PENYATUAN kekuasaan Pemerintahan Kota Batam dengan pengelolaan investasi Badan Pengusahaan (BP) Batam, benarkah berkorelasi dengan peningkatan ekonomi di pulau berjuluk ‘kalajengking’ ini? Tak perlu ‘mengasah otak’ untuk menjawabnya. Lihat saja kericuhan yang terjadi sebelum dan ketika pelaksanaan ex officio.
Kericuhan pertama adalah munculnya ribuan spanduk berukuran 200 X 50 centimeter di jalan-jalan dan pusat perbelanjaan Kota Batam. Di spanduk tertulis: ”TOLAK UWTO”. Warga masyarakat tersentak dengan ‘bom’ spanduk, sebab masalah Uang Wajib Tahunan Otorita (UWTO) yang dalam perjalanannya menjadi iuran sewa tanah BP Batam, menjadi ‘pengikat’ bagi warga ketika menggunakan lahan di pulau Batam.
Masyarakat, bukan saja maklum dengan UWTO, tetapi mahfum dengan mekanisme dan pengelolaannya. Sehingga dengan adanya gerakan ‘bawah tanah’ mencetak ribuan spanduk penolakan UWTO, jelas-jelas memperkeruh suasana investasi dan ekonomi yang sedang bersusah payah didongkrak oleh Hatanto Reksodipoetro dan timnya di BP Batam.
Kericuhan kedua adalah ketika seorang calon wali kota Batam pada Pilkada 2015 berjanji akan memperjuangkan bebas biaya UWTO bagi lahan rumah yang berukuran 200 meter ke bawah. Digaungkan kembali pada saat ‘bernafsu’ untuk merebut ex officio Kepala BP Batam pada 2018 hingga 2019. Namun, ketika telah menerima kekuasaan ex officio pada Jumat, 27 September 2019, janji itu mulai meredup dan dilupakan.
Warga Batam menagih janji yang dilontarkan ketika akan merebut kursi Wali Kota Batam. Setelah mendapatkan kursi itu, dan bahkan, beli satu dapat dua, yakni Wali Kota Batam sekaligus telah menjadi ex officio Kepala BP Batam, justru janji itu diingkarinya. ”Makanya saya luruskan. Saya tak pernah sampaikan bahwa saya tak akan selesaikan pembebasan UWTO untuk lahan 200 meter ke bawah,” kata Rudi di Gedung Marketing Center BP Batam, seperti dilansir Batam Pos, 23 Januari 2021.
Licin seperti belut, mengaku tak pernah sampaikan tak akan selesaikan pembebasan UWTO untuk lahan 200 meter ke bawah. Tapi, sesungguhnya tidak pernah diselesaikan. Sehingga berbagai media di Batam dan sekitarnya mengungkap betapa kecewanya warga yang berharap pada janji bebas UWTO 200 meter ke bawah.
Kericuhan berikutnya adalah munculnya pernyataan di ruang publik bahwa ada dualisme kewenangan antara BP Batam dengan Pemerintah Kota Batam. Sejak BP Batam berdiri 1971, dan Kota Batam berdiri pada 1983, tidak pula pernah muncul wacana dualisme. Jika pun ada yang mempertanyakan peluang dualisme kedua lembaga itu, pada kenyataannya tidak ada persoalan yang muncul terkait dualisme. Sebab sesungguhnya, jika pun ada, dualisme hanyalah pada tataran sistem, tata cara, dan perspektif.
Namun sejak 2016, hingga 2019, teriakan ‘dualisme’ semakin membahana di langit Pulau Batam. Kata-kata dualisme seolah mesiu dan granat yang siap meledak, tanpa melihat sejarah betapa melesatnya kemajuan industri di Pulau Batam dengan hadirnya Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam (OPDIPB) mulai era Ibnu Sutowo, JB Sumarlin, BJ Habibie, JE Habibie, hingga Ismeth Abdullah. Kemudian disusul dengan kepemimpinan Mustofa Widjaja, Hatanto Reksodipoetro, Lukita Dinarsyah Tuwo, serta Edy Putra Irawady sebagai Kepala BP Batam.
