Setiap angin musim utara berembus, Edison punya tugas memantau pesisir-pesisir pantai di Kepulauan Riau. Seperti pada Jumat pekan lalu, Kepala Seksi Pengelolaan Limbah B3 Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Kepri ini datang ke Nongsa, Kota Batam. Dia ingin memastikan puluhan ton minyak hitam yang dibuang sembarangan oleh kapal-kapal tanker itu, terkumpulkan tanpa sisa untuk kemudian diangkut dan dimusnahkan. “Tahun ini jumlahnya sedikit berkurang,” kata Edison.
Ini bukan peristiwa pertama, hampir setiap tahun gumpalan minyak dari pembersihan kapal tanker itu mampir ke Batam dan Bintan. Merusak lingkungan, mengganggu perekonomian nelayan, dan membuat buruk citra pariwisata. Bayangkan saja, limbah sludge oil yang diangkut dari pesisir Nongsa pada tahun 2021 ini saja berjumlah 176 drum atau setara dengan 35 ton. Total ini termasuk sisa-sisa pembersihan tahun 2020, yang belum sempat terangkut dan dimusnahkan.
“Setiap tahun terjadi. Itu kita bersihkan, kita kumpulkan, kemudian ditempatkan di TPS [tempat penampungan sementara] menunggu pengangkutan untuk dimusnahkan. Jadi tahun 2021 ini sudah terakhir kita selesaikan, limbah sludge oil sudah tidak ada lagi, sudah diangkut semua untuk dimusnahkan di KPLI [Kawasan Pengolahan Limbah Industri B3],” kata Edison kepada HMS.
Menurut Edison, kalau ditotalkan dari tahun 2018 sampai sekarang, ada sekitar 600 drum limbah yang dibersihkan dari pesisir Nongsa oleh pihaknya bersama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Biaya yang dikeluarkan mulai dari pembersihan sampai pemusnahan tidak sedikit, nilainya mencapai miliaran rupiah. Seringkali karena terbatasnya anggaran, pengelolaan limbah B3 itu harus ditunda pada tahun berikutnya. “Untuk angggaran kita sharing dengan KLHK, jadi kita lakukan secara bertahap, karena pemusnahannya itu yang mahal,” kata dia.
Endapan minyak hitam ini juga tidak punya nilai ekonomis, karena sudah bergumpal tercampur dengan pasir pantai. Persoalan ini juga menjadi salah satu perhatian oleh pihaknya, sebab, setiap kali dilakukan pembersihan, jumlah pasir pantai yang terangkut lebih mendominasi. Dengan kata lain, pasir pantai di Provinsi Kepulauan Riau setiap tahunnya semakin menipis. “Sebetulnya kalau mau melakukan pemulihan setelah pasir itu bersih, dia kembalikan lagi ke tempat asal ke pantai.”
Hal lain yang membuat ia semakin prihatin ialah melihat nasib nelayan yang menggantungkan hidup dari kemurahan laut. Karena setiap kali angin musim utara datang, nelayan berbulan-bulan tidak bisa mencari ikan. Edison mengaku sudah kenyang dengan keluhan nelayan setiap tahunnya. Belum lagi soal keluhan kerugian resort-resort di Provinsi Kepri, yang kehilangan miliaran rupiah setiap kali limbah itu datang.
“Sekarang yang menjadi kendala kita adalah membersihkan pantai-pantai yang di luar kawasan [resort]. Mengapa? karena masyarakat merasa itu bukan limbahnya mereka. Mereka suruh kita tangkap itu kapal-kapal yang buang limbah, jadi kita yang bersihkan. Memang terasa juga sama kita [kondisi nelayan], kalau kita lihat sedih kita, apalagi situasi pandemi seperti sekarang ini. Kalau di resort atau kawasan, mereka punya tenaga cleaning atau pembersihan, jadi sedikit terbantu. Yang menjadi kendala di luar kawasan ini,” katanya.
Edison mengatakan, pihaknya selalu mendorong instansi-instansi penegakan hukum di laut untuk mengantisipasi pencemaran ini. DLHK sendiri sampai saat ini sudah melakukan beragam upaya, salah satunya bekerja sama dengan Badan Riset dan Observasi Laut untuk melakukan pengawasan perairan melaui pencitraan satelit. “Tapi itu ketahuan setelah limbah itu mencemari perairan, biasanya kalau itu sudah terjadi kita akan menginformasikan kepada kawasan untuk melakukan antisipasi,” katanya.
Selain itu pihaknya juga sudah melakukan pemantauan dan penyelidikan terhadap perusahaan lokal pengelolaan limbah yang memiliki izin. Hanya saja, sampai saat ini pelaku pembuang limbah itu belum terdeteksi. Hal ini dilakukan karena ada kecurigaan pihaknya terhadap modus yang digunakan ialah, perusahaan-perusahan luar yang mendapat kontrak pembersihan limbah sengaja memakai tenaga perusahaan setempat untuk membuang limbah secara ilegal di perairan Batam.
