Anggota Komisi XI DPR RI, Masinton Pasaribu, mengatakan keberadaan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang sejak awal pembentukannya dimaksud sebagai lembaga independen untuk membantu pemerintah menyelesaikan persoalan yang membelit industri keuangan, masih belum optimal kinerjanya di bidang pengawasan. “Jadi kalau melihat refleksi satu dekade OJK, saya melihat memang banyak yang harus ditata dan diperbaiki, mengingat harapan masyarakat terhadap OJK ini sangat besar,” katanya dalam paparan pada Webinar yang diselenggarakan Magister Hukum Universitas Kristen Indonesia (UKI).
Dikatakan, padahal kita berharap OJK menjadi instrumen yang bisa dan mampu mengatasi krisis ekonomi pada awal reformasi selain melindungi masyarakat dari praktik industri jasa keuangan curang. “Ini menjadi pertanyaan kita semua, dimana OJK berada saat terjadi kasus-kasus yang menyangkut lembaga keuangan?’ kata wakil rakyat daerah pemilihan DKI Jakarta ini dengan nada tanya.
Webinar bertajuk Menilik Satu Dekade Otoritas Jasa Keuangan, dikatakan, OJK sejak awal tidak disebut sebagai lembaga negara, sehingga tentu tidak menjadi bagian dari pemerintah. Oleh sebab itu OJK yang memiliki wewenang sangat besar dalam industri keuangan juga perlu diawasi dan kritisi. Apalagi dalam satu dekade sejak pembentukannya, muncul banyak kasus penipuan dalam industri jasa keuangan yang banyak merugikan masyarakat.
Dikatakan, belum lama ini muncul kasus asuransi, ada mafia perbankan, dan lainnya. “Harusnya tidak ada lagi itu,” kata anggota Fraksi PDI Perjuangan ini, industri keuangan dalam negeri harusnya bisa go publik. Bukan malah sebaliknya babak belur dihajar oleh industri keuangan asing.
Masinton mengakui OJK dibentuk tanpa narasi besar. Pembentukannya hanya merespon situasi trauma yang terjadi pada masa orde baru. Di mana pada masa itu, sistem pengawasan industri keuangan bersifat tertutup.
Meski dibentuk sebagai respon situasi traumatic orde baru, semestinya OJK dapat menjalankan fungsi pengawasan dengan lebih baik, mampu membuat terobosan untuk memperkuat industri keuangan dalam negeri dan dapat melindungi masyarakat dari praktik illegal industri keuangan.
Era Reformasi memang telah melahirkan OJK melalui UU No.21 tahun 2011. Namun sejak terbentuknya, banyak pihak menilai, lembaga ini masih kurang maksimal menindaklanjuti laporan masyarakat terkait permasalahan dengan fintech dan asuransi OJK.
OJK yang memiliki anggaran sebesar Rp6 triliun, sangat dimungkinkan melakukan literisasi dan edukasi kepada publik. Sebagai lembaga yang memiliki tugas dan fungsi sangat penting, Masinton Pasaribu mengatakan, DPR sangat terbuka menerima masukan dari masyarakat untuk perbaikan OJK kedepannya.
Webinar dengan moderator Togi Marganda Purba, berlangsung lancar selama dua jam lebih sejak pukul 14.00 WIB pada Jumat, 25 Juni 2021. Kegiatan ini menghadirkan para narasumber yang memiliki bobot kompetensi dan kredibilitas tinggi dalam bidangnya.
Para narasumber tersebut selain Masinton Pasaribu juga Rizal Ramadhani, mewakili Dewan Komisaris OJK, Henri Lumban Raja, praktisi hukum pasar modal.
Terhubung secara online sebagai pemberi tanggapan dan masukan, Ketua Program Studi Magister Hukum UKI, Gindo L Tobing, dan pemerhati pasar modal, Prof. Tumanggor.