Melenggang sendiri, Mangatur Nainggolan berniat singgah memenuhi panggilan masyarakat Desa Banjarsari, Kecamatan Merapi Timur, Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan. “Dua hari lagi saya terbang ke sana,” katanya kepada HMS, Jumat pekan lalu di Batam. Menurut pengacara ini, firma hukumnya tahun lalu menerima pengaduan bahwa ada “mafia tanah” di sana yang mencoba menghilangkan sebuah desa untuk keperluan tambang batu bara.
Pada 21 Juni 2021, Mangatur kembali menghubungi HMS. Tanpa berbasa-basi ia melampirkan serangkaian data dan menerangkan masalah di sana. Ada sekitar 50 hektare tanah milik warga Desa Banjarsari terancam hilang. Dia menduga PT. Bumi Gema Gempita (BGG) telah melakukan penyerobotan lahan dengan cara mengubah batas desa antaran Desa Muara Lawai dan Desa Banjarsari.
Sengketa lahan ini sendiri menurut Mangatur sudah terjadi sejak Mei 2019 silam, sedangkan ia resmi mendapat kuasa khusus dari warga desa pada Januari 2020. Setelahnya, ia langsung beraksi dengan mengirimkan surat pengaduan dan permohonan perlindungan hukum kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia, Ombudsman RI, Gubernur Sumatera Selatan, hingga ke Bupati Kabupaten Lahat. Dalam surat itu semua masalah dan dasar pengaduan dia terangkan serinci-rincinya.
“Belum menemui titik terang. Pemkab Lahat menjanjikan akan ada tim monitoring penyelesaian sengketa lahan, tapi, hingga saat ini seperti macan ompong dan tidak berdaya menghadapi Pengusaha.
Apakah oknum Pemerintahan Lahat juga terlibat?” kata Mangatur Nainggolan.
Janji membentuk tim penyelesaian sengketa sendiri keluar pada 2019 lalu, setelah masyarakat Desa Banjarsari mengirim surat pemberitahuan kepada pemerintahan setempat untuk melakukan aksi protes secara damai. Waktu itu, masyarakat menuntut pemerintah untuk memfasilitasi penyelesaian sengketa tanah. Meminta dilakukan pemeriksaan terhadap hak guna usaha dan izin usaha pertambangan perusahaan, sekaligus meminta kegiatan pertambangan dan pembukaan lahan yang sudah dilakukan di atas tanah milik masyarakat dihentikan.
“Satu hari setelah surat dikirim ada pertemuan antara warga dan pemerintahan setempat, di situ pemerintah berjanji akan membentuk tim penyelesaian dan meminta aksi damai warga ditunda. Tapi sampai sekarang tidak ada hasilnya,” katanya.
Atas dasar lambannya penanganan itulah ia menduga ada pembiaran terhadap praktik “mafia tanah” agar tidak tersentuh hukum yang dilakukan oleh oknum pemerintah dan pengusaha. Perlu diingat kasus ini sudah berjalan dua tahun. Apabila memang dibiarkan tanpa kejelasan, wajar saja kalau Mangatur menganggap pemerintah terkesan tidak peduli terhadap kerugian materil dan imateriil yang ditimbulkan dari kegiatan pertambangan batu bara itu. Terlebih Mangatur menduga ada sejumlah tindak pidana yang telah dilakukan oleh PT. Bumi Gema Gempita, sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
“Kami menduga ada persengkongkolan antara Bupati Lahat bersama oknum-oknum pejabat dengan pihak PT. BGG, dalam melakukan kegiatan pertambangan di luar wilayah yang telah diiizinkan dalam izin usaha pertambangan,” katanya.