Fakta sejarah menunjukkan, senjata pamungkas ‘dualisme kewenangan’ BP Batam dengan Pemkot Batam, menjadi ‘virus’ yang memusnahkan akal sehat. Sehingga dalam kepemimpinan Lukita dan Edy, terlihat jelas BP Batam terseok-seok di tengah perundungan dan bully dari kelompok politisi jalanan. Sebuah ironi yang dibiarkan melukai nalar sehat, namun kian membesar bak bola salju karena dibiarkan oleh penguasa dan politisi.
Dalam satu dokumen Gugatan Uji Materiil terhadap Pasal 2A ayat (1) poin 1a Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 62 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, nomor Nomor 82 P/HUM/2019 yang diajukan oleh Tain Komari, Penasehat Hukum Ex Officio Kepala BP Batam menyebut: ”Munculnya dualisme dalam pengelolaan Kota Batam, terdapat dalam 6 (enam) butir, yakni: (1) Perencanaan dan pengendalian pembangunan; (2) Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; (3) Penyediaan sarana dan prasarana umum; (4) Pengendalian lingkup hidup; (5) Pelayanan pertahanan; dan (6) Pelayanan administrasi penanaman modal.”
Enam poin di atas, mirip dengan hasil karangan anak murid SD yang menulis tentang perjalanan wisata ke bulan suatu hari kelak jika dia menjadi ahli antariksa. Seorang PH yang pintar mengarang masalah, tetapi sesungguhnya kedua lembaga itu, ketika dipimpin seorang Wali Kota, tidak pernah membahas satu pun masalah yang dikarang oleh PH-nya sendiri.
Justru yang kita baca di media: ”Presiden Jokowi akhirnya menyudahi dualisme pengelolaan Pulau Batam sebagai kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas. Jokowi telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 62 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam.
Fakta menyebut, dualisme yang dimaksud adalah: Ada dua kekuasaan di tangan dua orang. Yang dimaksud berakhirnya dualisme adalah: Dua kekuasaan berada di tangan seorang. Sebuah drama pembodohan publik yang dipertontonkan oleh pejabat-pejabat penting, yang mestinya mengelola masa depan pulau industri Batam, tetapi sangat disayangkan, hanya sebatas mengelola kekuasaan demi kepentingan politik.
Muhammad Rudi, sang aktor pereda ‘dualisme,’ yang kemudian menyatukan dua lembaga di bawah kekuasaannya sebagai wali kota, diberi tepuk tangan oleh para politisi jalanan. Tak tanggung-tanggung, terkuak dalam sejumlah pertemuan internal kader Nasional Demokrat, sang Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh, sebagai penyambung ‘lidah’ ke Presiden Jokowi untuk penyatuan dua lembaga itu (Pemko dan BP Batam), dipuja dan dipuji oleh Muhammad Rudi dalam beberapa kali pertemuan kader partai itu.
Dikutip dari media Kontan.co.id, Rabu, 21 Agustus 2019, Kepala Badan Pengusahaan (BP) Batam Edy Putra Irawady, mengaku tak mengalami dualisme tersebut selama menjabat sebagai Kepala BP Batam. ”Saya selama 7 bulan tidak mengalami itu. Kota Batam itu ada lebih 116 pulau. Semua kegiatan pemerintahan dipimpin oleh wali kota termasuk 8 pulau sebagai kawasan strategis nasional dengan status KPBPB,” kata Edy. Dia menambahkan, urusan pemerintah dan kegiatan ekonomi masyarakat di Kawasan Perdagangan Bebas Pulau Batam (KPBPB) menjadi tanggung jawab wali kota berdasarkan kewenangan sub urusan dari UU 23/2014.
”BP batam menjalankan kewenangan investasi berdasarkan di atas 8 pulau bagian dari Kota Batam itu berdasarkan pelimpahan atau pendelegasian kewenangan sektor dari UU 25 tahun 2007,” kata Edy. Dia pun, mengatakan bila investor ingin melakukan investasi di KPBPB Batam, maka perizinan dapat dilakukan melalui Online Single Submission (OSS) sehungga tidak perlu melalui BP Batam atau pemerintah Kota Batam.
