja) di sana, saya pasti taruh perhatian kepada mereka. Intinya, apapun agamanya, sukunya, selama dia manusia dia adalah saudara saya,” katanya.
Mariun memang, pada akhirnya, adalah pribadi yang nekat dengan segudang keberuntungan. Pengalaman demi pengalaman senantiasa dia reguk. Baginya, segala sesuatu itu mungkin, asalkan ada keinginan dan kedisiplinan. Cinta adalah modal hidup.