Suatu hari, Tisnawati melewati Waduk Duriangkang di Kelurahan Tanjung Piayu, Kota Batam. Pandangannya teralihkan oleh hamparan eceng gondok yang dianggap orang-orang sebagai gulma atau sarang hama. Melalui eksperimen Isna, sapaan akrabnya, tumbuhan ini disulap menjadi produk kerajinan bernilai tinggi yang kini dipasarkan sampai ke luar negeri.
Hari itu, ceritanya, ibu rumah tangga asal tanah Jawa yang diboyong suaminya ke Batam pada tahun 2000-an awal ini, membawa pulang beberapa eceng gondok dengan tinggi sekitar 50 centimeter. Ia yang sehari-sehari memang suka membuat kerajinan tangan ini, kemudian membuat kerajinan sederhana berbahan dasar tumbuhan pengganggu tersebut.
“Pertama kali buat kerajinan eceng gondok itu untuk penggunaan pribadi, lalu tetangga banyak yang suka dan akhirnya pesan,” katanya kepada HMS, Sabtu, 28 Agustus 2021.
Awalnya Isna hanya memanfaatkan barang-barang yang ada di rumahnya untuk dijadikan mal atau cetakan. Misal, jika dia ingin membuat vas bunga maka cetakannya adalah vas bunga di rumahnya dengan ukuran yang belum ditentukan. Lalu berlanjut ke kotak tisu, sendal, tas jinjing, hingga topi bundar.
“Karena memang awalnya belum terpikir untuk memproduksi dengan beragam jenis dan jumlah yang banyak, jadi, ya, ala kadarnya lah,” kata dia.
Seiring waktu pesanan mulai berdatangan, Isna kemudian memberdayakan beberapa warga sekitar untuk menyulam eceng gondok sesuai pesanan. Namun, penyulaman dengan eceng gondok masih terbilang baru di Batam. Menurutnya, meski eceng gondok memiliki diameter yang lebih lebar dibandingkan dengan benang, tidak serta-merta membuatnya menjadi mudah.
Dengan jumlah pesanan yang terbilang banyak, Isna menjelaskan kalau hasil rajutan warga yang diberdayakannya itu sering tidak rapi dan berpola acak. Meski begitu, dia tidak patah arang. Selain mengerjakannya di rumah Isna, pengerjaan kerajinan tangan itu juga dipersilakannya dibawa pulang oleh warga.
“Jadi biar mereka juga bisa belajar sekalian di rumah, biar tidak merumpi juga mereka itu,” katanya sambil terkekeh.
Isna menuturkan, meski eceng gondok tidak sulit didapat, tetapi pengambilan bahan utama kerajinan tangan itu juga butuh perjuangan. Dia dan beberapa warga lainnya tidak jarang harus masuk ke dalam lumpur bahkan comberan saat mengambil eceng gondok itu.
“Di Batam kan banyak waduk, ada juga lubang galian bekas tambang pasir. Jadi bahan bakunya ya tidak sulit, tiga bulan setelah diambil juga tumbuhan ini sudah tumbuh tinggi,” katanya.
Kerajinan tangan eceng gondok Isna tidak bisa dianggap sepele. Pemesannya bahkan tembus sampai ke Singapura, Malaysia, dan beberapa negara lainnya. Hotel-hotel di Batam pun tidak sedikit yang memesan sandal, keranjang, atau vas buka buatan Isna. Dengan harga mulai dari Rp50 ribu hingga Rp2 juta, setiap bulannya kerajinan tangan Isna bisa menghasilkan omzet jutaan rupiah.
Meski begitu, Isna enggan memperkerjakan karyawan. Menurutnya, beberapa warga sengaja diberdayakan dengan sistem bagi hasil sesuai dengan jumlah kerajinan tangan yang dibuat masing-masing. Dia berdalih, hal itu dilakukan agar tiap warga memiliki kemampuannya sendiri dan tidak terikat dengan Isna Puring, jenama yang akhirnya dikenal sebagai kerajinan tangan eceng gondok.