Lebih lanjut, Edy pun mengatakan BP Batam tidak memiliki kewenangan dalam mengurus investasi di di 108 pulau lain di Kota Batam atau di luar KPBPB. ”Itu mutlak tanggung jawab wali kota baik dengan pengembang investasi penanaman modal dalam negeri yang menjadi urusan pemerintah kota dan Penanaman Modal Asing (PMA) yang menjadi wewenang BKPM, harmonis saja, baik secara UU ataupun pelaksanaannya,” kata Edy.
Nah. Lho. Terus, kenapa mesti teriak sebut ada dualisme?
Namanya juga hasrat berkuasa sudah di ubun-ubun. Sebab, ada sumber dana yang amat besar yang dapat dikelola dari pendapatan sebagai berikut: (a) Jasa layanan yang diberikan kepada masyarakat; (b) Hasil kerja sama dengan pihak lain; (c) Hibah yang diperoleh sesuai peraturan perundangan; (d) Hak Pengelolaan atas tanah; dan/atau; (e) Hasil usaha lainnya.
Jasa layanan yang diberikan kepada masyarakat, antara lain: UWTO atau sewa tanah, pengelolaan pelabuhan laut, pengelolaan bandara, pengelolaan rumah sakit, pengelolaan fasilitas dan lingkungan, serta sistem pengelolaan air minum. Tidak kurang dari ratusan milyar dana pengusaha kapal disetor lewat pengelolaan Badan Usaha Pelabuhan setiap bulan. Begitu juga pengelolaan Badan Usaha Bandar Udara, dan badan usaha lainnya.
Tetapi apa yang terjadi? Kericuhan demi kericuhan muncul dalam pengelolaan unit-unit usaha tersebut.
Kericuhan yang baru saja disajikan di depan mata warga Batam akibat pengelolaan BP Batam yang sangat amatiran, terjadi di Badan Usaha Sistem Pengelolaan Air Minum. Lelang pengelolaan air minum yang dilaksanakan pada Juni 2021 s.d Agustus 2021, gatot alias gagal total. Dikutip dari portal Sijori.id, Jumat, 27 Agustus 2021, Kepala Biro Humas Promosi dan Protokol BP Batam, Dendi Gustinandar, mengakui: ”Pada hari ini (26 September 2021), panitia lelang kerja sama operasi dan pemeliharaan SPAM mengumumkan bahwa prakualifikasi lelang kerja sama operasi dan pemeliharaan SPAM hulu dan hilir dinyatakan gagal.”
Sebelumnya, pada Selasa, 8 Juni 2021, Ombudsman Kepri mencatat BP Batam telah membatalkan Peraturan Kepala (Perka) BP Batam No 19 Tahun 2020 tentang pembentukan Pengawas Badan Usaha BP Batam, setelah sebelumnya sempat menuai polemik ditengah masyarakat. Pembatalan Perka tersebut secara resmi dilakukan Kepala BP Batam, Muhammad Rudi pada 27 Mei 2021 melalui Perka No. 9 tahun 2021. Dengan adanya pembatalan itu, sebanyak 24 personil pengawas badan usaha (BU) di lingkungan BP Batam diberhentikan. Sebanyak 16 personil di antaranya adalah para pendukung Muhammad Rudi dalam Pilkada 2020 Kota Batam, yang menghantarkannya kembali meraih kursi. Namun, para pendukung itu terpaksa menelan pil pahit dengan gigit jari akibat amatirnya lembaga BP Batam di tangan sang wali kota.