“Kita belum bisa melakukan tangkap tangan terhadap pelakunya, karena kita juga tidak punya pasukan di laut. Dan kesulitan aparat kita menangkap karena itu kan, perlu pembuktian, karena mereka ini diduga buang limbah saat malam hari atau ketika angin utara bertiup kencang. Jadi itu perlu pembuktian,” kata Edison.
Meskipun demikian, tahun ini pencemaran katanya sediki berkurang dari tahun-tahun sebelumnya. Hal ini menurutnya dikarenakan sosialisasi dan patroli yang mulai gencar dilakukan aparat penegak hukum. Faktor lain itu juga karena angin utara tahun ini lebih bertiup kencang ke arah Malaysia. “Tapi kita berharap setiap tahunnya ini bisa berkurang,” katanya.
Ya, untuk kesekian kalinya pantai pulau Batam dilumuri limbah bahan berbahaya dan beracun (B3), yang diduga berasal dari buangan kapal-kapal tanker di perairan Out Port Limited (OPL). Persoalan ini sudah terjadi sejak tahun 1970-an. Merusak pesisir pantai, mengganggu perekonomian nelayan, dan merugikan pariwisata. Tidak sedikit anggaran yang terbuang untuk pembersihan, negara merugi miliaran rupiah setiap tahunnya. Begitu pula pengusaha-pengusaha resort, termasuk para nelayan.
Di Kota Batam sendiri dalam beberapa tahun belakangan ini sudah ada sejumlah kasus pembersihan kapal-kapal tanker tanpa izin atau yang kedapatan membuang limbah di perairan. Contohnya kasus tank cleaning MT Tigerwolf, yang dilakukan oleh PT Jaya Agung Padaelo (JAP) di perairan perairan Kecamatan Galang. Pada 29 Mei 2020, patroli rutin Direktorat Polisi Perairan dan Udara (Ditpolairud) Polda Kepri bersama Dinas Lingkungan hidup dan Kehutanan Provinsi Kepri, berhasil menindak kegiatan ilegal ini.
Hanya saja, Terdakwa tunggal kasus tank cleaning ilegal di atas kapal MT Tigerwolf, Zulkarnaen Fabanyo, diputuskan bebas oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Batam, pada Selasa, 20 April 2021, lalu. Padahal, sebelumnya Jaksa Penuntut Umum (JPU), Rumondang, menuntut terdakwa dengan dengan hukuman 1 tahun penjara dan denda Rp1 miliar. Namun, Majelis Hakim berkata lain, menurut mereka, apa yang dilakukan oleh direktur PT Jaya Agung Padeleo terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan, tapi bukan merupakan tindak pidana. (baca: Zulkarnaen, Terdakwa Tank Cleaning Ilegal Divonis Bebas).
Kasus lainnya yaitu tangkapan Badan Keamanan Laut (Bakamla) RI terhadap dua kapal berjenis motor tanker (MT) Horse asal Iran, dan MT Freya dari Panama, yang melakukan transfer bahan bakar minyak ilegal di perairan Kepulauan Riau. Keduanya diamankan oleh kapal Bakamla bernama KN Marore – 322, pada Minggu, 24 Januari 2021.
Kasusnya bergulir sampai ke persidangan di Pengadilan Negeri Batam. Pada Selasa, 25 Mei 2021 lalu, Majelis Hakim memutuskan masing-masing nakhoda dari kapal itu dinyatakan bersalah. Nakhoda MT Horse, Mehdi Monghasemjahromi, dan nakhoda MT Freya, Chen Yi Qun, dijatuhi hukuman pidana selama satu tahun penjara dan tidak perlu menjalaninya dengan ketentuan percobaan selama dua tahun. Namun, khusus MT Freya didenda Rp2 milyar karena terbukti telah menumpahkan minyak ke laut yang dapat merusak lingkungan. Hasil putusan tersebut pun diterima masing-masing nakhoda MT Horse dan MT Freya. (baca: Nakhoda MT Horse dan MT Freya Dideportasi dari Indonesia).
Sementara kasus paling santer dibicarakan belakangan ini ialah kegiatan tank cleaning ilegal dua kapal asing yaitu MT Medan dan Cougar Satu, yang dilakukan oleh PT Batam Slop & Sludge Treatment Centre (BSSTEC). Pendek kata, perusahaan yang berfokus pada kegiatan di bidang pengelolaan limbah dengan nilai investasi mencapai Rp7,2 triliun, ini pada April 2021 lalu kedapatan melakukan pembersihan tangki tanpa mendapat izin dari instansi terkait. (baca: Dokumen Belum Selesai, Tank Cleaning Sudah Jalan).