Masih kental dalam ingatan Ipen ketika setiap petang di pertengahan tahun 2012 itu tas kecilnya selalu berisi banyak uang. Setiap hari ia bisa mengumpulkan uang sekitar Rp200 ribu dengan bermodalkan kamera, printer, dan sebuah motor bebek yang sudah termakan usia. Tak jarang di akhir pekan, ia bisa mengumpulkan sampai Rp1 juta.
Ipen yang memiliki nama asli Arifin ini adalah seorang pria yang menggantungkan kepulan dapurnya menjadi seorang juru foto keliling atau fotografer lepas di Jembatan 1 Tengku Fisabilillah Barelang.
“Saya jadi tukang foto di sini kurang lebih sudah 10 tahun,” kata Ipen sambil menyodorkan segelas teh panas buatan istrinya pada HMS di warung miliknya. Lokasinya tepat di ujung bibir jembatan.
Minggu petang itu Jembatan 1 sedang diguyur hujan lebat. Orang-orang mulai tampak bergegas mencari tempat untuk berteduh di warung-warung sekitar yang menjual jagung, camilan dan makanan lainnya.
Dalam lebatnya hujan petang itu, Ipen menceritakan bagaiman dulu menjadi juru foto keliling di Jembatan 1 adalah suatu yang menjanjikan. Namun, seiring berjalannya waktu, bekerja sebagai juru foto keliling menjadi redup di tengah terpaan ponsel pribadi ditambah badai pandemi Covid-19 saat ini. “Jadinya sekarang palingan yang banyak minta foto ke saya ya wisman dari luar negeri. Tapi si 19 ini datang, ya wisman luar itu kan jadinya hilang,” ujarnya dengan nada kecewa.
Ipen tak patah arang, mengakali kurangnya pemasukan akibat terpaan digitalisasi, Ipen pun mulai membuka usaha warung di bawah Jembatan 1 Barelang.
Usaha itu baru ia tekuni selama 1 tahun, tepatnya awal 2020 lalu. Ia menjual berbagai makanan ringan, minum dingin dan juga jagung bakar serta mie rebus. Namun, kehidupan pada akhirnya berbicara lain, pandemi datang dan turut berimbas pada usahanya.
“Sekarang saya dan kawan-kawan di sini tetap tidak patah semangat. Kami coba bikin lagi usaha naik pompong keliling di bawah jembatan. Sambil tetap saya tawarkan jasa foto pribadi, atau kalau mereka ingin foto sendiri pakai HP juga bisa. Tarif pompong hanya Rp20 ribu per orang,” ujarnya.
Usaha naik pompong keliling menurutnya saat ini sangat digemari oleh tamu yang datang ke jembatan. Banyak orang yang ingin mengabadikan momen dengan latar belakang Jembatan 1.
Ipen lanjut bercerita jauh mundur tentang kisah hidupnya sampai akhirnya mengantarkannya menjadi juru foto di jembatan itu.
Ipen yang merupakan anak keempat dari enam bersaudara memilih untuk tak menyelesaikan pendidikannya sedari sekolah dasar.
Hidup dengan ekonomi pas-pasan menjadi alasannya untuk berhenti bersekolah. Semua itu bermula pada tahun 2005 lalu. Saat itu ia duduk di kelas 6 SD, tinggal beberapa bulan lagi ujian akhir, ia putuskan untuk tidak lanjut. Pada saat itu juga, sang ayah yang menjadi penyemangat dalam hidupnya pergi meninggalkannya, dijemput sang kuasa. Ia kemudian berpikir untuk menggantikan sang ayah, mencari uang demi membantu ekonomi keluarganya.
“Dulu sampai Ibu [wali kelasnya] datang minta saya masuk, tapi saya tak mau. Saya tinggal ditanggal mancing ke laut,” ujarnya.
Masa kecil bukan masa bermain baginya, di tengah anak seusianya asik bermain, Ipen kecil sudah mulai terjun ke dunia kerja. “Saat itu saya ikut abang ke Pulau Akar dan bekerja sebagai nelayan di pulau itu. Masa kecil hingga remaja saya pada intinya ya habis untuk bekerja demi membantu perekonomian keluarga,” jelasnya kepada HMS sembari membakar sebatang rokok.
Selain menjadi nelayan di Pulau Akar ia juga bekerja menebang bakau bersama warga sekitar. Dari sanalah ia mulai menabung pundi-pundi rupiah yang ia dapat. Di mana kelak pada tahun 2010 menjadi bekalnya untuk memulai usaha menjadi juru foto keliling.
Kepada HMS Ipen mengatakan bahwa ia mulai menggeluti pekerjaan juru foto pertama kali karena melihat temannya. Melihat pendapatan yang lumayan, ia mulai belajar memotret secara otodidak kepada salah seorang sahabatnya yang telah meninggal.
Tak butuh waktu lama baginya untuk belajar memotret. Ia katakan hanya butuh waktu seminggu untuk memahaminya dan kemudian mulai memutuskan untuk membeli sebuah kamera Canon Kiss X-5.
“Nah, saat itu kan hanya baru punya kamera, belum punya mesin pencetak fotonya. Jadi untuk mencetak foto saya masih menumpang ke teman. Mau beli juga belum punya modal,” sembari mengisap rokok yang telah ia bakar tadi.
Saat awal karirnya menjadi juru foto keliling, wisatawan yang datang masih ramai dan ia mampu mengumpulkan banyak uang. Bisa dikatan itu adalah masa jaya menjadi juru foto keliling.
Tiga tahun menggeluti bidang itu, Ipen takingin merasakan jaya sediri. Ia pun mengajak 2 orang abang kandung dan juga saudara iparnya untuk terjun menggeluti bisnis foto keliling.
“Beberapa saudara kandung saya dan dari ipar saya modalkan untuk kamera. Tujuan awal saya kan juga untuk membantu keluarga. Saat itu saya juga telah mulai bisa menambah kamera baru. Jadi saya pikir ini waktunya untuk terus membantu keluarga agar mereka juga bisa berusaha sendiri,” tutupnya.
Begitulah kehidupan Ipen berjalan, ia tak pernah ingin menjadi orang yang putus asa. Karena telah banyak hal yang ia korbankan, seperti sekolah yang tidak ia kelarkan, masa belia dan remaja yang habis berjuang demi satu tujuan, membantu perekonomian keluarga dan juga kini menghidupi istri dan 3 orang anaknya.