Jauh-jauh hari, sebelum penetapan ex officio dilakukan, sebenarnya DPR RI bersama Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Provinsi Kepulauan Riau serta Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Kota Batam, telah melakukan rapat dengar pendapat pada Selasa, 12 Maret 2019. Hasilnya: Komisi II DPR RI berpandangan bahwa rencana menunjuk Wali Kota Batam sebagai ex officio Kepala BP Batam tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Selain itu, DPR RI mendesak pemerintah untuk mengkaji ulang perubahan status free trade zone (KPBPB) menjadi kawasan ekonomi khusus (KEK) karena tidak memberikan dampak langsung kepada usaha kecil menengah dan masyarakat Batam khususnya, dan Kepulauan Riau pada umumnya.
Begitu pula ketika Komisi II DPR RI mengadakan rapat dengar pendapat bersama Ombudsman RI pada 13 Mei 2019. Anggota DPR Firman Subagyo, menyebut: ”Saya mengingatkan kepada Presiden Joko Widodo bahwa ini ada hasil daripada kajian yang dilakukan lembaga Ombudsman ini maladministrasi. Oleh karena ini, kita tegaskan ini harus dihentikan, agar pemerintah tidak salah,” katanya.
Dalam rapat itu, DPR menyebut, cukuplah peringatan itu disampaikan, dan mestinya tidak diteruskan mengambil kebijakan yang keliru. Apalagi, wakil rakyat itu telah lebih dahulu berkonsultasi dengan Dewan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (PBPB) Batam, Kementerian Hukum dan HAM, BP Batam, Lembaga Kajian UGM, KADIN Kepulauan Riau dan KADIN Kota Batam, di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, pada saat yang bersamaan.
Komisi II DPR RI meminta pemerintah agar membuat PP mengenai hubungan kerja antara Pemerintah Kota Batam dengan Badan Pengusahaan (BP) Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (PBPB) Batam, agar dapat diatur dengan jelas pembagian kewenangan dan mekanisme koordinasi antara Pemko dan BP Batam sesuai amanah UU Nomor 53 Tahun 1999 juncto UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah Pasal 360 ayat 4.
Terkait dugaan maladministrasi, masalah pertama yang disorot Ombudsman adalah latar belakang Rudi yang merupakan Wali Kota Batam, orang yang punya jabatan politis. Ia merupakan Politisi Partai NasDem Kepulauan Riau. Pasal 33 ayat 1 PP Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Uang Badan Layanan Umum, menyatakan pejabat pengelola BLU terdiri dari PNS atau tenaga profesional. Kepala BP Batam termasuk dalam pejabat BLU.
Kemudian, aturan itu ditegaskan juga melalui Peraturan Dewan Kawasan PBPB Batam Nomor 1 Tahun 2014, di mana disebutkan bahwa pejabat BP Batam harus menanggalkan jabatan kepala daerah maupun jabatan politis lainnya. Laode mengatakan, BP Batam sejatinya lembaga yang tidak tercampur dengan jabatan politik.
Sebab, posisi Wali Kota Batam sebagai Anggota Dewam Kawasan merupakan posisi strategis untuk pengawasan BP Batam. ”Maka menjadi sebuah kemunduran dalam tata kelola BP Batam yang profesional jika kebijakan penunjukan Wali Kota sebagai ex officio Kepala BP Batam dilakukan,” kata Laode.
Dalam UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Kepala BP Batam selaku pimpinan lembaga adalah pengguna anggraan. Sementara jabatan wali kota bukan merupakan pengguna anggaran. Jika diberlakukan kebijakan ex officio, maka Wali Kota Batam akan menjadi pengguna anggaran. Padahal, pengguna anggaran bukan pejabat yang dihasilkan dari sebuah proses pemilihan umum. ”Hal ini akan menjadi preseden buruk dalam pengelolaan negara,” kata Loade.
Deretan kericuhan yang telah diuraikan penulis di atas, didukung oleh sebuah kajian ilmiah yang dilakukan oleh praktisi akademis di Universitas, yakni Chi Chi Gita Paramita, R. Slamet Santoso, dan Retna Hanani. Mereka dari Departemen Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro, Semarang. Kajian mereka berjudul: ”Peran Aktor Lokal Dalam Formulasi Kebijakan Ex Officio di Kota Batam.