Mangatur menjelaskan, pembiaran ini semakin terasa ketika pihaknya mendapat data kalau Desa Banjarsari mulai disebut merupakan wilayah Desa Muara Lawai. Ia mendapat surat pendaftaran tanah secara sporadik atau surat pernyataan penguasaan fisik bidang tanah yang diterbitkan di Desa Muara Lawai, dan sebagian besar ditandatangani oleh mantan kepala desa setempat pada tahun 2011 dengan membuat tahun mundur seolah-olah terjadi pada tahun 2007.
Kemudian nama yang menandatangani sporadik tersebut ia duga juga tidak diketahui oleh yang bersangkutan alias fiktif. Salah satu yang dia lampirkan yaitu sporadik atas nama seorang pemuda usia 20 tahun bernama Rahmat, yang menguasai 2 hektare lahan yang digunakan untuk perkebunan. Diterbitkan Kepala Desa Muara Lawai, Arifendi Kuris, pada 29 Januari 2007. “Aksi ini juga diduga melibatkan Sekretaris Kecamatan Merapi Timur,” katanya.
Surat-surat itu menurutnya bertentangan dengan pernyataan warga Desa Banjarsari. Bisa dilihat surat pernyataan yang dibuat oleh Sarifudin Arifin (51), contohnya. Dalam surat itu ia mengatakan tidak pernah menjual lahannya yang terletak di dataran Tenuk, Sungai Langkap, Gagas, Kungkilan, dan dataran lainnya di wilayah Marga Tembelang Gunung Agung, maupun yang berada di Desa Banjarsari kepada pihak PT. Bumi Gema Gempita.
Munculnya sporadik beratas nama sebagian masyarakat Desa Muara Lawai, yang dijadikan dasar alas hak sebelum pelepasan hak masyarakat ke PT. Bumi Gema Gempita, yang sekarang berada di perusahaan juga dianggap rekayasa semata. Alasannya karena sewaktu pembuktian, pihak bersangkutan yang menandatangani sporadik tidak mengetahui di mana letak tanahnya dan fisik bidang tanahnya. Bahkan, baik warga Desa Banjarsari ataupun Muara Lawai juga mengaku tidak pernah menandatangani lahan-lahan yang telah dikuasai atau digusur oleh PT. Bumi Gema Gempita.
Menurut Mangatur dengan melihat pernyataan itu saja sudah jelas ada “permainan” yang terjadi, dan pemerintah seharusnya tidak perlu sampai harus menunggu bertahun-tahun untuk membuat sengketa lahan pertambangan ini menjadi terang. “Dengan kejadian ini menurut kami sudah terang benderang aksi mafia tanah ini terjadi dan mudah diberantas. Tapi, kenapa belum tersentuh hukum?” katanya.
Terlebih trik “mafia tanah” yang mengambil lahan masyarakat kemudian dilakukan land clearing untuk menghilangkan jejak dan batas tanah kata Mangatur, juga bisa dengan mudah terbantah. Hal itu bisa dilihat dari arsip yang masih tersimpan rapi, dan keterangan pun sebetulnya juga bisa diambil dari Kepala Desa Banjar Sari, yang jelas-jelas berdiri bersama warga. Tentunya, kepala desa juga lebih paham sampai di mana dan siap pemilik lahan di desanya.
“Upaya yang kami lakukan untuk mendapatkan hak warga, justru yang didapati masyarakat Desa Banjar Sari dibenturkan dengan masyarakat Desa Muara Lawai, yang diduga didanai oknum yang sudah mengambil untung atas praktik mafia tanah ini. Intinya kami akan terus berjuang, dan aksi
pemberantasan mafia tanah yang digaungkan Bapak Presiden Jokowi perlu mendapat perhatian di wilayah Pemerintah Kabupaten Lahat,” katanya.
Sampai berita ini ditulis HMS masih berupaya melakukan konfirmasi dengan pihak terkait-terkait mulai dari, PT. Bumi Gema Gempita, Bupati Lahat, dan instansi-instansi terkait. Jawaban konfirmasi akan diterbitkan dalam pemberitaan selanjutnya.