Nama Isna Puring sendiri telah digunakan sejak tahun 2017, setelah sebelumnya pada 2013 produk-produk rajutan masih campuran benang dan eceng gondok. Di awal berkreasi, tidak jarang Isna dipandang sebelah mata oleh orang-orang. Dia mengatakan, kerajinan tangan berbahan eceng gondok sempat diragukan daya tahannya karena disebut-sebut bakal berjamur dan akhirnya lapuk.
“Padahal sebelum dibuat menjadi kerajinan tangan, eceng gondok itu saya campur dengan beberapa cairan kimia. Jadi bisa bertahan lama dan tidak berjamur,” katanya.
Isna berkisah, sekali waktu saat mengambil eceng gondok di comberan, dia didatangi oleh pengendara motor yang sedang melintas. “Saya disarankan jangan mengambil eceng gondok, beracun katanya. Mungkin dikira mau saya buat jadi sayur kali, ya, ha-ha-ha,” kata Isna.
Sempat Ingin Berhenti
Jelang akhir tahun 2020, Isna dengan beberapa warga lainnya hendak pergi mengambil eceng gondok di kawasan Nongsa. Saat itu, suaminya menawarkan diri ingin membantu proses pengambilan eceng gondok. Hal yang menurutnya belum pernah dilakukan suaminya selama ini. Isna mengatakan, selama memulai usaha itu, suaminya hanya berperan membuat mal atau cetakan, menjemur dan memilah eceng gondok yang sudah kering.
Meski berfirasat ada sesuatu yang janggal, Isna mengiyakan saja tawaran bantuan dari suaminya. Dengan jumlah eceng gondok yang cukup banyak hari itu, Isna diminta untuk pulang dari nongsa dengan menaiki motor warga lain. Sementara dia membawa eceng gondok sendiri dari Nongsa ke rumah mereka di Perumahan Bukit Ayu Lestari, Tanjung Piayu, Kecamatan Sei Beduk.
Selang beberapa jam kemudian, Isna mendapat panggilan telepon. Suara di balik telepon itu mengatakan suaminya berada di rumah sakit akibat mengalami kecelakaan. Meski khawatir, Isna berusaha tenang sembari mendatangi rumah sakit dengan anaknya.
Sesampainya di sana, dokter yang menjumpai Isna tidak berkata banyak. Isna dan anaknya lalu dipersilakan melihat suaminya yang sudah meninggal dunia. Kecelakaan parah membuat suami Isna sudah menghembuskan napas terakhir saat dibawa ke rumah sakit.
Kejadian itu kemudian membuat Isna sempat murung dan tidak bersemangat. Selain itu, dia juga disibukkan dengan pengurusan pemakaman suaminya yang dimakamkan di kampung halamannya di Pulau Jawa.
“Saya sempat berhenti dari aktivitas di Isna Puring selam lebih dari tiga bulan. Bahkan saya sempat berpikir untuk berhenti selamanya. Tapi dengan dukungan keluarga dan rekan-rekan, akhirnya saya mencoba memulai usaha ini lagi,” kenang Isna.
Eceng gondok atau eichhornia crassipes adalah salah satu jenis tumbuhan air mengapung, kali pertama ditemukan secara tidak sengaja oleh seorang ilmuwan bernama Carl Friedrich Philipp von Martius, seorang ahli botani berkebangsaan Jerman pada tahun 1824 ketika sedang melakukan ekspedisi di Sungai Amazon Brasil.
Hampir-hampir mirip dengan Carl Friedrich Philipp von Martius, Isna pun tidak sengaja menemukan manfaat dari eceng gondok. Meski bukan seorang ilmuan dan ahli botani, Isna punya keinginan sederhana: tiap orang mampu melihat manfaat dari eceng gondok.