Kesimpulan pertama dari riset ilmiah itu sebagai berikut: (1) Aktor lokal yang terlibat dalam formulasi kebijakan ex officio di Kota Batam dibagi menjadi tiga unsur yaitu state, private dan society. Pada unsur state, aktor lokal yang terlibat ialah Walikota Batam dan Kepala Badan Pengusahaan Batam masa transisi. Pada unsur private, aktor lokal yang ikut terlibat adalah Kamar Dagang dan Industri-KADIN Kota Batam. Unsur society yang ikut terlibat adalah media massa, tetapi masyarakat kurang dilibatkan dalam proses perumusan kebijakan.
Kesimpulan kedua: Peran yang dilakukan aktor lokal dalam perumusan kebijakan ex officio di Kota Batam pada indikator orang-orang yang terlibat dalam interaksi ialah Wali Kota Batam dan Kepala Badan Pengusahaan Batam masa transisi sebagai pelaku kebijakan, sedangkan pihak yang menjadi target (sasaran) ialah pihak swasta atau dunia usaha di Kota Batam. Dalam melakukan perannya, Wali Kota Batam dan Kepala Badan Pengusahaan Batam masa transisi sebagai implementor atau pelaksana kebijakan mengikuti perintah dari pemerintah pusat dan menjelaskan kondisi Kota Batam terkait permasalahan dualisme yang mengakibatkan dampak negatif dalam perkembangan ekonomi. KADIN Kota Batam memberikan saran dan masukan kepada Pemerintah Pusat terkait penyelesaian permasalahan dualisme di Kota Batam serta media massa membantu pemerintah dalam mensosialisasikan kebijakan.
Dalam penelitian itu terlihat bahwa aktor primer ialah Wali Kota Batam yang memiliki ‘syahwat kekuasaan’ yang amat tinggi, sehingga menggunakan segala cara untuk mendapatkan kekuasaan sebagai Kepala BP Batam. Wali Kota Batam menggunakan Kepala BP Batam masa transisi, yakni Edy Putra Irawady sebagai jembatan untuk maju ke sasaran tujuan, dan aktor sekunder ialah KADIN Kota Batam dan media massa yang mengartikulasikan ‘solusi dualisme adalah ex officio.’
Dari hasil penelitian itu, akademisi Universitas Diponegoro memberi saran kepada pemerintah sebagai berikut: Pertama: Kepala Badan Pengusahaan Kota Batam sebaiknya dipimpin oleh pihak independent atau professional di luar dari Pemerintah Daerah. Kepala ex officio diberikan kewenangan dalam menggunakan sumber daya yang besar baik sebagai kepala daerah dan kepala badan pengusahaan sehingga dikhawatirkan adanya abuse of power, super power serta tidak ada konflik kepentingan yang terjadi antara Pemerintah Daerah dengan Pemerintah Pusat. Selain itu pimpinan menjadi kurang maksimal dan fokus dalam menjalankan tugasnya sebagai wali kota dengan social oriented sedangkan Kepala Badan Pengusahaan Batam dengan profit oriented.
Kedua: Pemerintah mestinya menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) mengenai hubungan kerja sama Badan Pengusahaan Batam dengan Pemerintah Daerah Kota Batam sehingga terdapat kejelasan kewenangan dalam melaksanakan tugasnya. Khususnya dalam aspek perijinan, pengelolaan lahan, pelabuhan dan bandara. Bukannya menambah permasalahan, kisruh demi kisruh, akibat pengelolaan yang amatir lewat keputusan ex officio.
Jika tidak segera dieksekusi, maka jelas target kekisruhan pengelolaan adalah kebocoran pendapatan Badan Layanan Umum (BLU) yang mestinya dinikmati oleh masyarakat, bukan oknum. Apalagi, telah dipublis secara luas, bahwa Muhammad Rudi yang memegang tampuk kekuasaan kedua lembaga, sedang mempersiapkan dana untuk meraih jabatan yang lebih tinggi, yakni Gubernur Provinsi Kepulauan Riau di pilkada serentak 2024.
Hanya ada dua pilihan: korbankan masa depan Batam atau hapus kebijakan ex officio.