Hari ini, 17 Maret 2021, Indonesia memperingati hari perawat nasional. Meski tidak cukup hanya sehari ini saja, tapi patutlah kita mengucapkan terima kasih kepada seluruh pahlawan yang selama lebih dari setahun ini, berada di garis terdepan, mengasuh dan melayani pasien Covid-19 di pusat-pusat layanan kesehatan di seluruh penjuru negeri ini.
Profesi perawat mulai dianggap umum di Indonesia bermula dari kedatangan seorang perempuan berdarah Belanda, yang terpaksa resign dari tempat kerjanya di Amsterdam Wilhelmina Gasthuis (rumahsakit), lantaran mendapat tugas baru di Rumahsakit Militer Aceh di bawah instruksi palang merah Belanda. Bersama rekan sejawatnya, Brenda pun berangkat ke Hindia Belanda pada akhir abad ke-19.
Setibanya di tujuan, Brenda dan temannya terkejut melihat kondisi rumah sakit di negeri jajahan yang jauh dari rumah sakit di negerinya. Kondisi rumah sakit di negeri jajahan pada awal 1900-an amat sederhana. Dinding kamar rawat inap terbuat dari bambu, ruangannya tanpa lampu, dipan terbuat dari kayu, dan lantainya kotor oleh bercak merah bekas ludah pasien pribumi –yang beruntung mendapat perawatan kesehatan cuma-cuma oleh pemerintah kolonial di rumah sakit.
Tidak semua perawat Eropa bisa beradaptasi dengan iklim tropis. Beberapa di antaranya jatuh sakit. Ada juga yang kembali ke negerinya. Brenda dan perawat-perawat lain itu merupakan perawat yang didatangkan ke Hindia Belanda.
Pada peralihan abad XIX ke XX pemerintah Hindia Belanda gencar melancarkan proyek kesehatan. Kondisi berbagai rumah sakit yang ada diperbaiki. Selain itu, pemerintah juga mengadakan pelatihan dokter, dokter gigi, perawat, dan bidan. Dari sinilah profesi perawat dimunculkan pemerintah kolonial, untuk membantu kerja dokter dan merawat pasien di klinik
Banyak dokter Eropa mengeluhkan ketersediaan perawat yang tidak memadai kendati perawat berpengalaman sudah didatangkan dari Belanda. Mereka ditempatkan di kota besar seperti Batavia, Semarang, Surabaya, dan Yogyakarta. Salah satu dari rombongan perawat yang hijrah ke negeri jajahan ialah ibu dari penulis Frances Gouda.
Dalam Dutch Culture Overseas, Gouda menceritakan ibunya yang ditempatkan di Rumah Sakit Tjikini, Batavia. Di sana, ibunya bekerja sebagai perawat kebidanan dengan jam kerja cukup panjang hingga tak punya waktu luang. Selain ibu Gouda, istri dokter Sutomo juga merupakan perawat Belanda yang pindah ke Jawa.
Para perawat Eropa yang bertahan tak melulu bekerja di rumah sakit, melainkan merawat pasien di rumah-rumah keluarga kaya. Namun, jumlah mereka tidak cukup memenuhi kebutuhan di negeri jajahan. Alhasil, para dokter Eropa berinisiatif melatih perempuan Indo-Eropa untuk dijadikan perawat sekitar tahun 1900-an.
Kendati kursus perawat telah dibuka di Batavia pada 1897 oleh Perkumpulan Perawat di Hindia-Belanda (The Society for Sick-Nursing in the Dutch East Indies), tapi sepi pendaftar. Liesbeth Heeselink dalam “The Early Years of Nursing in the Dutch East Indies” menyebut, kursus pertamanya baru dimulai pada 1900.
Sepinya peminat membuat standar kursus diturunkan, tidak harus perempuan Indo-Eropa. Para dokter dan perawat Eropa mulai melatih orang pribumi untuk menjadi asisten mereka. Siapa saja direkrut jadi murid pelatihan keperawatan, asalkan mau dan bisa diajar (tidak terlalu bodoh). Mulanya tugas keperawatan dilakukan orang yang tidak terlatih, seringkali buta huruf. Kepala Layanan Kesehatan J Haga menyebut, beberapa perawat laki-laki sebelumnya bekerja sebagai kuli atau babu. Mereka menjadi perawat setelah diajari oleh dokter yang akan mereka layani.
Dokter dan perawat Eropa di berbagai daerah pun membuka pelatihan-pelatihan keperawatan, baik untuk dikirim ke rumah sakit atau menjadi asistennya sendiri. Di Mojowarno, pelatihan dilakukan oleh perawat senior L L Bervoets-van Ewijk, istri dokter missionaris Bervoerts. Di Yogyakarta, pendidikan kilat keperawatan diberikan oleh Jacqueline Rutgers and Johanna Kuyper, dua orang perawat Eropa yang datang ke koloni. Kadang bila tidak ada murid yang bisa diajar, mereka merekrut pembantu rumah tangga, tukang kebon, dan pekerja tak terlatih lain.
Di Semarang, pelatihan dilakukan oleh dokter perempuan Nel Stokvis-Cohen Stuart yang mengajar para gadis. Sementara rekannya, NF Lim dokter kedua di tingkat kota, membuka pelatihan untuk perawat lelaki. Dari temuan Stokvis, kebanyakan orangtua muridnya lebih suka anak mereka dilatih menjadi bidan karena lebih menjanjikan dibanding perawat. Selain itu, profesi perawat masih asing bagi orang pribumi.
Usaha pertama Stokvis gagal hingga ia sempat meninggalkan rencananya. Suatu ketika perempuan Jawa di desa dekat rumahnya datang dengan tergopoh-gopoh diantar keluarga dan kepala desa. Perempuan itu mengalami kesulitan melahirkan dan butuh bantuan ahli medis. Bantuan Stokvis kemudian membuat namanya dikenal warga desa hingga kepala desa menitipkan Soetarmidjah, anaknya yang berumur 14 tahun, untuk dilatih jadi perawat. Sejak itulah profesi perawat mulai dianggap umum di negeri jajahan. Setelah mendapat pelatihan keperawatan, perempuan muda juga bisa memilih melanjutkan pendidikannya menjadi bidan.
Sumber: https://historia.id/sains/articles/mula-profesi-keperawatan-6m7ax/page/1